Bisik Bisik Serenade
"Keajaiban," responmu.
"Omong kosong," saya menyergah, setengah kesal karena opinimu itu memang hanya omong kosong belaka一sejak kapan kamu percaya pada keajaiban? "Kalau salju turun di rumah saya, artinya kiamat, dong?"
Kamu beri saya senyuman. Kamu boleh saja percaya pada keajaiban sekarang, tapi senyum itu masih sama adanya selayak dahulu ketika kamu membenci seisi dunia kecuali saya. Katamu, salju itu seputih tahu yang dipotong dadu. Saya kurang suka perumpamaan itu, sebab kedengarannya sedih sekali, seolah kita adalah sepasang warga anti-NAZI yang baru keluar dari penjara saat Jerman kalah perang tahun empat lima.
"Beruntung perangnya selesai sebelum kita dihukum mati."
Saya mendengus. "Apa yang saya bilang? Pola pikirmu itu kelewat pesimis."
Mendengarnya, kamu tertawa. Ketimbang tahu yang dipotong dadu, salju di luar sana jauh lebih mirip warna sederet gigi yang menyapa malu-malu di antara lengkung bibirmu. Atau mungkin serona pucat kulitmu di bawah sorot lampu, di bawah candra rembulan, di foto hitam-putih yang kita ambil kala pergi ke Tangerang Selatan musim semi lalu, terselip di suatu halaman buku harian saya.
Salju menyusup melalui jendela saya yang terbuka lebar. Serpih-serpihnya menggunung di lantai dan membasahi ujung gorden tak bermotif. Saya pikir, inilah akhirnya, seandainya ini memang hari terakhir di dunia dan saya akan mati bersama tumpukan salju seputih kebohongan-kebohongan kecil yang saling membalap satu sama lain一alih-alih mengakui bahwa saya masih menyimpan memori tentang kamu di musim gugur, tentang kita di musim panas, tentang mimpi di musim semi, atau tentang saya yang pergi tanpa menoleh sama sekali.
Salju turun dua tahun lalu, di taman yang seluruh pohonnya gundul hingga tak ada yang bisa menyaksikan ucapan maaf saya kecuali sepasang rungumu yang memerah menahan dingin.
Hei, apakah mati artinya menyadari kita bukanlah sepasang manusia yang sama lagi?
untuk myg.
Comments
Post a Comment