Au repos

“I should sleep in my own bed.”

“Why?”

“Because i bought it.”


         Seandainya kita bisa pergi ke Paris, ke Tokyo, ke Helsinki, ke kota yang tampak hitam-putih di malam hari dan seandainya kita masih bisa memandang bimasakti di langit kota yang disesaki gemerlap neon hitam-putih di malam hari. Kita akan menenggak segelas cola yang nyaris membeku sebab terlalu lama kusimpan di lemari pendingin. Tidak masalah, toh, rasanya masih akan sama seperti waktu yang lalu-lalu, waktu kamu bilang sebotol susu hangat masih jauh lebih enak, waktu aku sakit perut karena meminumnya sebelum sarapan pagi. Rasanya masih akan sama sebab kamu masih seperti kamu yang lalu dan aku masih seperti aku yang lalu dan kita masih seperti waktu yang lalu-lalu.

         Seandainya kita bisa pergi ke ibukota Moroko, yang tidak terlihat mirip ibukota Moroko karena ini merupakan versi yang kubuat sendiri di dalam mimpiku. Langitnya akan senantiasa cerah, maka aku tidak akan dipenuhi rasa kecewa gara-gara lupa membawa payung. Langitnya akan berwarna biru sebiru karpet lusuh yang tergulung di pojok kamarku, jalanannya akan berwarna cokelat terang serona kulit tubuhmu di bawah cahaya matahari, orang-orang akan menggantung seprai putih mereka di depan rumah untuk memperingati hari ketika anak-anak berhenti mengompol untuk pertama kali. Kalau kamu mau, aku bisa menggenggam tanganmu sepanjang hari lalu kita bisa berlarian di sepanjang jalan dan gang-gang kecil, di antara seprai-seprai putih serta biru angkasa yang menaungi kita.

         Seandainya kita bisa pergi ke masa depan. “Mengapa,” kamu bilang, tanpa tanda tanya meski mengapa adalah jenis kata interogatif namun nada suaramu begitu datar seolah kamu tak sepenuhnya ingin mendengar jawabanku.

         “Aku hanya ingin tahu,” kujawab, dengan nada suara bagai dibuat-buat hanya agar kamu mau mendengarkan secara serius lalu memikirkannya secara serius pula. “Apa aku masih akan menangis di kamar tidur saat aku sedih? Atau aku akan belajar memasak sehinga aku bisa menangis di dapur saat aku sedih?”

        “Mengapa,” ucapmu lagi. Tanpa tanda tanya. Tetapi matamu menyalang tajam ke arahku, dan aku tahu kamu tak pernah seserius ini. “Kamu akan selalu sedih, tahu ‘kan?”

         Tentu saja. Bagaimana aku bisa tidak tahu bila kamu terus memberiku alasan untuk membayangkan beribu seandainya. Bagaimana aku bisa berhenti bersedih bila kamu masih selalu ada, di ujung jalan kala aku pulang ke rumah, di keramaian, di kesepian, di dalam beribu seandainya yang kubayangkan.

Seandainya—seandainya kita bisa pergi.

Comments