夕凪の海 思い出の街
Kamu katakan pada saya, “Saat melihat ke cermin, pucuk jari-jemari saya tak lagi berkelukur.”
Kamu katakan demikian sembari sodorkan ruas-ruas tanganmu, beserta bibir yang kamu poles dengan lekukan garis seperti potongan staples, sedang matamu berbinar seolah baru beritahukan kamu menang lotere sepuluh juta dan kita bisa jalan-jalan ke Finlandia. Banyak pertanyaan justru berputar-putar di kepala saya, seperti mengapa yang kamu ucapkan berkebalikan dengan realita—mengapa saya masih bisa melihat garis-garis melintangi sidik jarimu, atau kulitmu yang mengelupas bagai habis digores permukaan kesat.
Saya sempat pasang tanda tanya besar pada wajah, yang seratus persen kamu abaikan hingga berakhir terus-terusan menetap dalam kepala. Kendati, ini bukan pertama kalinya. Sebab kepala saya memang sudah dipenuhi segala perihal kamu sedari lama.
Saya masih sibuk pikirkan hal yang sama hingga pagi ketika Taehyung mengetuk pintu rumah, mengingatkan bahwa saya telah berjanji untuk menemaninya ke gereja. “Kamu tidak tahu?” balas Taehyung setelah mendengar pertanyaan saya perihal luka di ujung jemarimu. “Sudah tiga bulan ini dia latihan bermain gitar setiap hari.”
Kami berangkat pagi-pagi sekali di hari Sabtu meski saya tak tahu pukul berapa gereja mulai dibuka (saya belum pernah ke gereja sebelumnya, kecuali sekadar lewat dan mengagumi bangunannya). Taehyung bilang ia harus memotong pita pembukaan pameran pukul delapan, sehingga berdoa di gereja terpaksa dilakukan lebih awal. Saya masih kurang mengerti soal mengapa ia minta saya ikut serta, tapi ia juga berkata kamu mungkin akan hadir di pamerannya, jadi saya tak punya alasan untuk menolak. Pagi itu udaranya dingin sekali, jalanan dihuni kabut tipis alih-alih sosok manusia.
Oh,
malangnya sel-sel kelabu otak saya ini, mereka tak lagi hiraukan kicauan dari
paruh burung-burung maupun bibir Taehyung (kamera
analog ... dua tahun ... sakit gigi ... Kak Yoongi—saya
menoleh, “Kenapa dengan Yoongi?” tanya
saya, namun Taehyung sialan itu malah cengar-cengir lalu mempercepat langkah
melintasi pagar gereja yang baru dibuka setengah).
//
“Kak, kenapa roti ini nggak enak?”
Mengernyit, saya tolehkan kepala ke arah gadis kecil yang sibuk memelototi roti dalam wadah plastik di pangkuannya. Seolah pertanyaan barusan ia ajukan bukan pada saya, melainkan wadah persegi berwarna ungu itu, atau satu jilid kitab suci yang diletakkan di bawahnya (memangnya boleh, kitab dijadikan penyangga kotak bekal? Entahlah, saya tidak yakin). Lamat-lamat saya pandangi dua lapis roti di dalam sana, satu sudah tergigit separuh. Kerutan di dahi saya bertambah dalam. “Kamu tak suka?”
“Kemarin Mama belikan yang warna putih.”
Rasa-rasanya wajah saya bisa sama masamnya dengan gadis kecil ini. Tidak enak bukan berarti tidak suka; kalaupun tidak suka, ia tak mungkin memakannya sampai separuh, paling-paling baru satu gigitan sudah merengek. Roti itu hanya terasa kurang enak—tidak seenak yang dibelikan ibunya kemarin. Aneh betul, saya pikir, pemikiran anak kecil itu simpel tapi juga rumit di saat yang sama.
“Well, begini,” jawab saya, membenarkan posisi duduk sedikit setelah melempar lirikan ke arah Taehyung (ia masih tak berkutik di depan sana, sama seperti sepuluh menit lalu—haruskah saya cek kalau-kalau dia pingsan atau apa?). Perlahan, saya mengambil napas. “Yang kamu makan kemarin itu, mungkin, roti susu yang gulanya lebih banyak. Makanya rasanya manis. Kamu suka manis, ‘kan? Nah, kalau yang kamu makan sekarang ini roti gandum. Memang, warnanya lebih cokelat dan tidak semanis roti susu, tapi nutrisinya lebih banyak, bikin kamu cepat pintar. Pilih mana, mau makan manis atau mau pintar?”
Sepanjang penjelasan itu, atensi gadis ini beberapa kali dialihkan dari kotak bekalnya ke wajah saya yang mungkin lebih menyebalkan ketimbang seikat brokoli—ekspresinya masam betul!
“Masa, makan manis nggak bikin pintar?” lontarnya, setengah cemberut, atau setengah ingin menangis, saya kurang bisa membaca raut wajahnya dari samping.
“Bukan begitu.” Netra saya melirik Taehyung lagi, masih sama. Lalu saya pelajari sebentar mata sayu gadis kecil ini, responnya agak berlebihan seperti baru diberi kabar hari Minggu akan dihapus dari kalendar. “Hanya saja,” lanjut saya selepas merangkai kata-kata di dalam kepala, “kamu harus tahu, ada yang perlu dikorbankan setiap kali kamu menginginkan sesuatu. Kamu mau pintar? Artinya harus makan yang sehat, meski rasanya pahit sekalipun.”
Saya menelan ludah kala mendengar omongan saya sendiri. Ada-ada saja, mengurus diri sendiri tidak becus kok berani-beraninya menasehati anak sepuluh tahun. Gadis kecil yang namanya saya tak tahu ini tampak makin sedih. Well, saya tidak menyalahkannya, saya juga bakal sedih kalau diberi kabar bahwa hari Minggu akan dihapus dari kalendar. Tapi saya bakal jauh lebih sedih kalau tidak ada orang dewasa yang memperingatkan saya tentang kewajiban menelan realita paling pahit, bahwa hidup ini tidak pernah semanis roti susu, dan jatuh cinta pada kamu pun punya risiko pahitnya sendiri.
“Kamu bisa oles selai stroberi ke rotimu, tapi sedikit saja.”
Ia menelengkan kepala, kini matanya dipenuhi tanda tanya lalu saya coba mengundang senyum simpul di bibirnya. “Manusia juga butuh makan manis.”
//
Siapa sangka Taehyung bakal berdoa begitu lama.
Agaknya ia punya seribu daftar keinginan yang hendak diajukan, saya tebak nomor satu sampai dua puluh ada hubungannya dengan pameran fotografinya hari ini. Atau, oh—siapa tahu, ia menyimpan dua ribu daftar dosa yang mesti ditebus. Yang mana pun itu, saya cuma bisa duduk diam mengamati kepalanya menunduk cukup lama sampai beberapa orang akhirnya masuk mengisi gereja yang terlalu luas dengan terlalu banyak deret bangku. Termasuk salah satunya seorang ibu dan anak perempuannya, yang entah kenapa memilih duduk di sebelah saya lalu tiba-tiba bilang harus menjawab telepon sebentar (alhasil saya terjebak dengan gadis kecil yang tidak suka roti gandum).
“Kamu apakan gadis malang itu?”
Saya mendengus. “Saya cuma ngobrol sebentar dengannya. Bukan yang aneh-aneh, kok, cuma membicarakan roti.”
“Oh, ya?” Sebelah alis Taehyung terangkat, tampak menyebalkan sekali. “Kamu bilang apa?”
“Saya bilang, hidup ini tidak semanis roti susu yang kemarin dibelikan ibumu.”
Terdengar kekehan pelan lelaki itu. Bagus, ia terhibur padahal saya menderita harus menunggunya berdoa sampai satu jam lamanya. “Lalu?” sambungnya. “Dia bilang apa?”
“Dia bilang saya jahat seperti Ibu Gothel di cerita Rapunzel.”
“Bukan—maksudku, bukan gadis kecil yang kasihan itu.”
“Hah? Terus? Dia siapa?”
“Kak Yoongi.”
Langkah saya terhenti. Agaknya otak saya melambat sekian sekon. Saya bakal terus mematung di sana, di trotoar dengan pohon-pohon ringkih berderet setiap beberapa jengkal, seandainya Taehyung tidak berkacak pinggang sambil mengecek arloji yang melingkari pergelangan tangannya. “Benar—kamu buru-buru, maaf.”
Kami kembali berjalan menapak trotoar abu-abu selagi saya memaksa otak untuk bekerja sama cepatnya. Napas saya agak tercekat ketika melanjutkan, “Yoongi—dia... dia bilang pucuk jemarinya tak lagi berkelukur. Itu saja. Dia tidak bilang kalau sudah tiga bulan ini dia berlatih main gitar. Dia tidak pernah bilang kalau—“
“—kalau dia akan operasi bahu?”
Saya layangkan tatapan tajam ke arah Taehyung. “Kalau dia tidak akan bisa berlatih main gitar lagi, untuk sementara waktu.”
Taehyung mengangguk dan saya nyaris tak menyadari sebab atensi sepenuhnya tertuju ke jalan yang terus memanjang bagai tak punya ujung. “Bukan salahmu—bukan salah Kak Yoongi juga.”
“Saya tidak menyalahkan siapa-siapa.”
“Aku tahu.” Ada jeda singkat. Sepanjang keheningan yang diberikan Taehyung, angin November berembus kencang memenuhi rungu saya. Rasanya dingin sekali ketika menyentuh permukaan kulit. “Kurasa, kamu cuma keliru memahaminya, Ra.”
Ah. Apa bedanya keliru dan salah? Keduanya sama saja. Seperti dinginnya angin November dan kalimat yang dimuntahkan bibir Kim Taehyung.
“Jadi?” respon saya. “Yang benar itu seperti apa? Bagian mana yang harus saya pahami lebih baik lagi?”
Sang pemuda mengedikkan bahu. “Kamu harus tanyakan sendiri pada Kak Yoongi.”
Terkadang, saya benci mengakui bahwa Taehyung tak pernah keliru. Ia selalu benar, bahkan sejak dulu sekali ketika ia menangkap rona merah muda di pipi saya kala pertama kali berjabat tangan denganmu. Kak Yoongi belum punya pacar, kok—pernyataan itu juga bukan bohong. Taehyung tak pernah berbohong pada saya, maupun pada Min Yoongi yang ia anggap seperti kakaknya sendiri. Ia pasti tahu kamu sudah lama merencanakan operasi bahu itu, atau merencanakan untuk tidak memberitahukan apa pun pada saya.
Tapi, apa Taehyung tahu? Bahwa suatu hari kamu melihat ke cermin, dan pucuk jari-jemarimu tak lagi berkelukur?
Saya tak sempat tanyakan itu padanya, kami terlanjur melangkahi pintu samping gedung pameran yang sempit dan gelap. Langkahnya yang berat semakin terburu-buru, membuat saya semakin bertanya-tanya mengapa di hari sepenting ini ia rela mendengar keluh kesah saya soal kamu. Setelah memberi saya izin (atau mengusir, tergantung dari mana kamu meniliknya) untuk berkeliling pameran yang masih sepi sebelum peresmian dibuka, Taehyung menghilang di balik pintu entah mengarah ke mana.
Potret-potret yang digantung berjarak di dinding bagai berlomba-lomba menarik perhatian saya, begitu ingin cerita mereka didengar satu-persatu. Yang itu foto sebuah jembatan di Amsterdam, di sebelahnya ada potret hitam putih Jeon Jungkook dengan latar belakang lautan. Saya berusaha terus menyusuri kubikel demi kubikel yang kosong sekaligus ramai akan memori di setiap potret tangkapan kamera Taehyung. Rel kereta bersalju. Jalanan di desa Norwegia. Pegunungan di Selandia Baru. Cermin yang merefleksikan sosok Taehyung dengan kamera di tangan. Bintang yang jatuh ke arus Sungai Danube. Min Yoongi—
—oh.
Di ujung ruangan, di hadapan bintang jatuh yang tenggelam ke dasar Danube, saya melihatmu berdiri seorang diri. Saya pikir, barangkali kamu sedang mengenang masa lalu ketika tertimpa nasib yang sama seperti bintang itu; jatuh dari surga, tenggelam di bumi yang kotor dipenuhi nelangsa. Apakah sakit waktu kamu terjun dari atas sana? Apakah langitnya berwarna biru atau abu-abu? Apakah kamu kecewa ketika menyadari, saya lah manusia yang berusaha menangkapmu di dasar bumi?
Mungkin, saya berharap terlalu banyak ketika saya panggil keras-keras namamu, lalu hati saya ingin kamu menoleh seraya berkata, “Selamat pagi, Rahee. Sehat-sehat saja, ‘kan? Senang bisa bertemu kamu di sini.”
Gue mau bales pake meme, tapi ga jadi karena endingnya menyentuh sekali bgst T-T BAGUS BANGET BRO akhirnya lu menghasilkan satu anak cantik lagi dengan jumlah kata lebih dari seribu
ReplyDelete