[#30DWC: DAY 8] Sinema Elektronik


#30DaysWritingChallenge
DAY 8 - Sinema Elektronik
by hvnlysprng

if you could produce a TV show, what would the story be?


“Kadang-kadang aku berpikir untuk menjadi penulis naskah sinetron.”

Kafka sudah bertekad untuk tidak menghiraukan apapun yang dikatakan Amy setidaknya sampai laporan yang ia ketik sampai di bab penutup. Mengabaikan Amy adalah hal yang mudah terlebih jika kau sudah mengenalnya beberapa lama. Amy tipikal orang yang tidak bisa berhenti bicara, tapi tidak semua ucapannya harus direspon. Kebanyakan hanya celetuk sepele yang tidak penting, dan Kafka sudah belajar untuk mensortir apa-apa saja yang meluncur dari mulut gadis itu.

Tapi untuk yang satu ini agak sulit. Mau tak mau Kafka menghentikan gerakan jemarinya di atas papan ketik, lantas berpaling perlahan ke arah Amy. “Memangnya kau bisa menulis apa selain laporan praktikum?”

Biasanya, kalau Kafka memberi jawaban kurang ajar begitu, Amy bakal melemparkan tinju lumayan keras ke bahu Kafka yang loyo. Tumben sekali di kesempatan ini ia bersikap tenang sambil mencelupkan potongan lemon ke dalam cangkir tehnya. “Aku bisa menulis thread di Twitter. Memangnya menurutmu para penulis sinetron itu bisa menulis dengan baik?”

Kafka tertawa. Sudah nyaris dua jam ia bertampang serius menghadap layar laptop, menarik dua ujung bibir secara tiba-tiba membuat pipinya sedikit ngilu.

“Aku akan menulis naskah yang berkualitas. Tunggu saja sampai kau bisa melihat sinetron-sinetron itu mengubah temanya menjadi pelajaran hidup, toleransi dalam masyarakat, feminisme, dan sex education.”

Senyuman tipis masih terpatri di bibir Kafka kala ia menimpali, “Kau akan bangkrut karena tidak ada yang menonton sinetronmu.”

“Tidak akan.” Amy mendengus. “Sebelum itu terjadi, aku sudah mempromosikannya di Twitter dan ratingnya pasti lebih tinggi dari acara debat politik.”

“Sebelum sinetron itu dibuat, naskahmu sudah pasti tertolak duluan.”

“Aku tidak perlu mengajukan naskahnya pada siapapun. Hanya perlu mengumpulkan orang-orang dengan tujuan yang sama lalu memproduksinya sendiri.”

“Kau baik, Amy,” ujar Kafka seraya menekan tombol ‘simpan’ di lembar kerja laporannya. “Tapi kau harus menyelesaikan kuliahmu tahun depan. Lupakan saja soal sinetron itu. Kalau memang ingin jadi penulis naskah, kenapa memilih untuk jadi dokter sejak awal?”

Selama beberapa saat tercipta jeda pendek yang memperdalam kerutan di dahi Kafka. Amy memberi jawaban setelah menelan ludah dengan ragu-ragu. “Karena hidup ini sudah bagai panggung sandiwara, Kafka.”

Kafka menghela napas, mematikan laptopnya, lalu terdiam sebentar sebelum kemudian menyentil dahi Amy keras-keras.

Comments