Copenhagen di Waktu Fajar




Hal tersedih yang dapat Sakusa pikirkan saat ini adalah fakta bahwa dirinya tidak dapat menaiki sepeda.

Fakta itu membawanya pada situasi tidak terduga seperti dibangunkan pagi buta oleh Arai hingga sepuluh menit kemudian sudah menyusuri jalan setapak di pinggiran kanal sekitar Nyhavn. Usia Sakusa dua puluh tahun, sudah cukup dewasa untuk bepergian seorang diri sejauh sisi lain bumi—yang mungkin tidak akan dilakukannya jika bukan karena Arai yang tinggal di Copenhagen sejak dua tahun lalu. Sialnya, Sakusa tidak mempertimbangkan kemungkinan bakal terpaksa menaiki sepeda ke mana-mana karena nyaris 90 persen warga Copenhagen menggunakan sepeda untuk bepergian keluar rumah. Arai punya sepeda gunung hitam yang sedikit tidak cocok dengan image feminimnya, teronggok menghalangi jalan masuk apartemen gadis itu saat pertama kali Sakusa tiba di sana. Mereka sempat kesusahan memasukkan koper raksasa Sakusa karena sang pemuda agaknya membawa seisi rumahnya ikut terbang ke Denmark.

“Di sini kita hanya boleh membonceng anak di bawah umur tujuh tahun saat naik sepeda. Jadi aku akan meminjamkanmu sepeda milik host-motherku,” terang Arai setelah menjelaskan konsep transportasi yang menurutnya paling praktis untuk ukuran Copenhagen. Sejatinya, peraturan itupun tak jauh berbeda dengan hukum di Jepang, namun wajah Sakusa terlanjur berubah masam.

“Tenang saja, aku sudah mencucinya tiga kali sebelum kau tiba.” Pernyataan Arai terdengar meyakinkan, bukan berarti Sakusa tidak memercayainya, hanya saja—

“Jangan bilang kau tidak bisa naik sepeda, Kiyoomi.”

Aura gelap nan mengintimidasi dari pemuda tersebut sudah cukup untuk memicu gelak tawa Arai. Sang gadis telah lama mengenal Sakusa, akan tetapi ia masih sering terkejut acapkali menjumpai ‘hal-hal yang Sakusa Kiyoomi ternyata tidak bisa lakukan’. Habisnya, Sakusa adalah tipe lelaki yang meninggalkan kesan sempurna di mata semua orang—termasuk Arai—pada pertemuan pertama. Mungkin hanya segelintir orang yang tahu Sakusa punya germaphobic, Sakusa takut serangga, atau Sakusa tidak bisa naik sepeda.

Bagi sang pemuda, menjadi bahan tertawaan gadis itu sebenarnya tidak menyenangkan. Kendati menilik ekspresi geli dan suara tawa Arai sendiri berhasil memberinya efek menggelitik di perut. Kala gadis itu bergumam, “Kiyoomi lucu sekali, ya,” wajah masam Sakusa lantas digantikan oleh rona merah di pipi yang tersembunyi maskernya.

Maka, Arai sampai pada satu-satunya solusi paling logis untuk mengajak Sakusa berjalan-jalan di pagi buta mengelilingi kota Copenhagen. Ibukota Denmark selalu ramai dan ia tahu Sakusa tidak bisa terlalu lama berada di keramaian. Ia pun tahu Sakusa sering bangun terlalu pagi untuk berlari di sekitar rumahnya atau datang paling awal saat latihan pagi klub voli putra SMA Itachiyama. Meski itu sudah lewat dua tahun lalu dan Sakusa merasa dirinya dapat mengatasi masalah-masalah fobianya dengan lebih baik, solusi Arai terdengar cukup logis.

“Bangun, Kiyoomi!” suara Arai terdengar bersamaan dengan guncangan ringan pada bahu Sakusa. Malam itu ia tidur di sofa apartemen Arai meski sang gadis bersikeras tempat tidurnya cukup lebar untuk ditempati mereka berdua. Ketika membuka mata, ia mendapati Arai sudah berpakaian rapi seolah ini pukul sepuluh pagi di hari Minggu dan mereka akan pergi piknik. Jam dinding di sebelah rak buku menunjuk angka empat.

Tadinya, Sakusa mengira fakta bahwa dirinya tak bisa menaiki sepeda adalah hal tersedih yang dapat terpikirkan olehnya di umur dua puluh tahun. Lebih sedih dari keputusan takdir yang memaksanya tahan diri karena satu tim V.League bersama Miya Atsumu dan Bokuto Koutaro. Lebih sedih dari kekalahannya di Spring High saat ia kelas 2 SMA. Akan tetapi, seiring suara langkahnya pada permukaan jalanan berbatu terdengar nyaring di telinga, di antara langit fajar yang masih gelap dan kota yang belum sepenuhnya terbangun, Sakusa mulai berubah pikiran.

Barangkali tidak bisa naik sepeda bukan sepenuhnya hal buruk yang patut disesalkan.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Arai, seolah habis mengintip sedikit isi kepala Sakusa. “Copenhagen,” lanjutnya.

“Bagus,” gumam Sakusa. Suaranya sedikit terhalang karena tertutup masker. “Aku suka udaranya. Suasananya cocok untukmu. Kurasa aku mulai paham kenapa orang-orang menyebutnya ‘kota paling bahagia’.”

“Apa artinya kau sekarang merasa bahagia?”

Mereka berhenti di sebelah jembatan. Di seberang sana ada deretan rumah dan pertokoan yang warnanya bagai disiram gradasi biru tua, jendelanya berpetak-petak dan sebagian masih memancarkan cahaya terang lampu dari dalam, beberapa perahu berlalu-lalang melintasi kanal sementara nelayan, pedagang, dan pemilik toko roti sibuk berjalan cepat tanpa menghiraukan presensi mereka. Sakusa menatap gadis di hadapannya, terbalut pakaian musim semi dan memberinya senyuman simpul. Apa ia merasa bahagia?

Sang pemuda menghela napas.

“Arai,” panggilnya, kemudian menurunkan masker yang menutupi setengah wajahnya. “Ulurkan tanganmu.”

Disertai tanda tanya di wajah, gadis itu perlu lima detik sampai akhirnya menuruti permintaan Sakusa. Ia mengulurkan tangan lalu sang pemuda melangkah lebih dekat, mengeluarkan botol kecil dari saku jaketnya.

“Kiyoomi masih membawa-bawa hand sanitizer ke manapun kau pergi, ya?” celetuk Arai. Senyumnya terpatri lebar kala sang pemuda melakukan ritual penyucian tangan dari kuman-kuman yang mungkin terlalu repot berurusan dengan hawa dingin pagi buta daripada singgah di tangan gadis itu.

“Untuk berjaga-jaga.”

Wangi khas pemuda itu tercium di udara, mengingatkan Arai akan penatu di Tokyo—ia tak pernah menemukan penatu yang sama di Copenhagen, di mana deret mesin cuci didekorasi bersama rak-rak buku dan cafe mungil. Sakusa tak akan menyukai penatu di sini. Arai membayangkan Tokyo dan penatunya yang serba otomatis, lusinan vending machine yang tertanam di setiap sudut jalan, kereta dan bus yang penuh sesak di jam kerja. Arai mengingat Sakusa yang menggenggam tangannya ketika mereka berdiri di belakang gedung gimnasium sekolah, melawan dingin cuaca bersalju yang tiba terlambat pada akhir Maret.

Kini, Sakusa masih menggenggam tangannya.

Jemari Sakusa tidak lebih dingin dari udara pagi, permukaannya kering berkat kandungan alkohol yang tinggi pada hand sanitizernya, kasar karena tahun demi tahun yang dihabiskannya menjalin persahabatan dengan bola voli dan lapangan jingga. Arai mendongak, bertemu pandang dengan manik obisidan lelaki itu. Di wajahnya terlukis kegugupan yang masih sama seperti hari bersalju di bulan Maret, atau saat menjelang kelulusan ketika Arai mengutarakan rencananya untuk pergi ke Denmark. Tersenyum, sang gadis mempererat genggaman tangan mereka.

“Tidak perlu berbohong pada dirimu sendiri.”

Napas Sakusa tercekat. Ah, kalimat itu kini berbalik menyerangnya. Sang pemuda mulai merasa dunia ini mungkin memang tidak adil. Ia tak akan pernah memahami kenapa Arai memutuskan pergi sejauh 8684 kilometer dari kampung halamannya, sama halnya dengan kenapa Komori memutuskan masuk tim Mills Raijin dan bukan Black Jackals. Meski Sakusa menghargai ketetapan mereka berdua, ia hanya tak pernah mengerti.

Kota paling bahagia cocok untuk Arai. Tapi—agaknya Sakusa terlalu egois mengatakan ini—ia tidak tahu mana yang lebih penting, melihat Arai bahagia di Nyhavn dikelilingi kanal dan deret bangunan berumur seratus tahun atau membayangkan dirinya sendiri bahagia seandainya Arai tidak berada begitu jauh darinya.

Barangkali, hal tersedih untuk Sakusa memang bukan fakta bahwa ia tak dapat menaiki sepeda.

Comments