Menuju Pasar Malam
“Setelah Van Gogh mati, seorang gadis mengunjungi makamnya setiap hari.”
Matamu menerawang. Kamu mencoba bayangkan seperti apa rupa peristirahatan terakhir pelukis malang itu, bunga apa yang dibawa sang gadis di setiap kunjungannya, apakah lili biru ataukah aster merah muda—apakah ia mencucurkan tangis sampai bola matanya memerah? Tapi kamu mengerjap dan imaji itu hilang tersapu lengkung bibir pemuda berambut secokelat madu. Tak jadi memikirkan orang mati, kamu terlanjur sibuk mengamati satu tahi lalat di sudut kiri bibirnya, satu di ujung hidungnya, dan satu lagi di bagian bawah kelopak mata kanannya.
Ketika berkedip lagi, suaranya menemukan jalan kembali menuju sepasang rungumu. “Kalau saya mati,” lanjutnya, dan kamu hendak mengernyit bertanya-tanya, “siapa yang akan mengunjungi makam saya setiap hari?”
Oh, percayalah, kamu bisa menyebutkan selusin nama yang siap membanjiri tanah pusara dengan air mata dan kelopak bunga. Tentu saja dirimu termasuk di dalamnya. Akan tetapi ikan-ikan melompat mengundang cipratan air ke jendela, bunyinya membalap deru mesin trem lantas memaksamu berpaling—sebentar saja, sebab kamu mulai waswas sosok pemuda itu bisa tiba-tiba lenyap menyisakan hampa udara.
“Kamu belum mati, Taehyung.” Jawabanmu bergema di gerbong yang nyaris kosong. “Kamu masih di sini, bersama saya.”
Senyum Taehyung tak kunjung luntur dari bibirnya, ia alihkan pandangan menuju lanskap di luar jendela. Clang, clang, clang, demikian bunyi lonceng berdentang-dentang sebelum laju trem melamban. Kalian berhenti di hadapan peron mungil yang terhampar di tepian pulau kecil tak berpenghuni, hanya ada satu pohon kelapa membungkuk dengan helai daun melambai-lambai. Lantaran tak ada yang berniat naik maupun turun, roda trem mulai beradu kembali lalu kamu dapati Taehyung melirik sembunyi-sembunyi.
“Elizabeth,” bisiknya.
Dahimu membentuk kerutan sekali lagi. “Siapa itu Elizabeth?”
Pemuda itu cengar-cengir lebar sekali, seolah kamu baru ucapkan lelucon paling jenaka yang pernah ia dengar. “Patricia.” Ia berbisik lagi, kali ini disertai kekehan geli yang melarikan diri melewati deret gigi-geligi.
Kamu hanya bisa menggeleng-geleng—meski di sisi lain pun susah untuk tidak ikut menarik senyum. Taehyung masih terkikik-kikik sedang kamu membatin; tidak mungkin ia lupa namaku, bukan? Tentu saja tidak. Pemuda di sampingmu itu bukan tipe orang pelupa, ia bisa mengingat jelas apa yang dimimpikannya semalam, berapa butir permen karet yang dikunyahnya dalam seminggu, bagaimana mengeja nama lengkapmu sekaligus kapan kalian pertama kali bertemu.
“Jimin juga menanyakan hal yang sama,” cetusnya seraya melipat tangan di depan dada.
Lantas kamu hadiahi ia sebelah alis terangkat. “Oh, ya?” tukasmu. Untuk ke sekian kali kamu menyadari terdapat kemiripan antara Jimin dengan dirimu, walaupun kenyataannya kalian belum pernah bertatap muka satu sama lain. Tapi, toh, kamu mengenal Park Jimin seperti sahabatmu sendiri. Itu karena Jimin adalah sahabat Taehyung dan artinya sahabat Taehyung otomatis menjadi sahabatmu juga. Taehyung sering bercerita tentang Jimin yang kelingkingnya mungil sepeti kepala belut, mereka berteman sudah lama sekali sejak Taehyung masih lima belas tahun.
“Omong-omong, saya dengar Jimin akan ke pasar malam juga.”
“Semua orang akan ke pasar malam,” responmu, lantaran memang demikian adanya. Justru bakal teramat aneh jika ada orang yang melewatkan datang ke pasar malam. “Kamu sendiri bagaimana?”
Ia mengangkat bahu asal-asalan. “Saya tidak bisa datang.”
Well, Kim Taehyung adalah pengecualian.
Setengah hatimu ingin kamu menunduk menyungkur pijakan sepatu di lantai kayu, namun setengah sisanya tentu menahan perintah yang tak pernah berhasil kamu langgar sejak bertahun-tahun lalu. Netramu terus mengekor gerak-gerik lelaki itu. “Sayang sekali,” ujarmu akhirnya, “sudah lama saya tidak dengar kamu menyanyi.”
“Oh, ayolah.” Taehyung mendengus, mengibas-kibaskan sebelah tangannya di udara. “Pasti kamu sebenarnya bosan mendengar suara saya.”
“Omong kosong—kalaupun memang bosan, saya tak mungkin betah duduk di sebelahmu, di sini.”
Itu bukan kebohongan, kamu sama sekali tak keberatan bila disuruh duduk diam mendengar Taehyung bicara berjam-jam. Namun pemuda itu tampak sulit percaya. Buru-buru ia mengalihkan topik pembicaraan, “Tahu tidak, saya pikir, saya sudah sering pikir-pikir—tapi jangan khawatir, karena ini cuma pemikiran saja.” Napasnya sedikit kurang teratur kala ia memberi jeda. “Seandainya hidup saya tidak begini, saya ingin jadi petani.”
Kamu menelengkan kepala. Mengapa harus khawatir? Menjadi petani bukan hal yang patut dijadikan sumber kontemplasi. Kamu ingat, Taehyung pun pernah bilang ingin menjadi pemain saksofon, dan bagimu keduanya bukan hal buruk juga. Meski demikian, kamu sendiri belum pernah yakin apa gerangan pekerjaan yang Kim Taehyung lakukan. Kamu hanya tahu ia gemar sekali menyanyi. Jika tebakanmu benar, barangkali Taehyung adalah seorang penyanyi di pasar malam. Hal itu lumayan menjelaskan mengapa kalian seringkali bertemu di bawah putaran kincir ria, di sekeliling komidi putar, atau saling berpandangan dari panggung tempat ia berdansa dengan gembira. Atau di gerbong trem yang melintasi samudra.
Clang, clang, clang. Bunyi lonceng bergema lagi. Di udara yang manis tercium aroma kembang gula, disusul sayup-sayup musik dan kerlip lampu yang terpantul di permukaan lautan. Laju trem melambat kala telapak tangan Taehyung menepuk bahumu tiba-tiba. “Saya beritahu satu hal lagi sebelum kamu turun,” ujarnya.
Kamu
mengangguk. Ada lantunan bintang-bintang dalam sepasang ainmu, yang kamu harap
akan Taehyung sadari juga—bahwasanya
mereka tak pernah lepas dari bayang-bayang sosoknya.
Namun yang Taehyung lakukan
sekadar membasahi bibirnya, kemudian menuturkan kata-kata yang akan kamu simpan
selama-lamanya. “Setelah Van Gogh mati,” ungkapnya hati-hati, seperti ibu yang melafazkan
doa sebelum tidur pada anaknya, “Theo—adiknya, mati setengah tahun kemudian.
Dan, oh, kamu harus tahu—mereka dimakamkan bersebelahan.”
Tanpa sadar, napasmu tertahan. Bagaimana dengan gadis yang mengunjungi makamnya setiap hari? Apa artinya ia membawa dua jenis bunga berbeda, atau satu jenis yang jumlahnya berlipat dua kali? Apakah aster, lili atau bunga matahari? Mengapa Taehyung enggan mampir ke pasar malam lagi?
Seharusnya kamu muntahkan semua pertanyaan itu di hadapan Kim Taehyung, tetapi lonceng trem tak henti berteriak clang, clang, clang kemudian tahu-tahu kamu sudah melangkah ke pintu keluar. Di wajahmu, ada peron dan pasar malam yang dipenuhi kehidupan. Ketika kamu beranikan menoleh untuk terakhir kali, tampak wajah tersenyum Taehyung menyambutmu beserta lambai tangan kiri. Trem itu melaju melintasi samudra selanjutnya dan kamu sadari bahwa yang kamu lihat masihlah senyum yang sama.
Comments
Post a Comment