Kontradiksi (Park Jihoon X OC Indonesia Fanfiction)


[WANNA ONE FICLET SERIES]

KONTRADIKSI
Park Jihoon & Pigeon!OC
SoulmateHybrid!AU

Drama, Romance, slight!Angst
hvnlysprng


“In the past, my dream was to become a pigeon.” ―Park Jihoon







“Bagaimana rasanya terbang?”


Dia berhenti, tidak lagi menebarkan biji-bijian dari dalam kantong kertas dengan tangan mungilnya. Kini atensinya tertuju pada sesuatu―sebuah titik di antara taburan biji jagung, kacang tanah, dan kacang hijau­―entahlah. Lebih terkesan seperti kekosongan, apapun yang menjadi destinasi pandangannya aku cukup yakin yang tengah berputar di dalam kepalanya jauh lebih luas dan rumit lagi. Aku hanya bisa terdiam seraya menelengkan kepala, menahan keinginan untuk menjawab sebuah pertanyaan aneh sebab kesadaranku menampar keras-keras. Meskipun kujawab, dia tetap tak akan mengerti.

Detik berikutnya, dia akhirnya berkedip, seolah tersadar dari lamunan panjang. Diliriknya sekeliling, khawatir seandainya ada orang lain tak sengaja mendengar ucapannya barusan. Apa dia menyesal? Apa dia memutuskan untuk menarik kembali kata-katanya? Kurasa tidak, karena aku masih melihat kilatan di matanya, yang memperindah sepasang pupil hitam legam itu―dan memperkuat keinginanku.

Maka kuputuskan, jika aku tak bisa menjawab dengan kata-kata, pilihan lain jatuh pada aksi.

Agaknya dia terkejut, bersamaan dengan kepakan sayap dan gerakanku yang tiba-tiba melesat ke atas sana, dia terjengat dan hampir-hampir menumpahkan sekantong penuh makanan burung. Kepalanya mendongak selagi kedua sayap ini membawaku semakin tinggi, kemudian mulai berkelok membentuk putaran. Dua meter di atas kepalanya, aku terbang sepanjang tiga putaran, yang mana semakin luas dan tinggi di tiap putarannya.

Dan ketika kakiku kembali menapak jalanan berpola bebatuan persegi di taman kota ini, kudapati dia menyambut dengan senyuman cerah yang barangkali dapat menerangi seisi bumi.

“Keren! Ini terasa seperti ... seolah-olah, kau mengerti ucapanku! Apa kau mengerti? Kudengar merpati itu hewan yang sangat pintar, mungkin tidak kalah dengan lumba-lumba.”

Memang.

Di bagian terdalam hatiku―di mana pun itu berada―aku ingin berkata, ‘ya, aku memang mengerti’. Sayangnya aku tak bisa. Tak akan pernah bisa. Selagi mendengar ocehannya yang tiada habisnya, aku hanya akan terdiam sambil sesekali menelan biji-bijian.


***


Rasanya masih seperti kemarin, namun kali pertama kami bertemu mungkin sudah lebih lama dari apa yang bisa diingat oleh seekor merpati. Dengan kepala terbenam dalam pakaian super tebal, pipi memerah serta helaan napas menguap, dia menapakkan sepatu boot di atas jalan bebatuan yang terlapisi sedikit salju, di antara angin musim dingin yang menusuk dan air danau yang mulai membeku. Tangannya terbungkus sarung tangan kuning menyala, menenteng sebuah tas punggung di sebelah kiri dan kantung kertas di sebelah kanan.

Di sanalah dia kemudian duduk, di sebuah bangku kayu pinggir danau, satu-satunya yang disertai cahaya lampu terang di sampingnya. Tanpa menghiraukan suhu rendah yang dapat membuatnya menggigil dalam sepuluh detik, lelaki itu melepas sebelah sarung tangannya lalu mulai meraup segenggam biji-bijian dari dalam kantong yang tadi dia bawa, melemparnya dengan brutal ke tanah. Bodoh.

Maksudku, orang bodoh mana yang berniat memberi makan merpati di hari bersalju begini?

Hanya dia seorang, mungkin.

Entah dosa sebesar apa yang telah kuperbuat pada kehidupanku yang sebelumnya, hingga atas kuasa Tuhan aku dilahirkan kembali sebagai seekor merpati, terjebak dalam teritori sempit seukuran titik noda dibandingkan semesta yang infinitif. Aku menyadarinya, tak lama setelah aku bertemu dengan Jihoon.

Ya, Jihoon. Namanya Jihoon.

Segala yang terjadi sejak hari di tengah musim dingin itu, bagaimana Jihoon memulai rutinitas barunya di tempat yang dapat kusebut ‘rumah’, bagaimana aku bisa mengetahui namanya dari cara kawan yang dia bawa memanggilnya, rasa-rasanya seperti sudah direncakan oleh seseorang dari suatu tempat.

Seolah Tuhan memberitahuku, inilah hukuman selanjutnya yang dibawa takdir padaku.

Semesta berkontradiksi, seperti takdir milikku dan miliknya. Meski aku bisa mendengar bisikan angin, memberikan kabar mengenai kehidupan kami berdua. Bahwa terlepas dari dosa besar yang kulakukan, hidupku sebelumnya bisa jadi lebih sempurna dari apapun yang bisa kubayangkan. Pun kesempurnaan itu disebabkan oleh eksistensi dirinya, yang kini justru menjadi hukumanku.

Jihoon, dahulu kita pernah bertemu, aku yakin betul. Entah kala itu dirimu berperan sebagai pangeran dan aku sebagai pelayan yang tiap hari menyiapkan sarapanmu, atau kau sebagai tentara yang pulang membawa kemenangan dan aku sebagai musuh dengan keluarga terbunuh dalam perang, atau mungkin kaulah matahari yang kurindukan sebagai rintik hujan. Yang manapun itu, rasa yang meluap dalam diriku kala mendapati sosok indahmu masihlah sama hingga saat ini.

Barangkali, nama kita berdua memang telah tersemat dalam catatan Tuhan, bersebelahan.


***


“Dulu, aku bermimpi menjadi seekor merpati,” ujarnya sembari mematri senyum manis. Matahari bersinar secerah kurva di bibirnya, nyanyian pipit terdengar dari dahan-dahan tinggi pohon jeruk, ikan-ikan berenang bebas di air danau yang menghangat.

Kali ini pun aku hanya bisa terdiam, membiarkan angin membisikkan kalimat-kalimat yang tak mungkin didengarnya.

“Bagaimana rasanya? Terbang, mengamati dunia yang terlihat kecil dari atas sana? Bagaimana rasanya? Hidup menjadi simbol perdamaian?”

Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Dan tidak akan pernah seandainya dia tidak datang tiba-tiba di tengah segala kebetulan yang terjadi dalam semesta ini, berkatnya kini aku ikut mempertanyakan kehidupan, mempertanyakan segalanya.

“Di kehidupan selanjutnya, mungkin, aku ingin menjadi seekor merpati.”

Jangan.

Oh, aku tak ingin Tuhan mendengar ucapannya barusan. Kendati dia tetap tersenyum begitu lembut, dan aku tahu Tuhan juga ikut tersenyum.



-fin-


(a/n)
idk ini gajelas banget anjir.
di wanna one go zero base ep 5, jihun bilang dia pernah bermimpi pengen jadi merpati, dan aku langsung berasa dikasih inspirasi (yang walaupun aneh, masih kukuh kutulis aja).
so, here you go. Memang aneh tapi namanya park jihoon emang terlalu indah bahkan seekor merpati pun bisa jatuh hati. hehe.

Comments