Spring Watches Winter From a Distance


Aku berlarian di padang rumput yang luas, sesekali melambat karena napas tersengal atau nyaris tersandung kaki sendiri. Tiga menit lalu aku sempat terjatuh dan harus merelakan rok putih yang kuangkat tinggi-tinggi jadi terkena noda tanah. Tapi itu tak menghentikanku untuk terus berlari.

Kalau ada yang melihat, mungkin dia akan mengira aku tengah lari dari sesuatu. Sebagian dengan benak positif mungkin berpikir aku tengah mengejar sesuatu.

Padahal, sejatinya aku sendiri tak tahu mengapa aku berlari.

Aku juga tak sedang mengejar makhluk lain. Aku sendirian. Apa yang sekiranya bisa kukejar di hamparan luas tak berpenghuni ini? Mungkin bintang-tentu, tapi matahari masih betah memamerkan seberapa kuat cahayanya bisa menembus celah-celah awan, malam kelihatannya masih jauh di bawah. Barangkali bayangan-bayangan misterius yang menyelinap di antara pepohonan. Namun hutan itu, semakin aku mendekatinya, ia justru terlihat semakin jauh-seolah enggan menyambutku, takut aku bakal menyalakan korek api di dalam saku lalu melemparnya ke salah satu pohon terdekat.

Ah, biarlah. Untungnya hanya ada aku di sini, tak akan ada yang melihatku lantas berpikir yang tidak-tidak.

Tempat ini memang tak diperuntukkan untuk banyak orang, hanya satu orang yang boleh datang. Lagi pula, orang-orang tidak pernah tertarik untuk ke sini, hanya ada rumput dan kubah langit cerah dan awan yang melindungi dari terik dan hutan dan gunung yang terlalu jauh untuk dicapai dalam satu hari perjalanan. Memangnya aku penggembala apa? pikir mereka saat mendengar soal Smultroställe (mereka menyebutnya Smultroställe, meski menurutku nama itu kurang tepat). Bahkan seorang penggembala sekalipun menyangkal eksistensi Smultroställe dan lebih memilih untuk menggiring domba-dombanya ke padang rumput lain.

Langkahku melambat lagi saat jantungku melompat-lompat minta diistirahatkan. Lemah, pikirku, kau seperti jantung milik gadis muda yang sedang jatuh cinta lalu tak sengaja bertemu pemuda spesial itu. Ini suatu penghinaan, aku tak pernah jatuh cinta. Sambil memukul-mukul dada yang kembang-kempis mengikuti perubahan bentuk paru-paru, aku memaksa tungkaiku terus berayun. Ia tak membantah, baguslah, sepatuku juga cukup ringan dan kuat digunakan berjalan jauh.

Tiba-tiba angin senyap, dan aku terpaksa ikut berhenti.

Di depanku, ada sungai kecil yang dangkal, melintang jauh sampai ke dalam hutan. Mudah, bisa kulewati bahkan tanpa melepas sepatu. Tapi hal lain di seberang sana jauh menarik atensiku.

Salju.

Bertumpuk-tumpuk, menimbun rerumputan dan ilalang hingga yang terlihat sejauh mata memandang hanya warna putih bersih belum terjamah. Aku mendongak, menilik langit yang seperti ikut terbelah sungai menjadi dua. Satu bagian cerah dengan gumul awan persegi menyebar layaknya petak-petak tanah petani. Sementara bagian lain di depan sana awannya jauh lebih banyak, nyaris memenuhi seisi stratosfer dengan warna kelabu. Bukan kelabu yang muram, lebih mirip kelabu menyenangkan-seperti warna napas gajah, atau rona kabut pagi yang sejuk. Sekitar lima meter ke barat (tidak termasuk leber sungai yang kira-kira cuma tiga sampai empat meter) ada segumpal awan yang masih meniupkan butir-butir salju.

Tanpa sadar, aku bergegas melepas sepasang sepatu dan kaus kaki, menentengnya dengan tangan kiri sementara tangan lainnya menjinjing rok panjangku. Lucu sekali, air sungai ini temperaturnya berubah seiring langkah yang kubuat. Awalnya hangat, di tengah terasa segar, dan lama-kelamaan menjadi sedingin es.

Ketika sampai di seberang, aku duduk di salju yang lembut lalu memakai kembali sepatuku. Aku memutuskan untuk merobek seperempat bagian rok lalu melilitkannya di leher sebagai syal. Sebenarnya, aku tak merasa kedinginan. Aku tipe orang yang lebih suka dingin daripada panas. Entah kenapa rasanya hanya tidak sepadan jika kau berjalan di hamparan salju tanpa memakai syal.

Aku tak bisa menahan tawa kecil saat mendengar suara salju yang terinjak sepatuku. Aku selalu suka suara itu-mengingatkanku pada proses awal mengulen adonan roti, atau tulang yang patah, atau hari-hari menggigil di tengah musim dingin kota Aachen sepuluh tahun lalu.

Setengah jam berikutnya, aku membuat manusia salju tanpa wajah yang badannya terlalu besar dan kepalanya terlalu kecil, aku menyenandungkan Rêverie-nya Debussy dengan beberapa kesalahan nada sembari membentuk bola-bola salju lalu melemparkannya ke segala arah, kemudian aku menghempaskan tubuhku di atas salju dan berusaha membuat bentuk malaikat. Pasti jadinya aneh, kupikir, meski aku tak sempat bangkit untuk melihatnya karena malah tertidur di sana.

Mungkin aku tertidur selama satu jam, entahlah, arloji di pergelangan tangan kiriku sudah lama kehabisan baterai. Aku terbangun karena beberapa butir salju jatuh membasahi wajahku, ukurannya sebesar permen karet dan bentuknya cantik sekali, persis seperti apa yang kau lihat saat menilik butir salju dengan lensa mikroskop.

Mereka seolah sengaja membangunkanku, mengingatkan bahwa aku cuma membuang waktu jika terus-terusan tidur di tempat ini. Mereka benar-siapa yang butuh tidur?

Aku segera berdiri, menepuk-nepuk bagian kemeja dan rok yang terkena salju, lantas melanjutkan berjalan. Awalnya pelan, lalu mulai cepat, lalu tanpa sadar aku sudah berlari kencang tanpa takut terpeleset. Aku terus berlari, berlari, terkadang melompat sedikit atau terkekeh geli saat sebutir salju jatuh tepat di ujung hidungku. Aku terus berlari hingga hutan pinus dan gunung tinggi di belakangnya mulai terlihat mendekat-masih jauh, namun setidaknya tak sejauh tadi. Langkahku tak pernah melambat sampai aku melihat setitik warna hitam di kejauhan.

Karena sedari tadi aku menempuh jalur lurus, dan titik itu berada sejalur denganku, mau tak mau ayunan tungkaiku semakin mendekatinya.

"Halo," ucapku.

Titik hitam itu berbalik. Ternyata ia seekor penguin yang berjalan membelakangiku, pantas saja yang kulihat cuma punggung hitamnya. "Halo," jawabnya lalu menyentuh bulu lehernya yang berwarna kuning dan berbentuk seperti dasi kupu-kupu, ia seolah sedang membenarkan posisi dasinya.

"Kau tinggal di sini?" tanyaku.

"Tidak," ia menjawab lagi, lalu berdehem. "Aku cuma lewat."

"Oh, aku juga." Aku terdiam, memikirkan suara penguin itu yang awalnya kukira bakal mirip Donal Bebek namun nyatanya terdengar seperti pria dewasa umur tiga puluhan. "Siapa namamu?"

"Tak punya. Kenapa aku butuh nama?"

Aku mengedikkan bahu, kemudian mulai berjalan lagi, ia mengikuti. "Well, tak ada yang butuh nama. Aku pun tak punya."

"Ke mana kau hendak pergi?" tanyaku lagi.

"Entahlah."

"Sama, sedari tadi aku cuma berlarian tak tahu tujuan."

"Sepertinya kita punya banyak kesamaan, ya?"

"Kau benar."

"Apa yang kau lakukan di sini?" Kini ia yang menanyaiku.

"Aku tak tahu."

Kami berdua bergeming, mendengarkan irama tapak kaki yang menginjak tumpukan salju. Punyaku lebih keras, mungkin karena tubuhku tiga kali lebih besar darinya. Tapi langkahnya lebih mantap-jelas, ia 'kan seekor penguin.

"Hei," ujarku lagi. "Aku ingin lari."

"Oh, jangan hiraukan aku. Pergilah ke mana pun kau suka."

Aku menoleh, pandangan kami berserobok sebentar sebelum kemudian aku memberinya senyum lebar dan jabat tangan. "Senang bertemu denganmu."

"Selamat tinggal."

Lalu aku mulai berlari lagi.

Comments