you might as well be the one


“Sekalian saja.” Saya menggambar ikan-ikan, lalu terumbu karang, lalu lingkar-lingkar kecil dan lingkar-lingkar besar. “Lucu juga kalau dikasih rumah, ya?”

“Bentuk nanas?”

“Kok nanas.”

Pensil warna disita dari tangan saya. Giliran kamu yang menggambar nanas berwarna biru. Sejak kapan ada nanas yang warnanya biru?

“Ini kan, akuarium,” jawabmu, ujung pensil masih mengairi pucatnya kertas. “Lampunya harus biru.”

Nanas itu tampak sakit, seperti habis dibawa mendaki, terjebak badai salju berhari-hari, sampai akhirnya terjangkit hipotermia kronis. Jemari saya gelisah, sembunyi-sembunyi meraih satu warna dari dalam kotak. Kamu meledek ketika saya bubuhi matahari jingga tepat di atas koloni ikan-ikan. “Tidak ada bintang di dasar laut, Ra.”

“Bintang jatuh?”

Decak lidah. “Sudah padam pasti, cahayanya.”

“Berarti bintang laut.” Saya lempar senyum kemenangan padamu yang sebatas menggeleng-geleng. “Tapi kenapa ya,” lanjut saya, “simbol bintang itu lebih mirip yang kita temui di laut, bukannya di langit?”

“Sebenarnya sama kok,” jawabmu sambil mengarsir pintu dan jendela-jendela. “Yang di langit jaraknya lebih jauh, jadi cuma kelihatan samar-samar.”

“Tapi, dari dekat pun mereka tidak kelihatan begitu.”

Bertambah satu lagi bintang di sisi matahari; kali ini bukan bintang laut, melainkan bintang sebetul-betulnya. Lingkar api raksasa. Gores-gores serupa obor yang habis diminyaki, disulut menerangi malam. Apa, ya? Mungkin Betelgeuse. Mungkin Antares. Saya tiba-tiba teringat saat kamu memujinya. Bintang yang akan mati, tapi kerlipnya terang sekali. Di penghujung hidupnya, kenapa dia malah semakin tersiar jingga?

“Taruh bintang-bintangmu di halaman,” sindirmu melalu. “Jangan malah di akuarium.”

Gumam samar. “Teleskop di halaman?”

“Boleh. Atau di loteng.”

“Memangnya kita bakal punya loteng?”

“Di balkon—apa di genting.”

“Sekalian saja,” saya bilang, entah untuk kali keberapa hari ini. Sekalian saja kita bikin akuarium (karena kolam ikan terlalu ribet mengurusnya). Sekalian saja kita pasang rak buku tinggi, yang menyentuh langit-langit! Sekalian saja pakai tangga yang bisa digeser-geser itu, supaya gampang mengambil buku-bukunya. Sekalian bangun pantri di dapur—saya sudah lama sekali ingin punya satu. Sekalian taruh meja di teras belakang, ya? Kamu mau, kan, saya undang minum teh setiap sore di sana? Berlembar-lembar coretan kita menyesaki meja. “Kita beli teleskop dua?” sambung saya.

Jeda pertimbangmu berat betul, seakan dua laras teleskop itu demikian perlunya dihitung matang-matang. Padahal, kita sudah sampai di lantai kesepuluh, ibaratnya. Tabungan kita ludes. Lift mandek enam lantai lalu, tapi kita masih ngotot meniti anak tangga. Atapnya masih jauh sekali. Bisa-bisa tertembus telapak kaki awan. Kalau kamu jadi mengontak temanmu yang arsitek itu, pasti dia sudah menyumpahi angan-angan kita yang keterlaluan tinggi. Pada akhirnya kamu bilang, “Menurutku, cukup satu.”

“Oke, satu.”

“Kan, bisa dipindah-pindah gitu.”

“Ya, betul.”

Kamu mengangguk. “Yang butuh dua itu, kursi pijat.”

“Kamu kan sudah punya!”

“Iya, berarti butuh satu lagi.” Pensil warna ditanggalkan. Rumah Nanas Biru terbangun dalam akuarium imajiner, diselimut hangat dua matahari. Kamu menatapnya dengan puas. “Soalnya, kita pasti berebut nanti.”

Entah mau ditaruh mana sepasang kursi lebar begini. Mengenalmu, saya yakin kamu niatnya menata mereka berdamping-dampingan. Tidak bisa kalau yang satu di kamar tidur, satunya nyasar di ruang duduk. Tidak boleh sendiri-sendiri. Heran, kursi saja segan kamu pisahkan. Meski kamu sendiri hobinya ditelan purnama sampai gerhana selanjutnya. Berkabar sebatas aku baik atau cuaca cerah di luar. Bagaimana kita bertahan sejauh ini, saya masih tidak habis pikir.

“Kamu betul-betul mau menemuiku tiap hari?” Datang lagi pertanyaan itu.

“Mau.” Simpul sesingkat yang sudah-sudah. Tanganmu menyangga pipi, bukan maksud letih atau apa, saya tahu sebab kamu pandangi saya bagai mengantisipasi bantahan tiba-tiba.

“Kamu kok masih tahan kutanyai hal yang sama berkali-kali?”

Perlahan, helai-helai rambut longsor ke tepian keningmu. “Kalau tidak ditanya, aku toh bakal bilang juga.”

Sorot saya jatuh pada tumpuk kertas. Tidak selalu, saya pikir, tidak selalu dengan kata-kata, tetapi lambat laun saya pun menemukannya pada gelas-gelas kopi; di peron stasiun ketika jadwal kedatangan molor berpuluh menit; pada aku baik atau cuaca cerah di luar yang dikirim kadang-kadang, meski tiga tahun lalu saya bilang bukan masalah jika kamu pilih sunyi dibuai purnama-purnama. Saya tidak pernah ke mana-mana. Cuma, seringkali masih sulit mengakuri setiap hari yang tidak hanya baik maupun cerah. Akan ada yang lain-lain, tentu, dan saya bingung memetakan kalendernya.

“Kalau hujan,” tutur saya, “kamu mau jendelanya ditutup atau dibuka?”

“Dibuka.”

Saya meraih pensil warna lagi. Hijau tua. “Kita butuh selimut yang banyak, Gi.”

“Yang lebarnya tiga meter. Sekalian.”


 

untuk myg
sepuluh tahun, semoga
bisa berkenalan lagi 

Comments