BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 7)
7
Hari masih pagi,
bisa dilihat dari arah sinar matahari dan suara kicauan burung-burung, walaupun
begitu suhu udara terbilang cukup tinggi dikarenakan saat itu memang sudah
masuk musim panas. Di tengah-tengah kedamaian sebuah area perkemahan,
berlusin-lusin murid SMA sedang melakukan summer camp sebagai kegiatan outdoor
pertama di tahun pertama. Dan disana pula tujuh orang siswa sedang sibuk
berdebat.
“Siapapun tolong bersedialah mengundurkan diri”
“Hah? Kenapa tidak kau saja?”
“Maaf apa kita boleh mengeluarkan Jimin saja?”
“Jungkook-ah! Kenapa kau jahat sekali padaku?”
Bisa ditebak tujuh orang itu adalah Jin, Yoongi, Hoseok, Namjoon, Jimin, Taehyung
dan Jungkook. Beberapa saat yang lalu diumumkan pada seluruh peserta summer
camp kalau pihak sekolah telah menyiapkan tenda yang masing-masing berkapasitas
enam orang, dan para murid diberikan hak untuk memilih teman satu tenda mereka.
Tapi tentu saja masih ada murid yang bermasalah dengan ketentuan tersebut,
memang bukan remaja namanya kalau pemikirannya tidak rumit. Sebut saja salah
satunya tujuh orang ini, yang lebih suka berada dalam satu tenda tapi sayangnya
jumlah mereka kelebihan satu. Alhasil sekarang mereka berdebat tentang siapakah
enam orang yang layak tinggal.
Mungkin perdebatan mereka tidak akan ada habisnya kalau Namjoon tidak
berusaha menengahi. Oke bukan menengahi sih, karena dia tadi juga ikut
berdebat, yang benar dia menerapkan suatu ide yang mendadak muncul di
kepalanya.
Dengan suara nyaring dia berteriak, “Batu, gunting, kertas!”
Entah reflek atau apa, ketujuh orang itu tanpa dikomando langsung
melayangkan tangan masing-masing ke tengah posisi mereka yang sedari tadi sudah
membentuk lingkaran.
Enam orang memilih kertas, satu orang memilih batu.
Sedetik kemudian enam pasang mata tertuju pada pemilik kepalan tangan yang
hanya bisa membeku di tempat. Mereka berenam berteriak.
“TAEHYUNG!”
Teriakan kaget dan girang tercampur menjadi satu, membuat Taehyung ingin
menyumpal telinganya karena selain menyakiti alat pendengaran suara itu
diam-diam juga menyakiti hati. Namun Taehyung merasa dirinya bukan tipe orang
yang tidak mau menerima kekalahan, jadi selagi teman-temannya merayakan keberuntungan
mereka dengan ber-high five ria dia bersiap untuk melangkah pergi.
Mendadak sebuah tangan menyentuh bahu Taehyung, membuatnya berhenti dan
menoleh ke belakang lagi, itu adalah tangan Park Jimin.
“Mau kubantu mencari teman satu tenda?”
Seandainya tidak bisa menahan diri, Taehyung mungkin sudah akan meneteskan
air mata terharu sekarang.
“Benar juga, kita
kekurangan satu orang.”
Semua mata saling berpandangan sementara pikiran mereka berputar, mencoba
mencari solusi dari apa yang sedang mereka hadapi.
“Ah!” Lee Hwarin menjentikkan jarinya mencuri perhatian yang lain, “Aku
akan mengajak salah satu temanku!”
Baik Hyeso, Rahee, Hani atau Choonhee sama sekali tidak keberatan asalkan
mereka bisa memenuhi kriteria jumlah penghuni tenda dan melewati kegiatan
summer camp ini tanpa masalah, jadi saat Hwarin melontarkan idenya tidak ada satupun
yang berniat menyanggah.
“Kalau begitu aku akan memberitahunya dulu.”
Hwarin bergegas mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan pada temannya yang
kurang lebih berisi ajakan Hwarin sekaligus menanyakan dimana keberadaan
temannya itu saat ini. Segera setelah menerima balasan, Hwarin melangkahkan
kakinya menuju tempat yang dia baca di layar ponsel.
Oke. Aku ada di tenda 4 blok B.
“Hah? Dimana itu?” Jimin mengerutkan keningnya, dia menoleh ke arah
Taehyung mendapati temannya itu memasang ekspresi bingung yang sama.
Rasa-rasanya Jimin sudah ingin menepuk jidatnya karena di hari kemarin
menganggap menghafalkan area perkemahan itu tidak penting, sekaligus ingin
menendang Kwon Soonyoung karena lelaki itu tidak memberi pesan yang jelas
tentang dimana dia berada sekarang.
“Malu bertanya sesat di jalan, coba kau tanya orang lain dulu.”
Setelah mengiyakan usul Taehyung, Jimin mengamati sekelilingnya. Mereka kini
berdiri di jantung area perkemahan itu, tepatnya disamping pondok utama.
Sepertinya lebih mudah bertanya pada Guru Park yang baru saja lewat, tapi Jimin
kehilangan keberanian saat teringat kalau guru itu baru saja memarahinya minggu
lalu hanya karena Jimin terlalu sering menguap saat pelajaran berlangsung.
Tanpa sadar Jimin bergidik mengingat bagaimana sebuah tutup spidol melayang
ke arahnya yang tengah menguap, saat tiba-tiba seorang siswi lewat tepat di
depannya. Lebih baik bertanya pada orang ini, pikirnya.
“Eh, permisi..”
Siswi itu berhenti dan menoleh, “Ya?”
“Apa kau tahu dimana itu tenda blok B?”
Sesaat perempuan itu terlihat seperti sedang berpikir, ibu jari dan
telunjuknya menyentuh dagu sementara pandangannya terfokus ke tanah. “Kurasa di
sebelah sana..” Dia menunjuk ke arah selatan, “Area tenda ada disana, jadi
mungkin kau hanya harus mencari plakat bertuliskan ‘Blok B’ atau semacamnya.”
“Te―”
“Terima kasih!”
Jimin memutar bola matanya, dia belum sempat mengatakan terima kasih karena
mendadak Taehyung menginterupsi perkataannya, sungguh tidak sopan. Sehabis
melirik tajam ke arah Taehyung dia kembali melihat gadis bersurai hitam tadi,
matanya menangkap nametag gadis itu.
“Youngae-ssi, terima kasih.”
Ucapan itu dibalas dengan senyuman cerah. “Sama-sama.”
Sungguh, Choonhee
benar-benar menantikan summer camp pertamanya di SMA, tapi dia benar-benar
kesal pada takdirnya sendiri karena harus merasa tidak sehat disaat seperti
ini. Sejak kemarin kepalanya terasa berat, lalu diperparah dengan fakta kalau
dia tidak sarapan tadi pagi padahal dia tahu kalau hari ini dia membutuhkan
banyak energi.
Dia duduk di bawah pohon dekat tenda kelompoknya sambil memijat-mijat
pelipis. Sebenarnya ada sebersit rasa bersalah yang melanda dirinya, disaat
teman-teman yang lain sibuk membangun tenda dan menata barang bawaan dia malah
duduk-duduk disini. Memang temannya sendiri yang menyuruhnya istirahat
sebentar, tapi tetap saja dia merasa tidak enak.
Bagaimana nasibnya kalau sakit kepalanya makin parah nanti? Choonhee
bertanya-tanya dalam hati..
Sementara itu Song Rahee tiba-tiba diberi tugas untuk mengambil sisa
barang-barang milik kelompoknya yang ada di ujung blok tenda mereka, dia
berlari-lari kecil sambil menyemangati dirinya sendiri dalam hati, kejengkelan
karena harus mengikuti kegiatan yang tidak begitu disukainya seperti ini masih
bisa dirasakannya sekarang.
Ketika dia melihat beberapa tas milik teman-temannya tergeletak di tanah
tak jauh dari tempatnya berada, Rahee langsung menghampiri tempat itu. Dia
hendak mengambil salah satu benda disana saat sesuatu yang ganjil muncul dalam
jarak pandangnya.
“Yoongi?”
Dengan tatapan heran, Rahee memandangi seorang Min Yoongi yang sedang
berbaring santai di atas rumput hijau. Sinar mentari menyeruak melalui
sela-sela pohon tinggi, Yoongi membuka kelopak matanya, balik menatap sosok
yang terlihat samar karena silaunya matahari dengan mata disipitkan. Dia
berusaha sebaik mungkin untuk memperjelas pandangan tanpa harus beranjak dari
posisinya.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya sosok itu, dari suaranya Yoongi
akhirnya mengerti kalau dia adalah Song Rahee.
“Sedang mencoba untuk tidur..” Jawabnya dengan nada tak berdosa, membuat
Rahee mengernyit bingung.
“Kau tidak membantu kelompokmu mendirikan tenda atau semacamnya?”
“Tugasku sudah selesai tadi.”
Mulut Rahee tadinya sudah terbuka, siap untuk mengeluarkan omelan. Tapi
kemudian dia teringat sesuatu, bisa dibilang ini pertama kalinya dia
benar-benar mengobrol langsung dengan Yoongi, kalau dipikir-pikir selama ini
mereka jarang berbicara di kelas. Karena itu dia tidak mau menodai obrolan
pertama mereka dengan omelannya yang tidak jelas, jadi dia memilih untuk
berkata, “Baiklah.. terserah kau saja.” Kemudian bergegas melanjutkan
kegiatannya yang sempat tertunda.
Namun tidak disangka-sangka saat Rahee akan mengangkat barang bawaan
mendadak ada lagi yang menginterupsi.
“Rahee, boleh kubantu?”
Yoongi melontarkan pertanyaan yang rasanya sudah sejak lama ingin dia
ucapkan.
Merebus air,
membuka kaleng-kaleng kacang polong, membuat sandwich, apapun itu Hyeso
benar-benar bersyukur karena diberi tugas yang bisa dia laksanakan dengan baik.
Terpilih menjadi salah satu orang yang bertugas memasak disaat dia sendiri
tidak pandai memasak adalah takdir diluar dugaan. Maka dari itu patut disyukuri
kalau dia hanya harus melakukan hal-hal kecil.
Terhitung sudah kali keempat Hyeso bolak-balik menuju kran air untuk
mengisi pancinya, seseorang lalu menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa.
“Hyeso!”
Gadis itu menoleh ke arah Jeon Jungkook yang kini sudah berdiri di sebelahnya,
dia belum sempat berkata apa-apa saat lelaki itu menginterupsi. “Kau tahu
dimana Choonhee?”
“Choonhee?” Dia di― tunggu..” Perkataan Hyeso terhenti, dia menyipitkan
matanya. “Kenapa kau mencari Choonhee?”
“Ada sedikit urusan..”
Hyeso menyadari suara Jungkook mendadak seperti mengecil, tapi yang
membuatnya bertanya-tanya adalah sejak kapan lelaki ini bisa punya urusan
dengan Choonhee? Setaunya mereka berdua tidak begitu dekat.
“Choonhee ada di ruang kesehatan..” Ujarnya datar, tidak menyadari respon
aneh Jungkook, lelaki itu melesat pergi tanpa mengatakan apapun.
Dia tidak ambil pusing entah Jungkook sedang jungkir balik atau apa, karena
saat teringat kalau tugasnya telah terhambat satu-satunya yang ada di
pikirannya adalah mencoba mengejar waktu yang sudah terbuang. Hyeso
berlari-lari kecil, tidak habis pikir kenapa tempat kran air harus diletakkan
begitu jauh dari tempat dimana mereka sedang memasak sekarang.
Setelah memastikan kalau panci yang dibawanya terisi cukup air, Hyeso
mematikan kran lalu berbalik, namun bukannya melangkah maju dia malah mundur
selangkah. Seseorang sedang berdiri di belakangnya dan melihatnya tiba-tiba
seperti barusan membuatnya luar biasa terkejut, itulah kenapa dia reflek
melangkah mundur.
Mendongakkan kepala, dia bisa melihat Kim Seokjin sedang memandangnya
heran.
“Astaga kukira siapa..” Hyeso menghela nafas.
“Maaf, apa aku membuatmu kaget?” Tanya Jin, diikuti gelengan kecil Hyeso,
walaupun pada dasarnya dia memang merasa kaget.
Menyadari kalau ini mungkin akan menghambat pekerjaannya lagi, tanpa pikir
panjang Hyeso cepat-cepat berjalan kembali ke area memasak sementara Jin
kembali menatapnya heran.
“Jung Hyeso, kenapa lama sekali?” Mendengar suara seniornya tepat saat
Hyeso menyalakan kompor membuat gadis itu menelan ludah.
“Kau hanya kusuruh mengambil air tapi lamanya seperti menambang emas, kau
tidak sadar kalau perbuatanmu menghambat yang lain? Baru saja aku menyuruh
Seokjin menyusulmu, dimana dia sekarang?”
Rahang Hyeso kaku, dia baru memahami situasinya tapi sama sekali tidak bisa
memberi jawaban pada seniornya yang mulai menunjukkan ekspresi seram.
“Aku disini, sunbae!”
Hyeso menoleh, tiba-tiba Jin sudah ada di belakangnya. Dia tidak bisa
merespon apa-apa sampai seniornya kembali membuka mulut. “Kalian berdua, tolong
kupas bawang yang ada disana.”
Mengupas bawang? Terkutuklah Hyeso, dia sangat tidak suka melakukan hal itu
karena air matanya terlalu peka setiap berada dekat-dekat dengan bawang. Tetapi
Hyeso tahu dia bisa tamat kalau menghindar dari tugas ini, seniornya saja baru
memarahinya, dia tidak ingin menambah frekuensi kesalahan dan menjadi semakin
sial jadi mau tidak mau tangannya segera meraih pisau.
Untuk kedua kalinya dia bersyukur tidak harus melakukan hal ini sendirian,
sampai kemudian Jin melakukan sesuatu yang membuat Hyeso kembali bersyukur atas
takdirnya. Lelaki yang berdiri disampingnya itu mendadak menyodorkan sapu
tangan.
“Matamu sangat sensitif ya?”
Hyeso hanya bisa tersenyum kecil sambil menahan perih di matanya, setelah
menggumamkan terima kasih dia menyeka air mata dengan sapu tangan milik Jin
yang beraroma sama dengan sapu tangannya, bunga mawar.
“Lucu sekali, ini kedua kalinya kau memberiku sapu tangan” Hyeso tertawa.
“Itu karena sekarang tidak ada helm.”
Jawaban Jin seketika menghentikan tawa Hyeso, dia berusaha mencerna kalimat
itu tapi gagal karena memang terlalu sulit untuk dipahami. “Helm? Maksudmu?”
Mendengar itu Jin mengedarkan pandangannya seolah memastikan tidak ada
orang lain di sekitar mereka. “Dengar, ini sedikit memalukan..” Kemudian lelaki
itu mendekatkan mulutnya ke telinga Hyeso, “Kalau mataku sedang sensitif
sepertimu aku akan memakai helm saat mengupas bawang.”
Sesaat Jung Hyeso membeku di tempat, mendengar bisikan Jin di telinganya
dan merasakan nafas lelaki itu menyentuh kulitnya membuat jantung Hyeso berdetak
entah berapa kali lebih cepat. Namun perkataan Jin tentang helm menariknya
kembali ke dunia nyata, spontan tawa gadis itu pecah. Jin tersenyum, dia sangat
suka mendengar suara tawa itu.
Choonhee membuka mata, sebersit rasa sakit menyerang kepalanya alhasil dia
kembali memejamkan mata. Setelah rasa sakit itu hilang matanya langsung
menelusuri setiap inci dari apa yang bisa dia lihat.
Ingatannya mulai bermunculan, dia tadi sedang mencari kayu bakar bersama
Hani, matahari sudah berada di puncak ubun-ubun dan membuat cuaca semakin
panas. Saat itu rasa pusingnya sudah semakin parah dan saat dia memungut satu
lagi ranting kayu tahu-tahu semuanya berubah gelap.
Sudah jelas dia pingsan, dan sepertinya Hani membawanya ke ruang kesehatan.
Dia bisa merasakan ranjang empuk yang sedang dia tiduri, entah sudah berapa
lama dia pingsan yang jelas fakta itu sedikit mengganggu pikirannya.
“Choonhee? Kau sudah bangun?”
Mata Choonhee bergerak ke arah suara itu, tepat disamping tempatnya
berbaring Jungkook duduk tenang dengan ponsel di tangannya.
“Jungkook―?”
“Tunggu! Jangan duduk dulu! Tetap di posisimu yang sekarang!”
Tanpa disuruh pun Choonhee sudah akan melakukannya, dia masih merasa
terlalu pusing untuk duduk dan lagipula ranjang ini terlalu empuk untuk tidak
ditiduri. Sementara itu Jungkook mulai bicara lagi, “Kau pasti tahu tadi kau
pingsan kan?”
Setelah Choonhee mengangguk pelan, Jungkook menyentuh dahi gadis itu. “Kau
demam? Kenapa nekat ikut summer camp?”
Sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau Choonhee akan menjawab, gadis itu
terlalu sibuk meredakan kembali detak jantungnya setelah Jungkook tiba-tiba
menyentuh dahinya barusan. “Choonhee, kau butuh istirahat. Tunggu disini, akan
kuambilkan sesuatu untuk dimakan.”
Jungkook beranjak dari kursinya, ketika sampai di ambang pintu dia
mendengar Choonhee memanggilnya, spontan dia menoleh.
“Apa kau anggota PMR?”
Sejenak Jungkook terdiam selagi otaknya berputar, lalu dia tersenyum lebar.
“Ya, aku anggota PMR.”
“Taehyung, kuharap
kau tidak keberatan berbagi karena porsi makan Soonyoung bertambah begitu
banyak akhir-akhir ini.”
“YA! Maksudmu apa?!”
Mendengar pernyataan Choi Seungcheol serta bantahan Kwon Soonyoung membuat
Taehyung tertawa. Dia senang karena Jimin membantunya mencari teman satu tenda
lalu mengenalkannya pada lima orang asing yang ternyata cukup menyenangkan,
walaupun dalam hati dia sedikit berharap bisa satu tenda dengan Jimin dan yang
lainnya sih.
Isi piring Taehyung sudah berkurang setengah saat Soonyoung kembali membuka
pembicaraan, “Aku mendengar hal yang menarik dari senior tadi pagi!”
Semua perhatian teralihkan menuju Soonyoung. “Katanya, ada mitos yang
selalu terjadi tiap summer camp di sekolah kita.”
“Tolong jangan bilang ini cerita seram” Lee Jihoon mengacungkan sumpitnya
ke arah Soonyoung, yang langsung tertawa puas.
“Tidak, tenang saja, bukan kok.”
“Lalu apa?” Tanya Seungcheol.
“Ini rasanya seperti di anime, jika kau menyatakan perasaan pada
orang yang kau suka saat acara api unggun besok malam―”
Mendadak Hong Jisoo tersedak, menginterupsi perkataan Soonyoung. Kali ini
semua perhatian teralihkan pada Jisoo, lelaki itu terbatuk-batuk seperti orang
yang baru saja tenggelam.
“Astaga Jisoo, kau tidak apa-apa?” Yoon Junghan bertanya dengan nada
simpati dan langsung menyodorkan segelas air mineral pada Jisoo.
“Jangan cerita yang aneh-aneh Soonyoung, bagaimana kalau Jisoo sampai batuk
darah?” Gertakan Jihoon membuat Soonyoung bergidik.
Kekhawatiran Taehyung memudar seiring dengan batuk Jisoo yang sudah reda,
kata-kata Jihoon tentang batuk darah tadi membuatnya sedikit takut walaupun dia
tahu kalau Jihoon tidak serius. Mereka kini membahas hal lain, berusaha tidak
menyinggung hal-hal yang mungkin bisa membuat Jisoo tersedak lagi. Namun Kim
Taehyung sudah terlanjur mendengar baik-baik cerita Soonyoung, dan kali ini dia
benar-benar merasa penasaran.
***
Setelah menguncir
rambutnya dengan rapi, Hwarin memutuskan untuk bercermin sekali lagi untuk
mengecek penampilannya. Kemudian dia berbalik, berjalan keluar dari kamar mandi.
Di langkah yang entah keberapa, kakinya menendang sesuatu, sebuah botol kecil
berwarna kuning cerah.
Dengan terburu-buru dia berjongkok di dekat benda itu, sedikit heran karena
bisa menendangnya sebegitu jauh sampai keluar pintu. Matanya menyipit ketika
menyadari logo berbentuk kepala bayi tergambar jelas disana, “Sabun bayi?”
Seseorang kemudian menyentuh permukaan plastik botol tersebut bersamaan
dengan Hwarin yang memang akan mengambilnya, spontan gadis itu mendongak.
“Namjoon?”
Hwarin menarik tangannya kembali, sedikit merasa girang karena akhirnya
bisa bertemu dengan Namjoon di hari pertama summer camp ini sekalipun dalam
situasi yang tidak terduga. Sementara itu Namjoon langsung menyambar botol
kecil tadi, dia menyembunyikan tangan kanannya dibalik punggung, sayangnya Lee
Hwarin tidak sebodoh itu untuk ditipu. “Tunggu, benda itu milimu?”
“Eh―? Iya― Tidak! Bukan!”
Tanpa menggubris bantahan histeris Namjoon, Hwarin menarik tangan kanan
lelaki itu lalu mengambil benda tadi. Dengan seksama dia memperhatikan
detail-detail yang tertulis disana.
“Wah benar! Ini sabun bayi!” Ujarnya nyaring lalu kembali menatap Namjoon
yang kini menggigit bibirnya dengan gugup. “Namjoon, ini milikmu?”
“I-itu..”
“Pfftt―”
“Tunggu―”
“HAHAHAHAHAH INI MILIKMU???”
Mengetahui fakta bahwa Kim Namjoon merupakan pengguna produk sabun bayi,
Hwarin benar-benar tidak bisa lagi menahan tawanya. Posisinya saat itu masih
berjongkok begitupun dengan Namjoon yang berada di depannya, yang membedakan
adalah sekarang Hwarin terpingkal-pingkal sementara Namjoon terlalu speechless
untuk mengatakan sesuatu.
“ASTAGA KIM NAMJOON MEMAKAI SABUN BAYI?! HAHAHAHAHA―”
Terlihat jelas sekali di mata Hwarin kalau lelaki yang sedang dia
tertawakan mencoba untuk mengelak, namun Hwarin sendiri tidak bisa menghentikan
tawanya, itu membuat Namjoon tidak memiliki celah untuk bicara.
Pada akhirnya Namjoon pergi dengan langkah kesal, berusaha mengabaikan
Hwarin yang masih belum puas tertawa. Tapi kali ini Hwarin tahu kalau temannya
itu pasti benar-benar marah padanya.
***
“Dalam kegiatan
ini, kami para senior yang akan mengatur. Kalian akan berpasangan mencari pohon
yang sudah ditandai, lalu menancapkan bendera disana.”
“Hei Jin, itu siapa sih?”
Tangan Hyeso menunjuk seorang senior yang sedang berbicara di depan
menggunakan pengeras suara, menjelaskan detail kegiatan yang sudah disiapkan
untuk para junior.
“Oh Sehun-sunbae” Jawab Jin singkat. Hyeso lalu mengangguk-angguk.
“Ternyata ada juga kakak kelas yang tampan seperti dia..” Hyeso mengatakan
itu sambil berbisik, tapi ternyata suaranya cukup keras untuk didengar Hani
yang saat itu berdiri di belakangnya.
“Wah, ternyata kau juga berpikir begitu!” Ujar Hani dengan nafas tertahan.
“Menurutmu dia tampan? Sudah kubilang, dia pasti populer, Jin saja sampai
tahu namanya. Iya kan― Jin? Hei kau mau kemana?”
Terlambat, Jin sudah berjalan menjauh tepat saat Hyeso kembali mengajaknya
bicara. Gadis itu memandang sosok Jin yang mulai hilang ditelan kerumunan
sambil mem-poutkan bibirnya, sementara di belakangnya Hani tertawa kecil.
Mendadak satu lagi orang ikut masuk dalam pembicaraan mereka. “Menurutku
Park Chanyeol-sunbae lebih tampan..” Kata Park Choonhee.
“Hah? Yang mana itu?” Hyeso mengerutkan dahinya, kemudian mengikuti arah
yang ditunjuk oleh Choonhee.
“Itu, dia yang berdiri disamping Sehun-sunbae.”
“Oh lelaki tinggi itu?” Tanya Hani polos.
“Iya! Dia keren sekali― Aduh! Jungkook kenapa kau menginjak kakiku?”
Jeon Jungkook menoleh singkat, dengan cuek dia menjawab. “Maaf, tidak
sengaja.”
“Apanya yang tidak sengaja? Jelas-jelas tadi―”
“Yang di belakang, bisa tolong diam?”
Hening seketika. Choonhee menghentikan omelannya saat Sehun, salah satu
orang yang dibicarakan ternyata sejak tadi memperhatikan mereka (karena memang
ketiga siswi itu terlalu banyak berbisik-bisik) dan tidak bisa menahan diri
lagi untuk memberikan teguran.
“Namjoon.”
Namjoon menoleh, Hwarin sedang berdiri di sebelahnya entah sejak kapan dia
berada disitu. Oke itu tidak penting, Namjoon masih kesal padanya karena
perempuan itu terlalu sibuk menertawakannya ketika dia ingin menjelaskan kenapa
dia memakai sabun bayi. Hwarin diam, padahal Namjoon berharap perempuan itu
ingin minta maaf.
“Kau marah padaku?”
Kata-kata itu meluncur dari mulut Hwarin, kali ini Namjoon hanya meliriknya
singkat kemudian menggeleng pelan. Dalam hati dia berpikir apakah Hwarin bisa
membaca pikirannya?
“Kau pasti marah. Tapi aku tidak berniat minta maaf.”
“Hah?”
“Begini, kurasa setiap orang punya rahasia sendiri-sendiri, dan rahasiamu
adalah ‘sabun bayi’. Tidak apa, memakai sabun bayi bukan hal yang―”
“Wow berhenti! Akan kujelaskan, oke?” Namjoon menginterupsi.
“Jelaskan apa?”
Setelah Hwarin mengatakan pertanyaan itu, Namjoon menghembuskan nafas lega.
Dia lalu berdehem, seolah akan menjelaskan pidato yang panjang. “Pertama, itu
bukan milikku. Kedua, aku memang memakainya tapi karena keadaan terdesak.
Ketiga, alasanku memakainya dengan terpaksa adalah karena sabunku ketinggalan.”
“Jadi itu milik siapa?”
“Jungkook.”
Serius, Hwarin ingin tertawa tapi dengan susah payah dia menahannya, hari
ini dia telah belajar untuk mendengarkan penjelasan orang dulu. “K-kenapa
Jungkook punya sabun bayi?”
Namjoon mengendikkan bahu, “Entah. Awalnya aku mencoba meminjam ke orang
lain tapi mereka semua terlalu pelit, lalu muncul Jungkook dan dia memberikanku
benda itu. Katanya dia membawa dua jadi aku bisa pinjam satu.”
Suasana hening kembali, mereka mungkin mencoba fokus pada apa yang sedang
dikatakan senior mereka tentang kegiatan selanjutnya apalagi setelah lelaki
tinggi itu memberi peringatan pada beberapa murid yang berisik. Tetapi pikiran
Hwarin berkecamuk, memikirkan Jungkook yang membawa sabun bayi. Tiba-tiba dia
teringat sesuatu.
“Namjoon?”
“Apa?”
“Maaf.”
“Siapa yang
mendapat nomor 59?”
Mendengar Kim Hani yang bertanya pada semua orang satu persatu tentang hal
yang sama denga suara nyaring membuat Hoseok memicingkan matanya, memandang
secarik kecil kertas di tangannya yang bertuliskan ‘59’.
“Hoseok, kau dapat nomor berapa?”
Dia menoleh ke arah Taehyung yang mendadak ada di belakangnya, mulutnya
sudah bersiap meluncurkan jawaban saat sesuatu terpikirkan olehnya.
Taehyung. Hani. 59. Jung Hoseok kau benar-benar jenius!
“Taehyung boleh kita bertukar?”
“Apa? Kenapa?”
“Bukan, maksudku kita harus bertukar!”
Sedetik kemudian tangan Hoseok langsung menyambar kertas yang dibawa
Taehyung dan menggantinya dengan kertas miliknya tepat saat Kim Hani
menghampiri mereka. “Apa diantara kalian ada yang mendapat nomor― Ah
Taehyung!!”
Ekspresi bingung sudah terpasang jelas di wajah Kim Taehyung, baru saat
Hani menunjuk kertas yang baru saja ditukar Hoseok dia membulatkan mulutnya
tanda mengerti.
“Untung bukan orang asing..” Ujar Hani sambil membuang nafas, “Kalau begitu
ayo!”
Hani berbalik dan berjalan mendahului Taehyung, padahal lelaki itu berpikir
akan lebih baik kalau Hani menarik tangannya. Sambil melempar senyum lebar dia
mengucapkan terima kasih pada Hoseok, dia tidak menyangka temannya mendadak
berubah menjadi orang baik yang berinisiatif menukar kertas undian untuk
kegiatan penjelajahan berpasangan.
“Kau berhutang sepuluh kali lipat padaku!”
Oke mungkin Jung Hoseok tidak sepenuhnya baik.
“Umm.. Kau tidak
apa-apa?” Tanya Taehyung sambil melirik perempuan yang berjalan di belakangnya,
perempuan itu mengangguk pelan.
“Hani, kalau takut bilang saja.”
Perempuan itu memasang wajah kesal setelah mendengar kata-kata Taehyung,
dia merasa direndahkan, tapi dia tidak bisa membantah. “Baik. Aku memang
penakut. Silahkan tertawa sepuasmu.”
Bukannya tertawa, Taehyung malah menarik tangan Hani yang sedari tadi tidak
bisa melepaskan lengan jaketnya. Dia lalu menggenggam tangan gadis itu, yang
langsung tersentak kaget. “Lebih baik begini daripada kau menarik-narik lengan
jaketku.”
Perasaan takut masih menyelimuti hati Hani, tapi sekarang perasaan itu
tercampur dengan kegugupan yang membuat jantungnya bekerja lebih cepat lagi,
padahal tadi dia sudah cukup berdebar-debar.
Dengan Hani yang tidak berani bicara satu patah kata pun, yang bisa
dilakukan Taehyung adalah terus mengarahkan senternya ke satu persatu pohon,
sementara itu dia berusaha memastikan genggaman tangannya bisa membuat Hani
sedikit lebih tenang.
“Ah itu dia!”
Cahaya senter menerangi sebuah pohon berpita hijau yang melilit
mengelilingi batangnya. Taehyung menoleh ke arah Hani, secara tidak langsung
menyuruh perempuan itu segera menancapkan bendera yang dia bawa disamping pohon
tersebut.
Mereka kemudian berjalan mendekati pohon itu, sebelum berjongkok untuk
menancapkan bendera Hani menatap ke arah tangan kirinya yang masih digenggam
erat oleh Taehyung.
Lelaki itu menyadari tatapan Hani, dia langsung melepaskan tangannya.
“Maaf..”
Namun Hani kembali meraih tangan kanan lelaki itu. Dengan suara pelan dia
berkata, “Tidak, tolong jangan melepaskan tanganmu.”
Mata Taehyung membulat, dia sama sekali tidak menyangka Hani akan
mengatakan hal itu. Seulas senyum manis terukir di bibirnya, dengan satu
tangannya yang bebas dia menyelipkan rambut panjang Hani yang diurai ke
belakang telinga perempuan itu lalu berbisik padanya. “Aku tidak akan
melepaskannya.”
Lima belas menit
sudah berlalu semenjak Jimin da Rahee mulai mencari salah satu pohon dengan
pita berwarna merah melilit di batangnya diantara ratusan pohon yang ada
disana. Hanya dengan satu buah senter sebagai penerangan, Rahee tidak bisa
berhenti mengeluhkan kalau dia takut ada katak disamping kakinya.
“Kenapa kau takut sekali pada katak?” Tanya Jimin setelah Rahee mengeluh
untuk ke-sepuluh kalinya.
“Ugh.. Benda itu menjijikkan, dan menakutkan..”
“Katak itu ‘hewan’, bukan ‘benda’.”
Rahee memutar bola matanya, sedikit tidak terima kalau Jimin dengan nilai
pelajaran bahasa yang lebih rendah daripada dia malah membenarkan kata-katanya.
“Benda hidup. Sama saja.”
Jimin terlihat tidak terlalu menggubris jawaban Rahee, dia membelokkan
topik pembicaraan karena terlalu bosan dengan topik ‘katak’. “Rahee, apa kau
memang orang yang bisa dekat dengan siapa saja?”
“Hah? Tidak, aku ini pendiam.”
“Pendiam huh.”
“Ya! Berhentilah mengejekku!”
“Tapi sepertinya kau punya banyak kenalan dari kelas lain.”
Rahee mencoba berpikir sejenak, mengingat-ingat apakah dirinya memang
mempunyai ‘banyak’ teman dari kelas lain dan jawabannya tidak. “Hanya beberapa,
tidak banyak, itu pun semuanya perempuan.”
“Benar?” Tanya Jimin dengan nada tidak yakin, dia menaikkan salah satu
alisnya. “Kukira kau kenal Soonyoung.”
“Soonyoung? Siapa?”
Mereka berdua berhenti berjalan. Tidak juga sih, awalnya Jimin yang
berhenti duluan lalu Rahee ikut berhenti.
“Kau tahu, laki-laki dari kelas F yang ikut Klub Dance.”
“Aku tidak kenal siapapun dari Klub Dance kecuali kau, Jungkook, Hoseok dan
Choonhee.”
Jimin menggeleng, “Kwon Soonyoung, rambut pirang, mata segaris, dia selalu
memakai sweater abu-abu.”
Ingatan Rahee kembali berputar, sosok seseorang yang sudah beberapa lama
tidak dia pikirkan lagi kembali muncul di permukaan ingatannya. Lelaki yang dia
tabrak di hari kedua sekolah dan lewat di koridor depan kelasnya tiga hari
kemudian. Apa dia yang dimaksud Jimin?
“Oh.. Jadi namanya Kwon Soonyoung?”
***
To Be Continued
To Be Continued
(A/N)
Butuh usaha keras cuma buat nge post ini :")
Comments
Post a Comment