Sebulan terpanjang di dunia
jangan jadi asing, yoongi. Ini sebulan terpanjang di
dunia dan tetanggaku semakin mahir menyinggung perkaramu. Si Itu,
sebutnya, berjarak dari nama lahirmu, masih kamu tunggu dia? Pasca
kuiyakan selalu yang timbul justru beragam interval yang menghukum kita.
Kurasa-rasa, mereka bagai ulur-mengulur tiap kurobek kalenderku dan
hitam-merahnya kehabisan makna. Aku jadi mendamba lusa sekaligus kemarin dulu.
Aku ingin mengingatmu baik-baik, menyerasi sepuluh tahun kita sebelum wajah
akrabmu itu tampak lagi olehku. Kadang kala, aku seperti tidak berani
menghadapnya. Ingat, tidak? Delapan musim semi lalu ketika usiamu belum jangkap
dua lima? Masih muda sekali. Demikian yang tebersit padaku belakangan. Kurang
jelas apakah ini sepenuhnya admirasi atau terselip juga kecemasanku. Bintang
yang diraihnya terlalu tinggi, kupikir. Bisa-bisa kamu tenggelam di arus
Bimasakti. Aku tahu kamu tak akan suka kubilang begini. Anganmu telah melebur
semerbak konstelasi; kamu yang membantingnya berletah-letai, sekujur tubuhmu
pun kuyup membekas luka. Pada tiap keping yang larut jadi supernova, langkahku
tertinggal seratus tahun cahaya. Terus terang saja, aku tak mengira umurku akan
imbangi punggung yang kupandang malam itu, delapan musim semi lalu. Sempat kubilang pada tetanggaku itu, supaya dia menyapamu untukku (tapi, aku malah disuruhnya berpamitan sendiri). Hidup kita ini memang berbeda
sekali, ya? Yoongi, jangan jadi asing, pintaku. Jangan menyendiri lebih dari
yang sudah-sudah. Purnama ini masih menyambutmu seindah yang lalu-lalu.
d-30
Comments
Post a Comment