Jelaga Menyilam
"Kamu masih marah padaku?”
“Kenapa aku harus marah padamu?”
“Karena...,” ucapan saya terhenti di pangkal kerongkongan, mencari-cari celah dari dinding transparan yang menghadangnya. Saya menutup mulut, mengambil napas, lalu yang keluar bersama suara hanyalah; “Rumahmu.”
Angin mati. Seperti halnya suara cuit-cuit burung kenari, gesekan ranting pohon, maupun petang yang biasanya berisik memamerkan warna-warna cantik dirgantara—lila, lembayung, jingga, mereka kini cuma tergantikan merah menyala serona luka. Mungkin jiwa yang bersemayam dalam tubuh saya juga sama matinya. Rumah bapak menghadap ke selatan, ke halaman yang terlalu luas dan terlalu hijau, yang saya sebut membosankan sebab bapak tidak suka menanam bunga-bunga. Dari pintu samping dengan undakannya yang pendek, tampak bermeter-meter perkebunan kopi dan lanskap matahari terbenam, sehingga saya suka duduk di sana meski ibu selalu memarahi—anak gadis jangan duduk di pintu!
Saya biarkan saja, toh, itu semua cuma mitos, omong-kosong tentang jodoh di tangan Tuhan yang bakal nyasar hanya karena saya nongkrong di pintu samping rumah. Saya tetap suka duduk di sana, bertopang dagu melamunkan nama-nama tanaman dalam bahasa latin. Seperti sekarang. Bedanya, saya tidak sedang melamunkan apa-apa, sebab terlalu bingung memutuskan mana yang lebih pantas mendapat perhatian saya; langit senja atau Taksa?
Mungkin, jiwa saya pun telah mati sejak lama. Tapi hanya dengan melihat Taksa, hati saya melompat-lompat seolah baru dibius dua cangkir kopi toraja. Paru-paru saya selalu terasa macam kepenuhan oksigen, sedangkan kepala saya tak henti-hentinya menderita cemas, gelisah, dan takut. Apa jiwa yang mati bisa terkena serangan kecemasan? Saya kira tidak.
Di samping saya, Taksa masih diam, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda hendak melanjutkan percakapan kami. Gaun tidur yang ia kenakan tampak bagai kanvas putih yang disiram cat air merah, begitu pula kulitnya, rambutnya, dan matanya yang kini mirip batu mulia. Saya tidak tahu mengapa ia bersikeras memakai gaun tidur peninggalan neneknya, dan baju-baju lain peninggalan neneknya waktu masih muda. Pun saya tak berani melarang, agaknya itu cara Taksa untuk berkabung. Bukan dengan baju-baju hitam, melainkan kain-kain putih, merah muda, dan kuning cerah yang selama ini tersimpan rapi dalam lemari-lemari tua.
“Pakaian semacam ini lebih cocok kamu yang pakai.” Begitu ujarnya, dulu, setiap kali saya bertanya mengapa gaun-gaun cantik gaya Eropa itu tak pernah dikenakannya. Alasan begitu pun saya tak sepenuhnya paham—barangkali karena kulit saya lebih kuning langsat, meski realitanya kami sama-sama kentara pribuminya.
Saya tak sepenuhnya paham, karena saya selalu yakin, dan terbukti sekarang, bahwa Taksa pantas-pantas saja memakainya. Lagipula, mereka semua peninggalan nenek Taksa, bukan nenek saya. Nenek Taksa lah yang berdarah Indo, yang dahulu menjadi pemilik berhektar-herktar kebun kopi daerah ini—sebelum terjadinya masa bersiap hingga lahan-lahan ini beralih ke tangan petani lokal, termasuk keluarga bapak.
Nenek Taksa lah yang akhirnya meninggal tiga minggu lalu, memaksa sang cucu untuk mencari-cari cara berkabung tanpa buang-buang terlalu banyak air mata.
“Sebenarnya—“
Saya berjengit ketika suara Taksa mencapai rungu, namun ia tampak tak peduli dan meneruskan, “Aku tidak sesedih itu—kamu tahu, malam itu waktu orang desa ramai-ramai datang dan aku cuma berdiri bertelanjang kaki.”
“Tapi,” sanggah saya, kali ini berhenti sebentar untuk menelan ludah, “kamu menangis, waktu itu.”
Taksa tertawa. Anehnya, saya masih bisa menangkap melankoli yang sama di kerut-kerut ekspresinya, sama seperti malam itu ketika ia menangis di hadapan bara api yang melalap habis sebagian rumahnya. “Aku tidak sesedih itu, sampai kamu datang mengguncang bahuku sambil bertanya—“
Nenekmu?
Beban di dada saya terasa semakin berat, seolah ada yang menyumpalkan terlalu banyak oksigen hingga saya lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Ingatan-ingatan itu berkelebat begitu cepat, tentang api yang menyalang hebat di antara kegelapan malam, tentang bulir-bulir air mata Taksa yang meleleh turun di wajah tanpa ekspresi miliknya, terkadang tampak kabur dan terkadang sejelas pantulan merah membara pada sepasang netranya.
Ah, saya pikir, bukankah artinya saya yang mengundang kesedihan itu?
Rasanya berat untuk bernapas, namun saya tetap menelan udara sebanyak-banyaknya. “Maka,” ucap saya, dengan suara bergetar, “kamu pantas untuk marah, padaku.”
Barulah Taksa berkehendak menoleh, melemparkan pandangan yang susah payah tidak saya hindari. Tatapan itu kosong. “Memangnya kamu bisa apa?” Ia merespon, dan saya tak pernah merasa lebih takut dibanding apa pun.
“Memangnya akan ada yang berubah kalau aku marah? Padamu? Atau pada orang yang membakar rumah nenekku? Atau pada paman dan sepupu yang rela membunuh demi harta?”
Taksa menghela napas, meluruskan pandangan kembali pada senja, tak peduli apakah saya sempat menangkap segaris emosi di wajahnya barusan. Kini saya mengerti, ia sudah terlampau lelah.
“Barangkali,” lanjutnya, “memang jauh lebih baik jika nenek mati tanpa meninggalkan apa-apa.”
Comments
Post a Comment