Kepala dan segerombol busa
sikat gigiku patah di mulut. Pantas saja, katamu. Umurnya sudah hampir
satu tahun, sikat gigi itu, sudah minta pensiun. Meringis kumuntahkan kepala
dan segerombol busa. Serabutnya tersangkut beberapa di celah gigi, berebut
tusuk-menusuk lidahku ketika kucoba berkumur. Bandel juga. Mereka tidak mau
copot, kubilang. Gumam prihatin darimu. Kamu perlu mengganti sikat gigi
tiga-empat bulan sekali—tambahan—kamu juga perlu ke dokter gigi setahun
dua kali. Refleksiku menganga di cermin selagi suaramu bersahut dari transmisi.
Kusiangi sabut-serabut itu, agak tergesa sebab rahangku lama-kelamaan mengejang.
Geraham. Premolar. Bawah. Ujung. Si Bungsu masih miring menyembul. Kenapa
tidak dicabut? tanyamu. Hm. Kenapa, ya? Takut saja, pikirku. Padahal
kan, tidak sakit—tidak akan terasa apa-apa. Dan aku jadi terpikir kapan
keempatnya terbius lepas dari lubang gusimu. Apakah sebelum atau sesudah kita
saling mengenal? Kenapa ya, kamu selalu tahu apa-apa saja yang kutakutkan? Tidak
usah dipikirkan, tambahmu lagi. Kamu mulai bicara soal hal-hal jauh,
tentang sarapanmu yang baru diantar dan bel interkom yang suaranya mirip
jinggel minimarket. Semua itu, seharusnya aku pernah dengar. Kapan tepatnya, aku
sudah lupa. Semua terasa sama jauhnya. Jariku menekan keran, membilas habis
wastafel yang buihnya terus tenggelam, tenggelam....
dan sering takut untuk kusapa
Comments
Post a Comment