[What a Waste of a Lovely Night: #05] A Reason to Fall
[What a Waste of a Lovely Night: #05]
A Reason to Fall
Eileen ‘Bundle’ Brent & Jimmy Thesiger
Crime, Mystery, slight-Comedy
a
fanfiction by hvnlysprng
[Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi belaka. Tokoh merupakan kepunyaan Agatha Christie, terkhusus dalam novel The Seven Dials Mystery/Misteri Tujuh Lonceng. Ide dan cerita
ini murni milik saya sendiri. Mohon maaf bila terdapat kesalahan kata maupun
penyebutan.]
Ditulis dalam rangka event Mari Menulis: Prompt #3 Flow de Memoire.
Silakan klik tautan berikut untuk mengunjungi laman asli.
Ditulis dalam rangka event Mari Menulis: Prompt #3 Flow de Memoire.
Silakan klik tautan berikut untuk mengunjungi laman asli.
∞
[M]enyusup adalah salah satu keahlian ke sekian yang dimiliki Bundle
Brent―setidaknya begitulah yang dipikirkan Jimmy Thesiger. Ia dapat menyebutkan
selusin lainnya hal-hal yang bisa dilakukan gadis muda itu dengan sangat baik,.
Namun, untuk saat ini, menyusup
menjadi pilihan yang perlu digarisbawahi sebab akan berpengaruh begitu besar
dalam rencana mereka selanjutnya.
Seven Dials. Bangunan rumah tinggi
merangkap klub di Hunstanton Street nomor 14 tersebut sudah pernah dijelajahi
dua kali oleh Bundle. Pertama, tanpa terlihat mencolok saat bersama Bill
Eversleigh. Kedua, secara diam-diam dengan melibatkan Alfred. Hanya dalam dua
kunjungan tersebut, sang gadis berhasil mendapatkan cukup banyak informasi yang
kemudian menjadi pondasi rencana-rencananya sejauh ini. Bila Seven Dials dapat semudah
itu berada dalam genggaman Bundle, maka menurut spekulasi Jimmy kali ini pun semua
akan lancar.
“Lemari mana yang kau pakai sembunyi,
Bundle?”
Langkah-langkah kaki Bundle menggiring
mereka bertiga masuk ke dalam, menaiki tangga, menembus beberapa pintu hingga
sampai di sebuah ruangan kecil dengan meja panjang dan tujuh kursi melingkar di
sekelilingnya. Seven Dials. Persis
bagaimana Jimmy membayangkan cerita Bundle soal pertemuan komplotan rahasia
yang sengaja ia dengar diam-diam dari posisi meringkuknya dalam lemari.
Bundle membuka lemari itu.
“Gelas-gelasnya perlu kita singkirkan,”
ujar Jimmy, direspon dengan cekatan oleh tangan Bundle yang mulai meraih
barang-barang pecah belah di dalam sana. “Turun dan panggil Bill, Loraine. Tak
ada perlunya dia menjaga di luar.”
Sementara Loraine beringsut menghampiri
Bill yang masih berada di mobil―bertugas membunyikan klakson sekiranya ada hal
mencurigakan―Jimmy mulai membantu Bundle membereskan gelas-gelas itu.
“Kau yakin tidak akan ada yang kemari?”
tanya Bundle.
“Sangat yakin. Lagipula kau sudah mengusir
si Alfred itu jauh-jauh, bukan?”
Bundle mengangguk. “Sudah beres.” Penjaga
pintu itu―Alfred, maksudnya―dahulu merupakan pelayan di rumah Bundle sehingga
cukup mudah untuk mengelabuinya. Hanya perlu ancaman sedikit ditambah pesangon
beberapa shilling, Bundle yakin ia
tidak akan menginjakkan kakinya ke tempat itu lagi.
“Kurasa kita sekarang justru tak butuh
tenaga pria,” ujar Bundle.
“He, tapi aku pria di sini.”
Mengabaikan jawaban Jimmy, ia berkacak
pinggang selagi menatap gelas-gelas yang sudah selesai dikeluarkan. Satu lagi
keahlian Bundle Brent yang perlu Jimmy catat. Melihatnya saja ia segera berpikir
gadis itu juga pandai mengurus perabot.
“Oke.” Jimmy menoleh ke arah pintu, tak
menemukan tanda-tanda kedatangan Loraine maupun Bill. “Sekarang akan kita
letakkan di mana?”
“Kalau tidak salah, saat itu kulihat
Alfred membawanya ke dapur.”
Lantas keduanya beranjak keluar, menuruni
tangga bersama tumpukan gelas di genggaman.
“Tidak perlu terlalu berhati-hati. Jika
kita berhasil, tak ada yang perlu mengganti gelas-gelas ini sekiranya mereka
pecah.” Jimmy berucap santai meski langkahnya begitu pelan seolah bakal
terpeleset jika kecepatannya ditambah barang satu detik saja.
“Kenapa tidak sekalian saja kita lempar
keluar jendela?”
Jimmy mengernyit. “Itu tidak praktis.
Terlalu mencolok.”
“Kurang luwes?” Bundle menimpali. “Memangnya rencana kita apa, sih? Kau
menyuruhku bersembunyi di lemari itu lagi? Begitu saja?”
Bundle tak bisa melihat anggukan Jimmy di
belakangnya ketika mereka mulai berjalan lurus di koridor dengan coretan sketsa
di sisi kiri dan kanannya. “Tidak hanya itu, masih sedikit panjang. Bill akan
menjelaskan detailnya nanti.”
Itu yang dikatakan sang pemuda sedari tadi.
Sedari awal ketika Bundle mengangkat telepon dari Jimmy yang menyuruhnya cepat-cepat
datang ke Seven Dials bersama Loraine. Ia memahami kalau pemuda tersebut
mungkin hendak pamer atau bersikap sok misterius, persis seperti saat ia
menemukan botol berisi bubuk kristalin putih di rumah Sir Oswald.
Ah, biar saja, Bundle tak peduli, ia cukup
percaya pada lelaki itu. Yang terpenting, ia mendapat ketegangan seru yang
berhasil mengalihkan perhatiannya dari―
“Oh!” Langkah Bundle sempat terhenti kala
ia berseru kaget.
“Ada apa?”
“Oh, tidak. Tidak apa-apa.” Bundle kembali
berjalan. “Aku hanya teringat. Tadi George Lomax datang ke Chimneys untuk
melamarku.”
“George―apa?”
Meski tak bisa menilik ekspresi Jimmy,
Bundle menganggap pemuda tersebut tengah melotot sampai bola matanya seperti
hendak copot. Dari responnya saja Bundle sudah bisa menebak, suaranya seolah ia
baru saja tersedak pecahan beling.
“George Lomax. Melamarku.”
Tidak ada jawaban selama beberapa saat.
Informasi itu terlalu mudah terlontar dari mulut Bundle. Sementara Jimmy
memerlukan sedikit lebih banyak waktu untuk mencernanya. Awalnya ia mengira
Bundle salah menyebutkan nama. Tapi setelah gadis itu mengulang ‘George Lomax’
untuk kedua kalinya, maka artinya Jimmy juga tidak salah dengar. George Lomax
yang itu. George Lomax si politikus
ambisius yang usianya lima tahun lebih muda dari ayah Bundle.
“Lalu bagaimana?” tanya Jimmy sesaat
setelah berhasil menguasai diri kembali. Sejujurnya bukan pertanyaan yang
terdengar tepat.
“Kau kira aku mau menikah dengan si tolol
sinting itu?” Bundle mendengus. Ia tiba-tiba berhenti di depan sebuah pintu.
“Sepertinya dapurnya di sini.”
Agaknya Jimmy tak lagi tertarik dengan
persoalan gelas-gelas dan dapur. “Kau menolaknya?”
“Aku sama terkejutnya denganmu. Bahkan
sampai tidak menemukan cara yang tepat untuk menolaknya sesuai buku etika.”
“Jadi?”
“Aku hanya bisa bilang, ‘Tidak, saya tidak mau,’ lalu pergi
melompat keluar jendela dan kabur.”
Sama sekali bukan jawaban sesuai dugaan Jimmy.
Ia mengira siapapun yang melamar seorang Lady Eileen Brent nantinya bakal
dihadiahi gelak tawa gadis itu―jenis penolakan paling masuk akal untuk ukuran
Bundle. Tapi―oh, yang terjadi justru lebih menarik lagi. Kali ini Jimmy yang
merasa ia jadi ingin menyemburkan gelak tawa.
Lantas pemuda itu benar-benar tertawa,
mengundang lirikan Bundle yang baru saja memutar kenop pintu.
Tawa itu tak kunjung berhenti sampai Jimmy
terpaksa harus meletakkan gelas-gelasnya di atas meja agar tidak jatuh tanpa
sengaja. Bundle Brent tak habis pikir apa yang lucu dari ceritanya. Namun, gadis
itu memutuskan untuk membiarkan Jimmy tergelak sepuasnya. Barangkali sampai ia tersedak
ludah sendiri.
“Bagus sekali,” celetuk Jimmy yang
ternyata berhenti sebelum tersedak. Ia melemparkan pandangan ke arah Bundle.
Gadis itu telah mulai menata gelas-gelas tadi seperti baru saja membereskan
pesta di rumahnya sendiri. Memerhatikannya dalam lima detik saja telah
menyadarkan Jimmy soal kenapa George Lomax tiba-tiba hendak memperistri gadis
enerjik itu.
Tiba-tiba saja gerakan teratur Bundle
terinterupsi. “Kau dengar itu?”
Jimmy mengernyit. “Dengar apa?”
Barulah kemudian terdengar suara langkah
cepat. “Mungkin si Loraine naik ke atas. O ya, dia belum tahu kalau kita ada di
sini.”
“Apa aku perlu ke sana untuk
memberitahunya?”
“Oh, tidak perlu.” Bundle sudah akan
berbalik lalu melangkah keluar, jika saja Jimmy tidak segera menahan bahunya.
“Lebih baik kau selesaikan itu, lihat―kurang sedikit lagi.”
“Kalau begitu kau saja yang ke atas
duluan.” Bundle memberi saran.
Tapi Jimmy diam saja.
“He, kenapa sih? Cepat ke atas, lagipula
kau tidak melakukan apa-apa di sini.”
Agaknya kalimat itu lumayan menyinggung
Jimmy, wajahnya jadi sedikit menegang. Sejak detik pertama ketika lelaki itu
sampai di pintu depan bangunan ini, Bundle belum melihat Jimmy menampakkan
sedikitpun rasa gelisah. Ia justru menemui wajah Jimmy yang kelihatan merah dan
bersemangat.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini
sendirian. Bagaimana kalau ada yang menyekapmu tiba-tiba?” ujar Jimmy akhirnya.
“Tidak mungkin, tolol. Itulah gunanya Bill
menjaga di depan tadi. Dan aku dapat melindungi diriku sendiri.”
“Jangan sok kuat.” Jimmy beralih menatap
deretan meja-meja di sampingnya. Ketika matanya menangkap benda menarik di
suatu sudut, ia merasa benda itu sengaja diletakkan di sana untuknya. “Lihat, permen warna-warni di atas meja itu
memanggilku.”
Bundle sadar betul bahwa lelaki itu hanya
ingin mengalihkan perhatian. Mau tak mau gadis itu menghela napas. Ia
menghabiskan sisa menit berikutnya dengan sisa gelas-gelas yang belum
tertata―termasuk yang tadinya dibawa Jimmy kemudian ditelantarkan di meja.
Setelah selesai, Bundle menengok kembali ke arah terakhir kali ia melihat
lelaki itu.
Jimmy Thesiger tengah menatapnya sambil
duduk di depan setoples permen jeli buah-buahan. Ia terlihat asyik mengunyah
dengan santai, lalu sekali lagi melemparkan satu buah permen berwarna kuning
cerah ke dalam mulutnya. Seolah pemuda tersebut telah melakukan hal itu sedari
tadi, jauh sebelum Bundle menyadarinya.
“Apa yang kau makan itu?” tanya Bundle,
menepis perasaan aneh yang tiba-tiba memenuhi dadanya.
“Permen,” jawab Jimmy tanpa mengalihkan
pandangan. “Kau mau?”
Sejatinya Bundle sedikit ragu-ragu. Namun,
satu buah permen tentu tak akan menjadi masalah, bukan?
Bundle melangkah mendekati posisi duduk
Jimmy. Ia mengulurkan tangan ketika Jimmy memberinya sebuah permen berbentuk
hati. Warnanya merah pekat.
“Itu rasa stroberi. Manis.”
Oh―gadis itu sadar betul Jimmy tengah
membicarakan permen, bukan menyebutnya manis.
Cepat-cepat ia melahap benda itu,
mengunyahnya dengan gigi geraham sambil berbalik ke arah pintu. “Kita harus
segera kembali atau Loraine akan―”
Yang disebut-sebut mendadak muncul di
hadapan Bundle. Loraine menerobos masuk dapur secepat kilat, wajahnya pucat dan
matanya ketakutan. “Bill―Bill, oh, Bundle―Bill!”
Bundle tertular rasa panik, lantas tanpa
sengaja menelan permen di mulutnya lebih cepat. “Kenapa Bill?”
Jimmy beranjak menghampiri kedua gadis itu
lalu memegang bahu Loraine. “Tenang, Loraine, ada apa?”
Loraine masih terengah-engah.
“Bill―aku rasa dia mati. Masih di
mobil―tapi tidak bergerak dan berkata apa-apa. Aku yakin dia mati.”
Penjelasan itu berantakan. Loraine bahkan
tak bisa bicara tanpa mengambil napas pendek-pendek setiap tiga detik. Namun
itu saja sudah cukup untuk memacu debar jantung Bundle. Dadanya mendadak terasa
sesak dan sulit untuk bernapas. Ia masih berkedip beberapa kali saat Jimmy
menyuruh Loraine segera kembali mengecek Bill.
“Jangan sedih Bundle.” Gadis itu mendengar
Jimmy berucap sembari menggenggam lengannya. Ia hendak mengangguk dan
mengucapkan sesuatu namun suaranya tak bisa keluar.
Beberapa detik berlalu dengan
kalimat-kalimat yang meluncur lagi dari mulut Jimmy, namun tak bisa tertangkap
rungu Bundle. Tiba-tiba gadis itu merasa pusing, matanya berkunang-kunang,
gambaran wajah Jimmy menjadi blur.
“Tidak apa-apa, Bundle. Aku ada di sini.”
Bundle masih sempat mendengar suara Jimmy ketika ia jatuh tergeletak di atas lantai. Ia yakin telah melihat
senyuman tipis terpatri di bibir lelaki itu sebelum semuanya berubah gelap.
.
Comments
Post a Comment