Dilarang bersandar pada kaca
Surat itu pendek sekali.
Dia menulisnya dalam beberapa bagian; pembuka singkat, tak lupa menanyakan kabar setelah 183 minggu kalian tidak bertatap muka, penutup yang diletakkan di tengah-tengah—sisanya asal-asalan. Surat itu disebutnya pendek sekali kendati jika ditotal sampai melebihi tiga halaman. Menurutnya, ia berhutang padamu setidaknya seratus lembar. Kamu pikir dia lupa bahwa kamu sering memintanya mengirimimu kartu pos, atau barangkali dia terlampau sibuk menjelajahi desa-desa di India sehingga pesanmu tak pernah sampai padanya. “Masalahnya aku tidak pernah temukan kartu pos yang gambarnya bukan Taj Mahal,” tulisnya di surat itu. “Memang kamu mau mengoleksi ratusan kartu pos dengan gambar yang sama?”
“Tapi, sekarang situasinya berbeda,” tuturnya di paragraf ketiga. Tinta bolpoinnya tiba-tiba bertambah tebal, seolah dia menekannya terlalu kuat supaya kamu tahu betapa seriusnya makna berbeda yang hendak diuraikannya. Dahimu mungkin berkerut-kerut ketika mengeja kalimat-kalimat selanjutnya, bagaimana dia bercerita tentang persentase jumlah toilet di India yang meningkat hingga 95 persen, tentang kios tukang cukur paling ramai di Mumbai, tentang matahari terbenam di antara bukit gersang yang entah kenapa selalu mengingatkannya padamu.
Alinea itu berakhir di sana—padahal masih ada lebih dari seperempat bagian kosong di kertas lecek itu, tapi dia putuskan untuk menulis lanjutannya di halaman kedua. “Kamu harus coba bercukur di kios itu,” sambungnya. “Kali ini, percaya saja padaku. Serius, sekarang aku sudah lebih tahu.”
Surat itu tidak bertambah panjang. Di kepalanya, waktu justru bertambah pendek dan kesabarannya jadi semakin menipis. Kenapa baru sekarang? Dia sibuk menatap langit-langit penginapan, entah sudah berapa ekor cicak yang diajaknya bertukar pandang selagi kertas di atas meja memanggil-manggil minta perhatian. Surat itu pendek sekali dan dia habiskan waktu lama sekali untuk menyelesaikannya.
Orang biasanya menyematkan permintaan maaf di bagian paling akhir, namun dia empaskan huruf-huruf bertabur gula itu serampangan, mereka tampak mencolok berbinar-binar. Siapa tahu, boleh jadi ada bintang-bintang yang mengintipnya dari balik jendela, lantas putuskan untuk ikut tinggal karena terlanjur penasaran.
“Waktu
aku bilang sudah lebih tahu, maksudku aku lebih tahu dari kamu. Dulu kamu
sering memperingatkanku tentang potensi kriminal di India, aku sebal sekali karena rasanya seperti
diremehkan seolah aku ini tidak bisa apa-apa sekarang aku bisa yakinkan
kamu kalau aku masih baik-baik saja dan jari tanganku masih lengkap jumlahnya.
“Yang aku tidak tahu, mungkin cuma kenapa kamu tiba-tiba berhenti mengirim pesan padaku.”
Mungkin, karena itulah aku baru berani
menyuratimu.
Jika dibandingkan dengan pesan yang selama ini terus kamu kirim padanya, sudah tentu surat itu terbilang pendek sekali. Dia tersadar setelah membaca semua pesanmu berulang-ulang, ketika suatu pagi dia terbangun dengan mata bengkak serta ingatan tentang rasa air mata yang mirip air Danau Pachpadra. Ah, jangan-jangan kamu suka kopi karena rasanya jauh lebih enak dari air matamu sendiri?
“Tahun depan, usiamu 28, bukan?”
—
P.S. Jangan bersandar pada kaca
P.S.S. Bersandarlah di bahuku jika kamu
lelah
untuk min yoongi, semoga lekas pulih
Comments
Post a Comment