遠くの宇宙であなたに恋をしたんだ。
遠くの宇宙であなたに恋をしたんだ。
“In the distant cosmos, I fell in love with you.”
∞
Regulus pernah patah hati.
Itu cerita ke sekian dari masa lalunya
sebagai bintang muda, berpendar penuh semangat kebiruan selagi menjelajah
berpuluh-puluh tahun cahaya jauhnya―melintasi galaksi demi galaksi. Sedikit
memalukan juga untuk dikenang. Tipikal ingatan yang mampir tiba-tiba tanpa alasan,
seringnya memunculkan pertanyaan di benak Regulus seperti; “Memangnya dulu aku
pernah begitu, ya?”
Itu cerita yang terjadi dulu sekali,
ketika Regulus pertama kali mendengar bahwa pemandangan angkasa luar akan jauh
berbeda jika ditilik dari sudut pandang milik bintang-bintang siarah bernama
planet. Ia sempat mengira itu hanyalah bualan para komet yang terlalu pusing
memutari jagat raya. Sepanjang hidupnya, angkasa itu ya begini-begini saja.
Infinitif. Tempat bernaungnya para makhluk yang memancarkan sinar dan warna
masing-masing, hingga terkadang ramainya membuat Regulus melupakan betapa
pekatnya kegelapan tanpa mereka semua.
Barangkali Regulus tak akan percaya pada
informasi tersebut seandainya ia tidak melihat pemandangan itu langsung dengan
mata kepalanya sendiri, seandainya ia tidak menyimpan rasa penasaran begitu
tinggi hingga berani mengunjungi planet-planet milik Bimasakti.
Seandainya Regulus tidak datang ke Bumi,
ia tidak akan jatuh cinta pada Langit.
Angkasa luar―yang dipenuhi pendar warna-warni―mendadak
kehilangan corak orbitnya, berubah seolah seseorang menumpahkan cat di
sepanjang lapisan troposfer Bumi. Angkasa tidak lagi bermuram hitam pekat, tapi
tersenyum biru cerah.
“Apa kau bintang jatuh?”
Mendengar ucapan pertama yang terlontar
dari mulut Langit, Regulus tersentak. “Bukan,” ujarnya dengan gelengan, “tidak
ada bintang jatuh. Yang ada hanya
meteor yang menembus atmosfer planetmu.”
Regulus mengamati sosok di hadapannya yang
berkedip bingung. “Lantas, kau ini apa?”
“Bintang. Hanya bintang, karena bintang
tidak bisa jatuh. Lagipula―mau jatuh ke mana?”
Sebegitu mudahnya jawaban itu meluncur,
agaknya belum terfilter dengan baik dalam kepala Regulus. Terdengar polos,
kemudian mengundang respon tak terduga dari lawan bicaranya.
Langit tergelak, tawanya cukup keras
hingga tanpa sengaja membelokkan arah angin, mengusir sekelompok awan yang
hendak mendekat.
Tawanya amat manis hingga Regulus berpikir
bahwa sebenarnya bintang bisa saja jatuh
jika mereka mau.
Sayangnya itu cerita lama yang tidak
berakhir bahagia. Perkenalan Regulus dengan Langit memaksa sang bintang untuk
bolak-balik mengunjungi Bumi, padahal hakikatnya ia tidak bisa menetap di satu
tempat yang jauh dari konstelasinya dalam distansi waktu yang lama. Regulus
boleh mengembara sesering dan sejauh yang ia kehendaki, tetapi cepat atau
lambat ia harus kembali pulang.
Pertemuan demi pertemuan mereka berlalu
seiring dengan berubahnya warna Langit. Awalnya sewarna dengan pendar terang
milik Regulus, kemudian menjadi semerah luka, atau bergradasi dari ungu sampai
keemasan. Di kali terakhir, Regulus ingat jelas Matahari seperti mengancam
hendak membakar seisi Bumi dengan pancaran jingga kemerahannya.
“Menarik sekali,” komentar Regulus sambil
menatap senja kala itu.
Langit yang kurang memahami perkataan
Regulus hanya menelengkan kepala, kemudian memberanikan diri untuk bertanya,
“Apanya?”
Atensi Regulus masih berpusat pada
Matahari yang nyaris menghilang di kejauhan, sosok bintang raksasa berapi-api
yang tak pernah berani Regulus ajak bicara. Ia kemudian berdehem. “Angkasa
luar, maksudku. Dia bisa tampak berbeda dari sini.”
“Oh, ya?”
“Ya.” Regulus mengangguk. “Kukira
batu-batuan melayang itu hanya membual, katanya angkasa luar memang bisa
terlihat berbeda di beberapa planet. Itulah kenapa aku ke sini untuk
memastikannya sendiri.”
Bersamaan dengan lenyapnya Matahari dan
guratan-guratan senja, Regulus tak menyadari senyuman Langit terpatri segaris
di bibirnya. “Aku baru mau menanyakan alasan kedatanganmu, Regulus. Tapi kau
mendahuluiku dengan memberikan jawabannya sendiri.”
Sebelum Regulus sempat merespon, satu buah
kalimat dari Langit kembali mencapai rungunya.
“Memangnya, di luar sana, angkasa terlihat
seperti apa?”
Pertanyaan yang sulit. Terus terang,
sampai sekarang pun Regulus kesulitan menemukan padanan kata untuk
mendeskripsikan angkasa luar di matanya. Sebagai bintang muda yang belum
berpengalaman kala itu, Regulus hanya bisa bergeming, terlarut dalam pikirannya
mengenai angkasa, kosmos, galaksi, konstelasi, objek-objek selestial, dan
kegelapan abadi.
Kegelapan yang kemudian ia dapati selepas
berkedip, menoleh ke arah Langit yang tiba-tiba sosoknya sulit ditangkap oleh
retina Regulus.
“Seperti apa angkasa luar yang kau kenal?”
Detik ketika Regulus berkedip sekali lagi,
hingga akhirnya berhasil menangkap pancaran manik obsidian Langit beserta
senyuman manisnya, bintang tersebut sadar bahwa sosok di hadapannya tidak
membutuhkan jawaban.
Malam itu, di bawah hamparan angkasa yang
Regulus kenal hampir sepanjang hidupnya, Regulus tersadar ia tak pernah
benar-benar mengenal Langit yang selalu terlihat berbeda tiap kali mereka
bertatap muka.
Dan sekiranya bintang memang bisa jatuh,
barangkali alasan tak pernah ada yang mau melakukannya adalah karena kebanyakan
jatuh pasti diikuti rasa sakit di
akhir cerita.
∞
[1] A clear cloudless day-time
sky is blue because molecules in the air scatter blue light from the Sun more
than they scattered red light. When we look towards the Sun at sunset, we see
red and orange colours because the blue light has been scattered out and away
from the line of sight.
[2] At night, when that part on
Earth is facing away from the Sun, space looks black because there is no nearby
bright source of light, like the Sun, to be scattered. Without an atmosphere
the sky also appears black.
[3] A shooting star is another
name of a meteorid, a small piece of rock or dust that hits Earth’s atmosphere
from space. It moves so fast that it heats up and glows as it moves through the
atmosphere. So, a shooting star isn’t a star at all.
Comments
Post a Comment