201020

Dahulu, malaikat maut gemar mondar-mandir di sini.

Itu sudah dulu sekali, ketika manusia tak punya kesibukan di akhir pekan selain pergi jalan-jalan, ketika taman bermain dibangun di sepanjang dermaga yang lantainya bergemeletuk keras-keras acapkali kaki-kaki kita menjejak di atasnya. Mereka mengecat kayu-kayu lapuk itu jadi seputih butir gula halus yang menempel pada jemarimu, seputih helai selampai yang kusodorkan namun selalu kamu tolak. Mau sampai kapan kamu menyesap jempol dengan harap-harap setiap butir gula bakal meleleh bersama ujung lidahmu? Tanpa kamu sadari ada butir-butir tak kasat mata yang terjebak di celah kuku, maupun berpindah ke sudut bibirmu一ah, mau sampai kapan kamu memicing setiap kusuruh mencuci tangan?

Meski putih kayu dermaga memudar penuh noda kaki manusia pun, kamu tak pernah mau mendengarkanku. Untuk apa pula mereka mengecat kayu-kayu ini dengan warna yang mudah ternoda? Padahal semua orang tahu, dermaga ini selalu dipenuhi manusia dan setiap manusia membawa serta tembelang di langkah-langkah mereka. Menurutmu, aku terlalu cerewet. Kamu tidak datang ke sini untuk mendengarku mengomel. Kamu bilang, seharusnya kita makan es krim, naik bianglala, atau merasakan embusan angin laut perlahan menampar wajah kita disertai aroma garam.

Hari itu, aku pulang tanpa menawarimu selembar tisu.

"Kemudian?" Kamu melipat tangan di depan dada, punggungmu sedikit bungkuk dan tatapanmu seolah menghakimi presensiku. "Kamu masih berani kembali ke sini?"

Terus terang, aku tak punya jawaban. Maka aku diam membisu selagi angin menerbangkan helai-helai rambut kita. Di belakangmu, yang tersisa hanyalah taman bermain kosong tanpa satupun sosok makhluk hidup (malaikat maut sekalipun). Ombak masih bergulung-gulung di kejauhan, lantai kayu tetap sepudar dan sekotor waktu itu, bianglala besar itu entah bagaimana masih berdiri kokoh一dan, oh, kamu lihat? Angin menggerakkan jungkat-jungkit yang kini berderit seperti rintihan kelinci sekarat. Tentu saja一tentu saja mereka masih di sana. Barangkali ada dua malaikat maut bersembunyi dari kita berdua. Barangkali, kita berdua lah satu-satunya hal yang berubah di sini.

"Sudah lelah bermain petak umpet dengan kebohongan yang enggan kamu akui?"

Aku tersenyum pahit. Kupikir, kamu tak pantas bicara begitu. Tapi, toh, kita sama-sama berubah dan aku bukan lagi aku yang kamu temui di taman bermain sebuah dermaga setiap akhir pekan, dan kamu bukan lagi kamu yang selalu marah acapkali kusuruh mencuci tangan. "Apakah sudah terlambat?" tanyaku, lalu kamu mengambil napas pendek.

Min Yoongi sudah mati.

Aku menggeleng. Kunarpa mana lagi yang kamu bunuh kali ini?

Comments

Post a Comment