les oiseaux dans la charmille
Ditulis untuk seorang teman yang berulang tahun, 12 Agustus 2020.
Saya dan Prana adalah dua manusia yang tersesat.
Kami tak tahu-menahu soal hari, meski waktu itu saya sudah berusia lima belas tahun dengan gigi dewasa yang lengkap dan rambut yang baru dipangkas sebahu. Kami tak menghapal tanggal, namun Prana sempat menjawab ragu-ragu ketika saya bertanya pada hari apakah ia lari dari rumah. “Uh ... Selasa,” tuturnya dengan suara gemetar, entah karena ia gugup atau cuma gara-gara jalanan selalu penuh kerikil, sehingga roda bendi yang melindas mereka bergemeletuk cukup keras.
Saya tak yakin apakah ia gugup. Tetapi saya tahu ia berbohong. Pakaiannya terlalu bersih, walau tampak noda debu dan cipratan lumpur di beberapa titik. Ia mengenakan sepasang sepatu favoritnya, berwarna hitam dengan hak setinggi ibu jari kaki, blus putih serta celana longgar serona daun musim gugur. Peti yang diangkut bendi itu kosong, beraroma kapur barus. Seandainya tidak ada Prana yang duduk memeluk lutut di sebelah saya, dengan wangi parfumnya yang seperti stroberi, mungkin saya sudah mabuk kendaraan.
Saya tahu bahwa ia tidak lari dari rumah, melainkan hanya sama tersesatnya seperti saya. Kami sama tersesatnya dan sama cerobohnya, sebagaimana anak-anak remaja lain di luar sana. Barangkali Prana merasa harus berbohong sebab ia sedikit lebih tua dari saya—empat atau lima bulan, entahlah, saya tidak pandai menghapal kalendar. Barangkali Prana merasa kalau mengaku-ngaku sedang lari dari rumah adalah pilihan yang terbaik. Belakangan saya sadari baik Prana maupun saya tidak pernah memilih keputusan yang benar, termasuk keputusan untuk menyusup ke dalam peti beraroma kapur barus yang diangkut sebuah bendi.
“Kau tahu ke mana kita mengarah?” tanya saya.
Prana mengedikkan bahu.
“Kau tahu di mana letak Tashkent?” tanya saya lagi.
Prana mengedikkan bahu lagi. Saya tergagu, tentu saja, pikir saya. Mana mungkin orang asing yang saya temui di dalam peti dapat menunjukkan jalan pulang ke rumah, bila saya sendiri tidak tahu cara untuk pulang?
Kami terdiam selama beberapa waktu. Kepala saya kadang terbentur dinding bagian dalam peti. Rasanya tidak sakit, tapi lama-kelamaan saya pusing juga jika sambil disuruh mendengar suara tapak kaki kuda dan gemeletuk kerikil.
Tiba-tiba Prana mengguncang bahu saya, lebih kuat daripada guncangan bendi, lantas menatap saya dengan teramat serius. “Bagaimana kalau kita sekarang sedang diculik?”
Bergidik, kala itu pikiran saya terbelah menjadi dua. Yang satu tertular rasa takut dari sepasang mata cokelat terang Prana, yang satu lagi mencetuskan argumen-argumen logis. Kami sendiri yang menyusup ke dalam peti, bagaimana pemiliknya bisa tahu kami ada di dalam sini? Mengapa juga repot-repot menculik anak dekil, bodoh, dan jelek seperti saya? Dan jika Prana memang hendak lari dari rumah, untuk apa takut pada penculik? Semua argumen yang masuk akal, namun saya tetaplah anak berumur lima belas tahun. Lima belas tahun dan masih terlalu naif di hadapan dunia.
Netra kecokelatan itu masih menatap saya; diam, diam, ragu, khawatir—saya tak pernah tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di sana. Saya tak punya cukup keberanian untuk balas memandangnya lebih dari tiga detik.
Hingga kemudian hening. Bendi berhenti dan itulah pertama kali saya merasakan dorongan kuat untuk melompat keluar, lari, pergi sejauh mungkin—namun Prana masih mencengkram bahu saya. Perlahan saya meliriknya, dan saya menyesal sempat berpikir untuk kabur meninggalkannya sendirian di sana.
“Tidak apa-apa,” ujarnya tenang. Setelah menerima anggukan singkat saya, ia berpaling untuk mengintip dari celah kecil pada dinding peti. “Sebuah rumah,” ia bilang, “dengan cerobong asap, kebun kecil dan pagar kayu, pohon ceri dan ayunan—oh, dan nona muda yang manis!”
Yang bisa saya lihat hanyalah kegelapan. Jika Prana berbohong hanya untuk menenangkan saya, tentu ia adalah pembohong ulung. Caranya menyebutkan rumah dengan pelatarannya diliputi nada kagum yang mau tak mau mendorong saya untuk mengukir sendiri bayang-bayang mereka di dalam kepala. Rumah, cerobong asap tinggi, kebun penuh bunga warna-warni, pagar kayu terlilit tanaman rambat, pohon ceri yang rindang beserta ayunan bergoyang bersama angin.
Kepala saya masih sibuk membayangkan lanskap tersebut ketika Prana melanjutkan, “Jika peti ini berguncang lagi, jangan berteriak atau lari keluar.”
Belum sempat saya bertanya, peti ini betulan berguncang. Kali ini berbeda dengan guncangan bendi, jauh lebih pelan dan berirama. “Ada apa?” bisik saya.
“Kita melayang.”
Sulit memaknai jawaban itu. Apakah melayang secara denotasi atau konotasi? Ibu guru mengajari saya linguistik, tapi tidak pernah menunjukkan pada saya bagaimana cara berkomunikasi dengan benar. Walaupun belum sepenuhnya mengerti, saya tetap bertanya, “Melayang ke mana?”
“Ke sana.”
Bukan jawaban yang jelas juga.
Menggigit bibir, saya telan dalam-dalam kerisauan yang belum juga hendak beranjak. Prana yang sedikit-sedikit mengintip dari celah yang tak dapat saya jangkau pun sama sekali tidak membantu, malah menambah kegelisahan. Biarlah, saya membatin, biarlah diculik atau melayang, atau apapun nasib yang hendak Tuhan berikan pada anak tersesat macam saya ini.
Dan yang Tuhan berikan adalah guncangan terakhir, diikuti bunyi berderit dan cahaya menyilaukan mata.
Sempat saya kira Tuhan hadiahkan kematian, sebab retina saya kesulitan menerima sinar terang selepas begitu lama beradaptasi dengan hitam bayangan milik Prana dan saya sendiri. Mungkin ini surga? Cukup menjelaskan mengapa ada aroma manis di udara, perpaduan harum roti yang baru dipanggang dan perapian hangat. Namun kala pandangan saya kembali bekerja, yang nampak bukan surga, melainkan sebuah ruang tamu dan seorang nona.
Nona itu hanya berkata, “Oh,” lalu memandangi kami lama sekali. Pandangan yang, sekali lagi, tak berani saya balas lebih dari tiga detik. Sepanjang tiga detik itu saya menyimpulkan cara sepasang maniknya mengerling seolah-olah ia tengah menemukan kami di etalase toko, bukan dalam peti yang diletakkan di lantai ruang tamunya.
Prana lah yang pertama kali memecah keheningan. “Boleh kami keluar?”
“Oh. Tentu,” jawab sang nona, meski terdengar tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Akhirnya ia berbalik pergi setelah menambahkan, “Tinggal lah sebentar kalau kalian mau.”
Saya baru berani mengangkat pandangan ketika punggung nona itu mulai menjauh. Samar-samar dapat saya dengar ia bicara sendiri. “Aku takjub bagaimana mereka bisa ada di dalam sana!”
Hm, barangkali ia belum pernah melihat anak-anak yang tersesat sebelumnya.
“Kau mau tinggal?” Suara Prana menarik saya dari lamunan. Beberapa detik saya habiskan untuk mengedarkan pandangan, memelototi satu ujung ruangan sampai ujung lain ruangan. Dari pintu keluar yang terbuka lebar, memamerkan lanskap dunia luar, hingga pintu satu lagi yang barusan menelan presensi sang nona. Ruang tamu yang mungil dan penuh barang; sofa-sofa berbusa, meja kayu mengilap, lemari-lemari dengan banyak ukiran dan pola, tembikar dan benda-benda antik, jam ayun beserta lukisan-lukisan terpahat pada dinding. Saya mulai bertanya-tanya mengapa nona itu sampai butuh peti diangkut ke rumahnya yang sudah sesesak ini.
Rasanya pun tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Nona itu telah menyediakan akses menuju kebebasan, pintu keluar yang terbuka lebar—oh, lihatlah betapa hijaunya pepohonan di luar sana! Akan tetapi secercah rasa penasaran menggelitik nurani saya. Barangkali karena aroma roti, atau tungku api yang mengertak-ngertak, atau Prana yang kelihatannya sama sekali tidak berniat menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
Ia berdiri, menapakkan sepatu berhaknya ke karpet yang meredam suara. Sekilas ia beri lirikan ke arah saya, ‘jangan hanya duduk di sana,’ begitu saya terjemahkan, atau, ‘ayo kita rampok nona baik hati itu.’ Yang manakah yang benar saya tidak begitu yakin. Toh, yang jelas saya ikut berdiri, merasakan lutut yang ngilu dan hampir jatuh terjerembab.
Dengan hati-hati, dan sedikit tertatih-tatih, saya ikuti langkah Prana. Bukan menuju pintu berhias biru langit, hijau pepohonan, dan warna cerah bunga-bunga, melainkan ke pintu lainnya. Kepala kecil kami menyembul dari balik dinding penyekat, mengintip dengan mata jelalatan ke segala arah.
Saat itulah fokus saya tiba-tiba terbuyar berkat bayangan yang jatuh di atas kepala. Mendongak, saya mendapati peti kami—well, kini dapat dipastikan peti itu milik sang nona, dan sejak awal pun bukan peti milik saya maupun Prana. “Melayang...,” gumam saya, tanpa sadar terselip keluar dari bibir.
Prana mengangguk. “Melayang lagi,” tukasnya selagi mata terus mengekor peti itu, yang melayang jauh memasuki ruangan. Ia dengan mudah menyatu dengan suasana ruang yang tak kalah sesak, seolah memang sudah takdirnya berada di sana, bersama lusinan perabot lain dan sesosok nona manis dengan tunik ungu selutut serta rambut cokelat tergelung. “Nona penyihir,” Prana melanjutkan, “dia mengambil memori milik benda-benda bisu lalu menyimpannya dalam botol-botol kristal.”
Terdengar sulit dipercaya—namun saya tahu Prana benar. Bukan hanya karena peti melayang, atau deret rak penuh botol-botol kristal di sudut ruangan, atau bagaimana nona itu masih tampak manis kala tengah membolak-balik halaman buku yang penuh hieroglif aneh dan ilustrasi menyeramkan. Saya yakin Prana benar, sebab ibu tak pernah bosan-bosannya memberitahu, saya pun akan jadi penyihir sepertinya di ulang tahun keenam belas.
“Sebaiknya kita cepat-cepat pergi,” ucap Prana, barangkali telah menyadari wajah saya memucat dan menduga saya mungkin ketakutan setengah mati. “Kau tidak ingin berubah jadi perabot, bukan?”
Alis saya bertaut. “Nona itu bisa mengubah kita jadi perabot?”
“Menurutmu kenapa di sini penuh barang dan tidak ada satupun orang selain nona itu?”
Rasa-rasanya lebih enak jadi perabot daripada jadi penyihir. Saya biarkan pikiran itu tetap tinggal di kepala, selagi langkah saya mengikuti jejak kaki Prana. Selamat tinggal, bisik saya pada peti kayu, pada benda-benda bisu yang kehilangan memori, pada roti hangat di atas meja nona penyihir yang sebetulnya ingin saya cicipi.
Di luar, langit masih secerah waktu saya berangkat dari rumah pagi tadi. Arak-arakan awan mengingatkan saya pada jalan pulang yang sempat saya lupakan. Kendati bila saya bisa mengingatnya sekarang pun, bukankah sia-sia saja? Saya sudah berada terlalu jauh dari Tashkent. Saya bahkan tidak tahu saya berada di mana.
“Ke sini,” ujar kawan perjalanan saya, seolah ia bisa membaca pikiran. Saya terus mengikutinya, melintasi jalan setapak di kebun kecil ini, melompati pagar kayu yang dililiti tanaman rambat, menembus ilalang yang sedikit demi sedikit menggores kaki saya. Tidak peduli celananya kotor, atau sepatunya berlumpur, Prana terus berjalan dan berjalan. Sedangkan saya terus mengikuti dan mengikuti. Bayangan kami jatuh di antara rerumputan tinggi, menyapa semut dan kumbang di bawah sana.
Kami tidak bicara, hanya ada kicau burung dan gemerisik dahan melambai. Akhirnya saya beranikan diri untuk membuka mulut. “Kau tahu di mana letak Tashkent?”
Sama seperti sebelumnya, Prana mengangkat bahu.
“Saya juga tidak tahu,” sambung saya, kemudian tertawa singkat. “Mungkin sebaiknya memang saya tidak pulang ke Tashkent.”
“Kau tidak mau pulang?”
Giliran saya yang terdiam, sebentar, hanya sebentar karena setelah itu buru-buru saya mengatakan, “Kalau seorang penyihir mengubahmu menjadi benda bisu, kau ingin jadi apa?”
Itu pertanyaan yang sepele, yang saya jadikan tameng untuk jawaban yang saya sendiri belum yakin kebenarannya. Namun Prana memikirkannya matang-matang, bagai murid seorang filsuf yang ditanyai soal asal-usul kehidupan. “Belum kuputuskan—mungkin dinding, atau kenop pintu, atau langit-langit—ya, langit-langit kedengarannya tepat.”
Saya mengangguk setuju, meski sadar betul ia tak dapat melihatnya. “Kalau saya, saya mau jadi buah-buahan.”
“Tapi buah-buahan bukan benda bisu.”
“Kata ibu, jika buah-buahan dipetik dari pohonnya maka mereka sudah menjadi benda bisu.” Saya menyatukan jemari, memain-mainkan jempol seraya memikirkan ibu yang selalu mengkritik cara saya memetik anggur, memotong sayur, mengaduk ramuan, dan menyalin resep dari almanak sihirnya. “Ibu saya juga penyihir.”
Mendadak Prana menghentikan langkah hingga saya nyaris menabrak punggungnya yang berkeringat—padahal saya kira ia akan lari setelah saya mengakui bahwa ibu seorang penyihir, Prana justru berhenti lalu menoleh ke belakang, kepada saya, disertai senyum puas terpatri di bibirnya. “Persis seperti dugaan,” ujarnya.
Kepala saya dipenuhi tanda tanya.
“Dengar,” lanjutnya, kini sepenuhnya berdiri menghadap saya, “Tashkent itu di mana, aku tidak tahu, yang kutahu adalah kau harus pulang dan aku bisa membantumu.”
Saya semakin bingung. “Bagaimana caranya?”
Lantas sebelah tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan botol kristal sewarna telaga musim panas. Sekilas mirip botol milik nona penyihir tadi, tapi yang ini punya stik dengan ujung melingkar tertancap di penutupnya. Sebuah peniup gelembung.
“Ini gelembung penunjuk arah, ia akan membawamu ke rumah penyihir—seperti bagaimana ia membawa kita ke rumah nona penyihir tadi.”
Ada banyak pertanyaan berkelebat di benak saya, seperti apakah gelembung Prana yang menggerakkan bendi tadi, atau kenapa Prana lari dari rumah hanya untuk pergi ke rumah-rumah penyihir, atau benarkah Prana memang lari dari rumah? Kendati yang saya tanyakan kemudian adalah, “Bagaimana kalau saya tidak bisa jadi penyihir seperti yang diinginkan ibu, lalu saya ingin lari dari rumah?”
Di luar dugaan, Prana memberi saya anggukan. “Maka kau boleh lari dari rumah.”
Bukankah itu yang kau lakukan saat ini?
Senyumnya kembali merekah. “Sekarang, pulanglah.”
Lalu sebentuk gelembung transparan muncul dari tiupan angin, menari di udara, menuju langit barat yang menarik-narik matahari ke balik siluet bukit. Prana mendorong punggung saya. Ketika menoleh, saya dapati ia melambai pelan.
Saya dan Prana adalah dua manusia yang tersesat. Hari itu kami berbagi selamat tinggal meski sama-sama tahu, mungkin esok kami masih akan tersesat lagi.
Comments
Post a Comment