the moon is made of cheese (but can we taste it?)
Hyrule berasal dari bulan dan Legend menemukannya di dalam sebatang pohon chestnut.
Meski tidak pernah ada penjelasan di antara keduanya, Hyrule tetaplah Hyrule yang Legend berikan pijakan nyaman di saku kiri mantelnya manakala sepasang sayap mungil itu lelah mengepak, yang disembunyikan di balik topi saat ia mencium ada bahaya mendekat, yang tidak akan ia tukar dengan apa pun meski Ravio sempat mengiming-imingnya seratus ribu rupee. Hyrule tetaplah Hyrule meski Legend tak pernah diberi kesempatan mendengar kisah masa kecilnya, atau di mana ia lahir, atau mengapa suatu hari ia meringkuk di dalam sebatang pohon chestnut bersama luka di sekujur tubuh dan darah menyurih kulit kayu serta ilalang di bawahnya.
Legend hanya tahu bahwa Hyrule berasal dari bulan—setidaknya, begitulah yang ia tebak. Tentu, Hyrule bisa saja berasal dari hutan, sebagaimana peri-peri kebanyakan, namun sesuatu mengatakan Hyrule bukanlah peri kebanyakan.
Sebab Legend tahu, peri tidak terluka seperti manusia. Mereka yang mekar beriringan musim semi nantinya akan layu bagai bunga di penghujung tahun. Luka di tubuh mereka tidak seharusnya meneteskan cairan merah pekat, melainkan serpih-serpih cahaya yang kian lama kian meredup. Begitulah yang didengar Legend dahulu sekali, ketika ia baru belajar menghapal mantra pertamanya.
“Jadi, kau ini apa?” tanya si penyihir muda suatu waktu.
Sosok mungil seukuran telapak tangan itu balik menyodorkan tanda tanya di antara kedipan mata. “Aku Hyrule,” jawabnya.
Maka Legend menyerah untuk bertanya. Dan Hyrule tetap menjadi Hyrule, sebagaimana jawaban yang ia lontarkan acapkali Legend atau teman-Legend-yang-berkostum-mirip-kelinci-ungu atau sekelompok serangga atau roh-roh hutan menanyakan, kau ini apa?
“Coba kau pikir, kenapa namamu Legend?”
Sang pemuda terdiam sebentar, kemudian mengedikkan bahu. “Sudah begitu sejak aku lahir. Kalau boleh memilih, aku juga mau nama yang lebih keren.”
Hyrule menjentikkan jarinya—yang tampak jelas namun tak menimbulkan bunyi sama sekali. “Benar! Sama seperti kenapa langit berwarna biru, atau kenapa bulan terbuat dari keju.”
Kalimat terakhir yang Legend dengar membuatnya menaikkan sebelah alis. “Kata siapa bulan terbuat dari keju?”
“Kau tidak tahu? Bulan sendiri yang bercerita.”
Hyrule menyalahkan Legend yang enggan mendengarkan kisah-kisah bulan, padahal bukan sepenuhnya kekeliruan sang penyihir—maksudnya, bulan memang sumber energi magis bila matahari absen di angkasa, tapi bukan berarti makhluk mortal macam dirinya bisa dengan mudah bicara dengan bulan, yang diraih oleh tangan saja tidak sampai.
Legend mulai berasumsi, dari cara Hyrule memandang kilau bulan setiap malam, dari cerita-cerita Hyrule soal bulan, bahwa—mungkin, semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Legend ada di sana. Di bulan yang terbuat dari keju, yang meminjamkan seberkas bayangan matahari di antara tersilamnya malam, yang membisikkan kisah-kisah sebelum tidur pada Hyrule.
Hingga suatu waktu, hari terasa sedikit lebih panjang dan bintang-bintang terlambat menyapa. Mereka baru kembali dari perjalanan singkat ke negeri tetangga, sudah amat larut kala mereka sampai di hadapan pintu rumah yang telah begitu familier bagi Hyrule. Si pemuda penyihir tampak berusaha menggali sisa-sisa energinya untuk masuk, berjalan terseok-seok ke kamar tidur dan meletakkan barang bawaannya sembarangan. Ia kelihatan tidak ingin diganggu (terkadang Hyrule sendiri heran kenapa Legend masih membiarkannya tinggal).
Hyrule nyaris memutuskan untuk pergi tidur tanpa mengusik pemuda tersebut, seandainya ia tak menangkap objek yang dengan susah payah dikeluarkan Legend dari tasnya.
Sebotol ramuan.
Aneh, ia pikir. Hyrule telah menghapal一atau setidaknya, tahu, setiap ramuan yang tersimpan di antara benda-benda magis Legend. Ia sering melihat botol satu ini pula, nyaris setiap malam sebelum mereka tertidur di bawah naungan langit berbintang. Awalnya, Hyrule kira ramuan itu semacam penyembuh, atau meningkatkan intuisi selagi ancaman mungkin bersembunyi di bayang pepohonan一entahlah, ia tak pernah bertanya. Dan Legend tak pernah menghiraukan tanda tanya besar di mata Hyrule yang menyalang. Akan tetapi, kini mereka sudah aman di dalam rumah, dan pastinya setiap pintu maupun jendela sudah terkunci rapat. Mengapa harus repot-repot menenggak ramuan itu segala?
Apa
yang ditakutkan Legend?
“Hei, Legend,” panggil Hyrule akhirnya. “Itu apa?”
Boleh saja Legend mengusir sosok kecil itu dari bahunya, seraya menggerutu ‘jangan banyak tanya.’ Namun kali ini ia cuma bergeming. Sedetik, dua detik, lantas diambilnya sehela napas pendek. “Ini ramuan, dan kau tidak kuperbolehkan mencicipi.”
Hyrule lah yang kini menggerutu. “Duh—aku tahu itu ramuan. Maksudku, itu untuk apa? Kelihatannya seperti penyembuh, tapi ‘kan kau sedang sehat, tidak tergores satupun ranting pohon.”
Hening. Atensi sang pemuda terpatri pada botol kristal di tangannya, yang sudah tidak semengilap dahulu sebab terlalu sering dicuci dan dijejali cairan yang sama. Sudah berapa lama? pikirnya, lantas ia genggam benda tersebut kuat-kuat. “Ini sihir sederhana,” ujarnya lirih, “untuk mengusir mimpi dari tidurmu.”
Legend tidak menoleh, namun ia yakin Hyrule tengah bertanya-tanya.
.
Malam itu ia tertidur. Tetapi, baik mimpi buruk maupun kegelapan tidak datang menyapa.
Legend memejamkan mata dan kesadarannya dibawa pergi ke angkasa. Ia bermimpi tentang bulan, tentang rumah di tengah danau, tentang Hyrule—yang berdiri di hadapannya masih dengan sepasang manik hijau serona telaga tertimpa cahaya matahari. ‘Akhirnya kau datang juga!’ tatapan itu berujar.
Kendati bukan hanya itu yang menjadi sumber keterkejutan Legend, melainkan sosok Hyrule yang kini tak serupa yang dirinya telah kenal. Hyrule bukan lagi seorang peri dengan sepasang sayap berkilau temaram. Ia adalah sesosok pemuda, dengan rambut secokelat madu dan senyum sehangat matahari.
Legend berkedip beberapa kali.
“Ini mimpi, bukan?”
Hyrule mengangguk. “Lihat? Ini bukan mimpi bu—“
Angin pun tak berkesempatan untuk mendengar akhir dari kalimat Hyrule, sebab Legend segera beringsut tanpa menghiraukan apa yang hendak diutarakan sang pemuda. Langkah-langkahnya menapak daratan yang lembut dan rapuh, seolah bakal menghisapnya bila ia melambat barang sedikit saja. Ia tak melihat apa-apa di sekeliling, hanya daratan luas dan debu di udara dan langit yang segelap bayangannya sendiri. Dan panggilan Hyrule di belakangnya.
“Legend!”
Ia terus melangkah.
“Legend! Dengarkan aku!”
“Bagaimana aku bisa keluar dari sini?” responnya, selepas berbalik menghadap ekspresi khawatir Hyrule. “Aku harus bangun, ‘Rule.”
Sepasang mata itu terus menatapnya, emosi berkelebat terlalu cepat hingga terlampau sulit untuk ditangkap. Jantung Legend berdebar dalam kepanikan, ia dapat merasakan tanah tempatnya berpijak bagai menyusut setiap detiknya. “Kumohon—“
“—kenapa?”
Berkas-berkas harapan menyala terang dalam manik Hyrule. Aku akan mendengarkan, ungkapnya dalam diam—atau setidaknya, begitu yang diharapkan Legend. Namun hatinya masih terlalu sakit, dan Hyrule tidak perlu tahu. Pemuda kecil itu hanya perlu mengembalikan Legend pada realita yang, meski seringkali bertabur kepahitan, masihlah sebentuk elegi nyata yang mana Hyrule ada di sana.
“Kenapa kau begitu takut, Legend?”
Kala mengambil napas, ia tak pernah merasa begitu sesak. “Karena aku tidak ingin kau menghilang juga.” Tangannya terkepal, dengan bibir bergetar ia melanjutkan lirih, “Aku tidak ingin terbangun lalu mendapati—aku sendirian lagi.”
Ada aroma debu di udara, serasi permukaan kelabu di bawah tungkai Legend. Lantas aroma itu terangkat ketika Hyrule meraih tangannya, menariknya mengikuti arah bintang-bintang yang jatuh melesat, meninggalkan jejak sepatu di tanah lembut nan rapuh tempatnya mengungkapkan beribu rasa sakit. Aroma debu itu tergantikan oleh nuansa hangat, seolah bintang yang jatuh di ujung sana terbakar lalu meleleh jadi segelas susu.
“Mimpi boleh saja pudar,” Hyrule membuka mulut, memberinya lirikan singkat, “tapi memori akan terus ada, sekalipun kau bersikeras melupakannya.”
Sang penyihir kehilangan keberanian untuk membalas kerlingan itu. Kendati ia biarkan Hyrule senantiasa menggenggam tangannya, membawa langkahnya pergi semakin jauh, semakin dalam menuju sisi lain bulan. Atensi Legend mengekor ayunan tungkai mereka yang seirama.
“Legend, lihat!” Suara Hyrule menembus rungu, kemudian memaksa Legend kembali mengangkat pandangan.
Yang tersaji di hadapan mereka adalah pemandangan dari atas daratan curam, di bawah sna ada sebuah rumah mungil beserta danau yang mengelilinginya. Airnya berwarna putih, kontras dengan gelap angkasa yang sama sekali tak terpantul pada permukaannya. Dari sana, butir-butir cahaya jatuh melesat secepat hujan meteor.
“Bulan terbuat dari keju....”
“... dan air bulan adalah susu,” lanjut Hyrule. Mereka saling berpandangan dan pemuda berambut cokelat itu mematri senyuman. “Sudah kubilang, kau seharusnya mendengar apa yang diceritakan bulan.”
“Tapi, bukannya ini hanya mimpi?”
“Terkadang, mimpi merupakan cerminan dari ingatan yang gagal kau simpan di kepala.”
“Jadi, sebenarnya kau....”
Kau
ini apa?
Legend tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Pertanyaan itu melintas begitu saja, sebagaimana bintang-bintang yang terjatuh melewati kepala Hyrule. Dipandangnya pemuda tersebut, yang bukan lagi sesosok peri mungil dengan sihir di ujung jemarinya. Kini ia hanyalah seorang pemuda, dengan wajah berseri penuh kehidupan serta genggam tangan sehangat pelukan mentari pagi.
“Aku tidak akan hilang dan meninggalkanmu, Legend.”
Sang pemuda terkesiap. Hyrule mempererat genggamannya, masih tersenyum lebar seperti hari-hari yang lalu—ketika ia terbang membawa topi Legend dan menyangkutkannya di dahan pohon, ketika mereka tidak sedang bermimpi. “Tapi, ada yang harus aku akui,” lanjutnya, lalu mengarahkan telunjuk pada bangunan mungil di tengah danau. “Itu rumahku, kurasa.”
Legend tertawa.
Hyrule berasal dari bulan—setidaknya, begitulah asumsi Legend. Ia menemukan Hyrule di dalam sebatang pohon, di sudut ingatan, dan di dalam mimpi-mimpi yang indah.
2 September 2020
this was written with love, though i ended up despise it so much, the love still remains there. i didn't want to publish this anywhere but both hyrule and legend deserve a lot better. thank you for being there when i need you the most. i'm wishing them a good and happy life.
Comments
Post a Comment