What's a Timberman Wants with Being a Wickie
inspired by The Lighthouse (2019) dir. Robert Eggers and true event of Eilean Mor, Scotland on December of 1900
collaboration fic
written by hvnlysprng & Galima Grace
“Di mana kita?”
Napasnya terengah, tatapannya sedikit terhalang deru gerimis sementara ia merasakan air mulai memenuhi telinga. Pemuda tersebut memandang gadis di hadapannya sebentar, kemudian mencoba memutar kepala untuk mengobservasi sekitar. Mereka ada di dermaga kecil—tapi terlalu kecil sampai ia ragu apakah dermaga adalah sebutan yang tepat. Dari ukurannya jelas hanya diperuntukkan bagi kapal-kapal nelayan atau boat pariwisata, dan mungkin hanya cukup buat satu kapal patroli.
“Amy?” panggil sang pemuda. Kini dengan nada ragu-ragu karena Amy kelihatannya terlalu sibuk berusaha mengikat kapal yang terombang-ambing pecahan ombak.
Tak ada jawaban.
Ia yakin tak bakal dapat jawaban. Lagipula ia tak pandai dalam urusan tali-temali—apalagi ilmu melaut. Terlebih lagi, sensasi berputar yang ia asumsikan sebagai mabuk laut membuatnya tidak ingin bergerak banyak. Akhirnya pemuda itu tetap diam, memilih untuk menatap tebing dan dataran tinggi yang menjulang di hadapannya. Mereka cukup tinggi hingga ia harus mengangkat sebelah tangan demi melindungi pandangan dari butir-butir tangisan awan.
Hujan semakin deras ketika gadis itu menoleh. “Ayo turun,” ujarnya lugas, dengan suara diperkeras agar rungu kawannya bisa menangkap. Sejenak pemuda itu dibuat sadar barangkali Amy tak menjawab karena tak bisa mendengar ucapannya tadi.
“Kita ada di mana?” Pertanyaan yang sama terlontar dari mulut sang pemuda ketika mereka sudah menginjak daratan, kali ini ia menaikkan volume suara.
“Eilean Mor.”
Jawaban itu sama sekali tak membantu. Si pemuda buta geografi Skotlandia, tak tahu arah mata angin, sepanjang hidupnya menghabiskan waktu di pedesaan York, bagaimana ia bisa mengenali di mana tepatnya pulau kecil bernama Eilean Mor?
“Kafka? Telingamu tidak kemasukan air, ‘kan?”
Baru tersadar ia tengah memasang ekspresi bingung, Kafka menggeleng. “K-kurasa, aku ... cuma shock. Dan mual—sudah pasti.”
Meski sedikit buram, Kafka bisa melihat tatapan khawatir dan rasa bersalah di mata Amy. Atau itu hanyalah salah satu efek shock-nya saja. Siapa yang tahu?
Lagipula sedang hujan deras di sini. Butiran air dan buih ombak yang menderu-deru membuat pandangan terjelas mereka tidak lebih dari beberapa ratus meter. Dan yang paling penting, Kafka kenal Amy. Memori masa kecil yang mereka habiskan bersama memberitahu Kafka kalau Amy tidak semudah itu berempati. Namun tentu menjadi sebuah pengecualian pada beberapa waktu dan kondisi, kan? Misalnya seperti sekarang, ketika mereka 'terdampar' di pulau—apa tadi namanya? Eleanor?
"Kenapa kita ke sini?"
Lagi-lagi Amy tidak menggubrisnya.
"Amy? Kau yakin ini—"
"Oh, Kafka, lihat aku." Amy berbalik menghadap pemuda itu. "Tarik napas dalam-dalam dan cobalah untuk fokus," ujarnya. "Bisakah kau lakukan itu?"
"Apa?"
"Tutup mulutmu dan coba untuk fokus."
Kafka menggeleng menatap tak percaya punggung Amy yang kembali berjalan menjauhi bibir pantai. "Badai! Ya Tuhan, Amy! Ada badai di pengalaman pertamaku berlaut. Dan kau berharap aku bisa langsung terbiasa? Kau psikopat!"
"Simpan itu nanti. Sekarang bantu aku. Satukan pikiranmu dan cepat segera pergi dari sini—atau kita berdua akan dilahap ombak!"
Yep, bayangan Amy berempati padanya sudah pasti sebagian dari rasa terkejut. Oh, sudahlah.
"Maaf, kau benar," kata Kafka walaupun sangat yakin Amy tak bisa mendengarnya. Sekarang mereka harus segera menjauh karena ombak di belakangnya semakin menjadi-jadi. "Oke, fokus. Kurasa—ya, tentu—tapi butiran air yang masuk ke hidungku membuatku makin panik!"
Amy merasa Kafka hanya membuang-buang waktu. Lima detik yang ia gunakan untuk menenangkan rasa panik Kafka hanya akan berakibat nahas. Tanpa basa-basi, ia segera menyambar lengan lelaki itu, memaksanya mengikuti untaian langkah kaki menuju undakan batu—terus ke atas tebing. Agak sedikit tersendat karena Kafka masih terlalu lamban untuk mencerna keadaan hingga membuatnya terpeleset berkali-kali.
"Kenapa kita ke sini?" ulang Kafka setelah nyaris dua puluh anak tangga terlewati. "Bukannya kita mau ke—Haiti?"
"Hirta, Bodoh. Omong-omong perhatikan langkahmu." Amy mempererat genggaman tangannya, seolah menembus kain kemeja Kafka yang basah kuyup. "Dengar, badainya terlalu kuat, barangkali kita tak akan sampai Hirta dengan selamat. Kau bisa lihat di bawah sana ombak mulai pasang. Kita tidak boleh terus-terusan berada di air."
Rahang Kafka mengeras. Memang, orang bodoh sekalipun tak akan berani berlayar di cuaca semacam ini. Dan setiap orang pintar pasti akan memperhitungkan perkiraan cuaca sebelum benar-benar pergi melaut. Dalam kasusnya, Kafka adalah si orang bodoh, sementara Amy seharusnya merupakan si orang pintar yang berpengalaman dengan laut sepanjang lima tahun belakangan. Tapi ia tak bisa menyalahkan gadis itu. Badai terkadang datang terlalu tiba-tiba.
"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" Kafka benci bertanya terus-menerus, namun ia juga tak suka situasi membingungkan yang hanya bisa membuatnya melongo.
Di depannya, Amy tak menoleh, fokus pada undakan curam yang sesekali berbelok tajam—menyisir sisi tebing batu. "Kita ke mercusuar. Kau tidak mau berdiri terus-menerus di bawah hujan deras begini, bukan?"
"Well," balas Kafka seraya mengedikkan bahu. "Aku akan mengikutimu ke mana pun, asalkan ke mana pun itu aman."
"Untuk kali ini, tolong jangan terlalu berharap."
Kafka melotot, sebentar saja karena kurang dari sedetik kemudian air hujan menerjam matanya. "Apa maksudnya itu?"
Seperti yang sudah diduga, Amy lagi-lagi tidak menjawab—malah menyuruh Kafka menggerakkan kakinya dengan benar dan mempercepat langkah. Gadis itu terlalu fokus berjalan dan menarik tangan Kafka sampai rasanya akan copot. Melihat itu, Kafka memutuskan diam—tidak ada pertanyaan lagi yang terlontar. Memilih untuk memusatkan perhatiannya secara penuh sesuai yang diperintahkan Amy. Dan memang harusnya begitu. Bagaimanapun juga, tentu Amy ingin mereka berdua selamat.
Beberapa saat kemudian, setelah banyaknya undakan yang terasa seperti ribuan. Akhirnya sampailah mereka ke tanah berumput—dengan mercusuar yang terletak beberapa puluh meter dari sana. "Berdoalah itu tidak terkunci," bisik Amy.
"Amen."
Penampakan luar mercusuar itu tampak sangat tidak terawat. Dengan dinding terkelupas parah, lumpur di sana-sini, dan pintu kayunya yang berlumut. Kafka memang tidak tahu menahu tentang laut dan berlayar, tidak sekalipun juga terlintas di benaknya untuk menjadi seorang pelaut atau nelayan. Tapi untuk mengartikan kalau sebuah mercusuar tidak berfungsi lagi dari lampunya yang mati adalah hal amatir—semua orang bisa tahu. "Kau yakin hal ini, Amy?" tanya Kafka.
"Badai seperti ini tidak akan selesai dengan cepat. Kita tidak punya opsi lain." Gadis itu lalu beralih ke arah pintu. Terdengar bunyi 'klek' kecil dan Amy kembali meraih tangan Kafka. "Pintunya tidak terkunci. Ayo."
Sesaat setelah memasuki mercusuar, mereka langsung disambut oleh bau jamur yang sangat menyengat. Ruangan di dalamnya tidak terlalu besar. Hanya ada satu petak tanpa sekat. Amy dan Kafka—yang napasnya masih terengah—segera melepaskan mantel mereka sambil mengobservasi sekitar.
Dinding ruangan itu tidak dicat. Atapnya sedikit rendah. Perapian kecil yang bekas kayunya ditumbuhi jamur. Terdapat tempat tidur di sebelah kanan, dapur serta meja makan di sebelah kiri, dan beberapa meja lainnya di sudut—mungkin tempat untuk bekerja atau meletakkan berkas dan perkakas.
Tidak ada tanda-tanda terbaru bahwa mercusuar ini berpenghuni. Semuanya sudah sangat berdebu dan bau.
Meskipun begitu, seluruh perabotannya lengkap. Kafka bahkan menemukan seonggok roti penuh jamur yang tergigit di atas meja makan—diletakkan separuh keluar dari piring, seolah dilempar asal. Kursi meja makan juga terletak menghadap diagonal yang terlalu miring. Sudah pasti ada sesuatu yang sangat genting hingga membuat pelakunya terburu-buru pergi.
"Aneh," gumam Amy seraya mendekati meja di ujung. "Tempat ini seperti ditinggalkan begitu saja."
"Apa kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Kafka.
Gadis itu menggeleng, membuat beberapa butir air terjun bebas dari rambutnya. "Baru pertama kalinya. Lagipula untuk apa? Tidak ada yang menarik di pulau ini."
"Melihat fakta bahwa kau sedang membawaku ke pulau Hyarta—"
"Hirta." Amy mengerang. "Idiot."
"Ya, itu. Kau sedang membawaku ke pulau Hirta—well, tadinya. Jadi tidak menutup kemungkinan kau telah berlayar ke sini juga, kan?"
"Bisa jadi. Tapi kalaupun aku mau, orang tuaku jelas tidak akan memperbolehkan," timpal Amy.
Kafka spontan menaikkan sebelah alis. "Kenapa begitu?"
Selama beberapa detik, Kafka menunggu gadis itu memberikan respon. Tapi nampaknya Amy sudah lebih dulu teralihkan. Dia mulai mengecek buku-buku dan berkas yang ada di meja. Yang entah milik siapa itu. Kafka ingin mengingatkan Amy bahwa gadis tersebut masih basah kuyup, sehingga ada baiknya untuk tidak memegang kertas sebelum kondisinya cukup kering.
Tapi saat Kafka hendak melakukannya, gerakan tangan Amy berubah semakin cepat. Membuka buku satu, meletakkannya asal, lalu meraih buku lainnya. Hal yang sama dilakukannya juga dengan lembar-lembar jurnal.
"Amy? Kau oke?" panggil Kafka.
Orang yang namanya disebutkan itu menoleh, memberikan raut keheranan. Lantas tangannya menyodorkan beberapa lembar jurnal usang kepada Kafka. "Lihat," kata Amy, yang hebatnya masih bisa mengontrol suaranya agar tetap tenang. "Desember, tahun 1900."
"Maksudmu—"
"Jurnalnya berakhir tepat empat puluh dua tahun lalu." Amy terdiam. Matanya bergerak mengelilingi ruangan. "Mercusuar terbengkalai. Roti, kursi, tinta yang tutupnya masih terbuka—" Dia menunjuk sebuah tempat tinta yang sudah kering. "—ditinggalkan begitu saja dengan buru-buru."
Kafka memandangnya bingung. Dalam hati dia lelah karena berekspresi seperti idiot terlalu sering. "Mungkin karena hal genting? Siapa tau ada kapal menabrak karang, atau err—sesuatu?" Pemuda itu menautkan alis. "Kenapa kau pucat sekali, omong-omong?"
Amy memutar bola matanya. "Kita baru diterjang badai beberapa menit lalu dan basah kuyup. Ya Tuhan. Tidak bisa, ya, kau semenit saja tidak sebodoh itu?"
"Oke, maaf," ucap Kafka, sama sekali tidak bernada menyesal. Justru kesal. "Tapi kenapa kau tiba-tiba serius tentang jurnal itu? Kau terlihat… takut—dan kau mulai menakutiku juga."
"Tidak cuma jurnalnya. Lihat," kata Amy lagi, kini berjalan menuju pintu. Tepatnya menuju gantungan baju yang tertempel di permukaannya. Di mana terdapat sebuah mantel usang dan kaku tergantung. Kafka tidak memperhatikan itu sebelumnya. "Desember. Dan mereka keluar tanpa menggunakan mantel. Orang waras macam apa yang tidak memerlukan mantel di puncak musim dingin?"
"Mungkin karena dia pakai mantel lain?"
"Mantel ini digantung, artinya sudah pasti yang sedang dia pakai saat itu adalah yang ini. Lagipula tidak ada lemari pakaian. Yang artinya lagi, mereka cukup punya satu untuk sepanjang musim dingin."
Kafka mengangkat kedua telapak tangannya. "Oke, tapi sekarang coba jawab aku. Kenapa kita membicarakan ini, Amy?"
"Aku tahu ini gila, tapi bagaimana kalau sebenarnya mereka memang tidak pernah keluar dari sini?" Perlahan tapi pasti, Kafka bisa melihat ada sedikit kengerian di wajah Amy. Meski begitu suaranya tetap stabil ketika melanjutkan. "Mereka bisa menutup pintu tapi tidak dengan mengambil mantel. Jelas tidak masuk akal."
"Angin."
"Tidak," bantah Amy. "Mata pengait pintunya sangat keras. Jadi untuk bisa tertutup sepenuhnya, kau harus memutar gagangnya dengan benar."
"Darimana kau tahu itu?"
"Memang harus begitu—kehidupan di mercusuar. Agar pintunya tidak mudah terbuka ketika ada badai. Coba saja sendiri."
"Hei," panggil Kafka sekali lagi, mulai kehilangan kesabaran. Pembicaraan ini jelas membuatnya tidak nyaman. Kafka mengenal Amy. Amy yang tenang dan pemberani. Tidak terlalu seperti Kafka. Tapi sekarang gadis si pemberani itu menunjukkan kengerian. Dan mau tidak mau kengerian itu menular pada Kafka, bahkan lebih besar dari milik Amy sendiri. "Kenapa kita membicarakan ini, Amy?"
Angin bertiup kencang menghentak-hentak jendela, serbuan air hujan ditambah sahutan petir menimbulkan suara mengganggu di telinga selama kedua manusia itu diselimuti keheningan. Kafka mulai merasakan giginya bergemeletuk. Ia tak suka diabaikan—terlebih oleh Amy. Diamnya gadis itu selalu membuatnya merasa bodoh. Seakan ada beribu rahasia yang disembunyikan, yang Amy tak mau Kafka mengetahuinya.
Yeah, fine, pikir Kafka. Biar kali ini ia balas mengabaikan Amy yang berdiri mematung di hadapan lembar-lembar terbuka dari buku yang gadis itu acak-acak. Kafka menggigil dan buku mana pun tak mungkin bisa menghangatkan tubuhnya. Sang pemuda beringsut, air menetes dari kemeja, celana linen, dan sepatu boots yang ia kenakan—membasahi lantai ruangan yang ia putari demi mencari korek api.
"Tak perlu. Aku bawa pemantik."
Menoleh, pemuda tersebut mendapati Amy sudah berjalan ke arah perapian, dengan pemantik kecil di tangan kanan dan sebuah buku di tangan kiri.
"Kau tak akan membakar buku itu, bukan?"
"Menurutmu?" tanya Amy balik. Ia berjongkok, menyobek beberapa kertas lalu menyalakan pemantiknya. "Aku tak punya cokelat panas. Tepatnya, mereka yang tidak punya. Kuharap ini cukup."
"Kau tahu, ibumu akan marah jika melihatmu sekarang," ujar Kafka seraya berjalan mendekat. "Kau tidak seharusnya membakar buku—terlebih milik orang lain."
"Aku bukan kau, Kafka. Aku tak peduli soal buku-buku—terlebih milik orang yang kemungkinan besar sudah mati."
"Bagaimana kau yakin pemiliknya sudah mati?"
Ada keheningan mencekam. Mereka berada sangat dekat dengan perapian hingga suara percikan api terdengar lebih keras daripada dentuman hujan, atau hentakan angin, atau guntur yang menyalak, atau debur ombak yang kini cuma terdengar sesekali di kejauhan. Pertanyaan itu terpeleset dari lidah Kafka, ia tak mengharapkan jawaban apa pun. Namun ketika pandangannya berserobok dengan manik kebiruan Amy, sang pemuda tahu mereka tak seharusnya bercanda soal kematian.
"Mau dengar cerita?"
"Oh, jadi sekarang kau mencoba menenangkanku?"
Amy menghela napas. Tampaknya percakapan ini tidak lebih dari sekadar lelucon belaka bagi pemuda itu. "Aku sama sekali tidak menjamin cerita yang satu ini akan membuatmu tenang satu hela napas pun."
Kafka menelan ludah. "Oke," katanya kemudian. "Jika kau memaksa."
"Ini adalah alasan mengapa orang tuaku tidak memperbolehkanku datang ke pulau ini. Juga yang membuat semua orang di pulau Lewis—tempatku tinggal—tidak pernah mendekatinya."
Terdapat jeda sejenak dibarengi dengan kilat sebelum gadis itu melanjutkan.
"Dulu, ada tiga orang penjaga di mercusuar ini." Kalimat Amy terpotong oleh napasnya yang tercekat. Gadis itu butuh beberapa detik untuk bernapas normal kembali, bagai diliputi keragu-raguan, sampai kemudian melanjutkan ucapannya. "Mereka bertugas sejak akhir tahun 1890-an. Aku tak tahu tepatnya, mungkin juga sebelum itu. Tapi biasanya penjaga mercusuar dipindahtugaskan setiap beberapa tahun."
Keduanya sama-sama mengulurkan tangan lebih dekat ke arah kayu dan buku yang terbakar. Amy menatap api yang sedikit-sedikit membesar lalu mengecil lagi. Sementara atensi Kafka masih melekat pada Amy.
"Lalu?"
Amy melirik kawannya sekilas, lalu menelan ludah. "Lalu, pada Desember 1900, sehari setelah natal, jadwal pergantian penjaga datang."
"Ada satu kapal kecil mendarat di Eilean Mor, isinya beberapa awak, penjaga mercusuar yang baru, dan atasan mereka. Tapi tak ada yang datang menyambut. Dermaga kosong. Si atasan membunyikan tuba namun tak dapat jawaban."
Kilat besar menyambar, memberi penerangan pada ruangan gelap itu selama dua detik, lantas diikuti bunyi gemuruh. Amy tak pernah takut pada petir, akan tetapi sarafnya kali ini menegang sedikit. Ia sempatkan menilik Kafka sebentar, kini berwajah kaku dengan keseriusan di manik hijaunya. Menatap matanya serasa menemukan sebongkah batu di danau berlumut—tenggelam, mengeras di kedalaman air yang dingin.
"Mereka segera menghampiri mercusuar," lanjut Amy, setengah berbisik, seakan tak ingin ada yang mendengar obrolan mereka. "Ketika mereka sampai, tak ada orang di sana. Tiga penjaga itu lenyap begitu saja, meninggalkan mercusuar kosong tak terkunci."
"Tidak ditemukan?"
Amy menggeleng. "Tidak pernah ditemukan."
"T-tapi … itu artinya—"
"Ya, Kafka." Kengerian di wajah pemuda itu terpantul pada sepasang netra Amy, berbaur dengan rona api yang menyulut-nyulut. "Mereka hilang di sini."
"B-bukan begitu...."
Ekspresi dingin Amy mendadak tergantikan oleh kerutan dahi. Ia merasakan rasa cemas menguar dari Kafka, namun bukan kecemasan yang biasa lelaki itu tunjukkan padanya. Bukan kecemasan saat awan mendung tiba-tiba berarak mengepung mereka sekitar satu jam lalu, bukan kecemasan saat harus mendaki undakan menuju mercusuar tak berpenghuni, bukan juga kecemasan saat Amy hendak memulai ceritanya.
Kafka tengah memikirkan hal lain.
"Apa maksudmu, Kafka?"
Pemuda itu mengulum bibir, gugup. Tangannya memijat jari jemari satu sama lainnya—bukan untuk menghangatkan, tapi guna menghilangkan gemetar (walau sebenarnya sia-sia). Lantas ditatapnya Amy dalam-dalam, seraya perlahan beringsut mendekat. "Bukannya itu artinya—Amy... Apa... Apakah mereka masih di sini?"
Barangkali Amy mulai berhalusinasi, gadis itu melihat bayangan dirinya dan Kafka ikut membesar bersama api di tungku yang seolah hendak melahap mereka. Gemuruh datang bersahut-sahutan di antara derasnya badai.
Kedua orang tersebut saling tatap menatap ketika tiba-tiba terdengar suara keras.
Dengan cepat keduanya menoleh, mendapati satu-satunya pintu di ruangan itu terbuka lebar, menyilakan serbuan angin bercampur titik-titik air hujan masuk hingga memadamkan perapian.
"A-angin? Tidak—seharusnya pintu itu cukup kuat—tidak mungkin angin bisa membukanya semudah itu."
Di tengah keterkejutan, Kafka seketika berdiri—beralih menghampiri pintu berat dari kayu ek tersebut. Langkahnya sedikit gontai, terlihat jelas tubuhnya gemetar. "Apa yang kau lakukan?" tanya Amy, bersiap untuk ikut berdiri.
"Tetap di sana, Amy." Kafka melindungi kepalanya dari serangan angin, mengulurkan tangan satunya untuk meraih gagang pintu. "Aku cuma mau menutup pintu i—"
"Kafka?"
Kafka tak menjawab, membiarkan kalimatnya berhenti di tengah jalan. Di belakangnya, Amy menatap sosok lelaki itu, mematung di tengah hembusan badai dengan atensi terpaku ke luar—ke arah laut di kejauhan.
"Hei," ujar Kafka akhirnya, dengan suara tercekat. "Amy, perasaanku saja atau—apakah laut memang berwarna se-abu-abu ini?"
Comments
Post a Comment