BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 20)


20

Baik pelataran sekolah di luar maupun koridor lantai satu yang tengah dilewati Rahee sama-sama hampir tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bedanya hanya terletak pada suhu di dalam gedung sekolah, yang seolah-olah terus memantulkan panas dari kedua sisi dinding. Sementara di luar, Rahee tidak yakin kapan salju akan mulai turun, akan tetapi ia bertaruh bahwa berdiri di sana sudah bisa membuatmu menggigil dalam dua menit. Dengan langkah kaki tergesa-gesa, gadis itu berharap tidak ada guru yang memergoki lalu menuduhnya berlari di koridor. Di saat seperti ini, ia merasa bagai orang tersibuk di dunia―sudah setara sibuknya dengan anggota parlemen Britania Raya. Padahal nyatanya ia hanya tengah menjalani minggu-minggu ujian akhir semester.

Napasnya masih terengah kala ia berhenti kemudian mendorong pintu di sampingnya, agaknya terlalu kencang hingga seisi ruangan (yang terdiri dari ibu penjaga perpustakaan dan beberapa orang murid) memberinya lirikan tajam. Sekelompok siswi yang tidak ia kenal tengah bergerombol, melanjutkan kegiatan bergosip dengan bisikan-bisikan yang sejatinya masih bisa terdengar jelas sesaat setelah Rahee menutup pintu.

Gadis itu mengusap lengannya, bertanya-tanya mengapa air conditioner perpustakaan masih dinyalakan di tengah musim dingin begini, selagi maniknya menulusuri tiap sudut serta tiap celah di antara rak-rak buku. Saat itulah Rahee menemukannya, lelaki itu, bersama sebuah buku di genggaman yang telah menyedot seluruh perhatiannya.

“Soonyoung?”

Sang pemuda mengangkat kepala, terlihat kaget namun detik berikutnya segera mematri senyum. “Kau terlambat,” ujarnya.

Rahee mengusap hidung dengan sela-sela jemarinya, sedikit dirayapi rasa bersalah meski ucapan lelaki bertitel Soonyoung itu tak mengandung sedikitpun nada marah―atau bahkan menuduh. “Maaf. Tadi aku terjebak dengan―kau tahu, ceramah Guru Park setelah Jungkook ketahuan menyontek.”

“Tidak apa-apa.” Soonyoung mengembalikan buku bersampul tebal itu ke rak, sekilas Rahee membaca judulnya, ‘Hansel and Gretel’. “Bagaimana strategi menyontek temanmu itu? Dia benar-benar kurang cerdik kalau sampai ketahuan oleh Guru Park yang remote AC saja salah dikira remote LCD.”

Seolah insiden tiga puluh menit lalu secara otomatis diputar ulang dalam kepala Rahee, saking bodohnya menjadi terlalu lucu hingga ia tak bisa tertawa lagi. “Klise. Dia menyalin rumus gerak parabola di balik kartu ujian. Maksudku―ini sudah abad ke-21 dan Jeon Jungkook masih terjebak di tahun 1999?”

Soonyoung tertawa, cukup menyetujui ungkapan Rahee namun tak merespon dengan jawaban apapun selain kekehan kecilnya. Lelaki itu mulai mengayunkan tungkai, membuat gadis di belakangnya mengikuti langkahnya kembali menuju meja yang tadinya sempat ia tinggalkan. Di sana tergeletak tas punggung, setumpuk buku, dan catatan terbuka lebar yang tak lain merupakan milik pemuda Kwon tersebut.

“Tadi aku mencoba mengerjakan soal latihan ujian yang diberikan Kim-ssaem tapi terlalu sulit dan kau terlalu lama. Jadi kutinggalkan, deh,” ujar Soonyoung sembari mengedikkan bahu, sesaat setelah ia mengambil tempat duduk berseberangan dengan Rahee.

“Tunggu―kita mau belajar matematika?”

Mendongak, didapatinya tanda tanya besar di wajah gadis itu. “Menurutmu? Bukannya besok memang jadwalnya matematika? Apa jangan-jangan aku salah melihat jadwal?”

Soonyoung lantas dirambati kepanikan, ia segera meraih tas punggungnya dan mengobrak-abrik isi benda tersebut demi mencari selembar jadwal ujian. Di seberangnya, Rahee ikut panik hingga gelagapan meluruskan pertanyaan yang ia lontarkan tadi. “Bukan, bukan! Kau tidak salah jadwal, kok! Besok memang matematika, dan geografi. Kukira kita akan belajar geografi.”

Reflek, lelaki itu menghentikan kegiatannya. Ia bergeming sedetik kemudian menghela napas lega. “Kau membuatku hampir jantungan.”

“Maaf,” ucap Rahee, lebih mirip bisikan namun ia yakin Soonyoung masih bisa mendengarnya. “Tapi serius, aku tidak bisa matematika.”

“Aku juga tidak bisa.”

Keheningan selanjutnya terasa mencekik di sekitar mereka. Bagai dihadapkan dengan dinding raksasa sebagai jalan buntu, Rahee mulai mempertanyakan presensinya di perpustakaan siang ini ketika seharusnya ia bisa pulang lalu mandi, lalu makan siang, lalu pergi ke rumah Jimin yang hanya tinggal mengambil jalan memutar, lalu meminta kawannya itu mengajarinya matematika.

“Kalau begitu,” sang gadis membuka resleting tasnya hendak mengeluarkan alat tulis, “lebih baik kita belajar geografi saja.”

“Tunggu!”

Seruan tiba-tiba yang meluncur dari bibir Soonyoung seolah menekan tombol pause hingga perempuan di hadapannya tak jadi meletakkan kotak pensil di meja. “Jangan.”

Kerutan halus terbentuk di dahi gadis itu. Ia tak bisa mencerna ucapan Soonyoung sebab minimnya kalimat penjelas di dalamnya. Ekspresi yang terpasang di wajahnya jelas menandakan permintaan klarifikasi dari lelaki itu. Dan untungnya, Soonyoung cukup paham. Meski dibutuhkan satu tegukan ludah untuk mengatakan apa yang sebenarnya tengah menari-nari di kepalanya.

“Kita tidak perlu belajar dulu,” ujarnya, direspon oleh menajamnya ekspresi Rahee yang seolah berkata ‘apa kau bercanda?’ namun segera dilanjutkan oleh Soonyoung. “Ini masih pukul dua belas, lebih dua puluh menit. Kita bisa melakukan hal lain, seperti ... mengobrol? Entahlah. Apapun.”

Masih ada sisa-sisa tanda tanya pada wajah Rahee, akan tetapi ia masih bisa menebak-nebak alasan di balik ajakan Soonyoung yang tiba-tiba sekaligus di luar dugaan. Dirinya memang jenuh belajar. Barangkali lelaki itu merasakan hal yang sama.

“Boleh aku tanya, kenapa kau tadi membaca Hansel and Gretel?”

Segaris cengiran terpatri di bibir sang pemuda. “Aku suka cerita klasik.”

Barangkali Soonyoung memang jenuh belajar. Dan barangkali, dirinyalah jawaban dari presensi Rahee di sini.


***


“Mau ikut ke Domino’s Pizza?”

Tatapan yang diberi Choonhee sebagai jawaban agaknya tak kalah tajam dengan pisau daging milik ibu kantin, setidaknya demikian menurut Jeon Jungkook. Gadis itu hanya bergeming selama sekian detik sebelum akhirnya berkata, “kau ingat resolusiku semester ini kan, Kook?”

Yang ditanya menggaruk kepala yang sejatinya tidak terasa gatal. “Ya. Ingat. Masuk peringkat tiga besar, dapat nilai yang lebih bagus dari Kim Namjoon.”

Choonhee tersenyum puas. “Nah! Seratus buat Jungkook. Kau juga sama, harus belajar, jangan menyontek lagi.”

Meski sedikit, klausa terakhir yang meluncur bebas dari bibir gadis itu terasa nyelekit di hati Jungkook. Faktanya, hal itu tak bisa disanggah, Jeon Jungkook memang menyontek di ujian fisika hari ini. Akan tetapi lelaki itu bersumpah ia hanya menyalin satu rumus yang baginya terlalu sulit untuk dihapalkan. Lagipula, orang macam apa yang ingin menghitung gerak lemparan bola, tembakan meriam, atau orang yang melompat maju di dunia nyata? Kalau mau lempar, ya lempar saja. Kalau mau lompat, ya lompat saja. Untuk apa susah-susah dihitung? Jungkook bukan penerus Sir Isaac Newton, ia tak butuh materi semacam itu.

“Halo? Jungkook? Kenapa malah melamun?”

Sang pemuda berkedip, balas menatap gadisnya yang baru saja melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Ah, seandainya lamunan dalam benaknya itu ia ungkapkan pada Choonhee, mungkin ia malah akan dihadiahi omelan panjang.

“Ya sudahlah, aku akan pergi bersama yang lain. Maaf karena tidak bisa mengantarmu pulang.”

Setelah mendengar gadis itu menggumamkan ‘tidak apa-apa’, Jungkook melambai seraya mengamati Choonhee berbalik lalu melangkahkan kakinya menjauh. Baru tiga meter jauhnya jarak yang dibuat sang gadis, dengan senyuman lebar Jungkook mendadak berseru keras, “aku akan belajar!”

Mau tak mau, Choonhee ikut tersenyum.


***


Di sela-sela lembaran demi lembaran kertas A4, terselip rasa kelu di lidah dan rasa kaku di rahang milik Kim Namjoon. Sedari tadi bagian tubuhnya yang konstan bergerak hanyalah sepasang tangan yang sibuk menata lembar daftar hadir ujian. Sebaliknya, mulut yang bisa ia gunakan untuk bicara pada siapa saja dan kapan saja justru tak berguna, rasa-rasanya ia sudah seperti orang bisu non-permanen. Bukannya tidak mau, Namjoon hanya tidak bisa. Benaknya kini menggila, mengutuk kontradiksi antara saraf motorik dan sensorik miliknya tanpa bisa melakukan perlawanan.

Sementara itu, tak jauh di sampingnya, Lee Hwarin terfokus pada pekerjaan mengorganisir daftar hadir kelas 1-C―yang sebenarnya bukan kewajibannya, tapi Namjoon. Hanya saja sebagai teman sekaligus wakil ketua kelas yang baik, ia membantu lelaki itu mengerjakan tugas piket yang menunggak berhubung tiga hari ini teman-teman mereka bolos piket dengan alasan harus belajar ekstra untuk ujian. Lima meter ke utara, Kim Taehyung tengah mengelap jendela dan Min Yoongi duduk di kursinya―yang notabene berada tepat di samping jendela―tanpa merasa berdosa sedikitpun.

Suasana kelas relatif sepi. Orang terakhir yang keluar adalah Hoseok sebab kakak perempuan yang menjemputnya setelah satu semester kuliah di perantauan akhirnya tiba dan tak henti-henti menghujani ponsel Hoseok dengan dering misscall, dan Hyora yang sejatinya merasa sungkan namun berakhir tetap mengiyakan ajakan Hoseok untuk pulang bersama dengan alasan kakaknya juga merindukan gadis itu setelah lebih dari dua tahun tidak bertemu. Penghuni kelas 1-C agaknya begitu terburu-buru untuk pulang (didukung fakta bahwa jam pulang mereka memang tertunda oleh ceramah panjang Guru Park). Yang tertangkap nyaring di rungu Namjoon kini hanyalah bunyi kertas, gesekan lap jendela yang samar-samar terdengar mirip cara tertawa Kim Seokjin, serta ketukan keyboard handphone milik Yoongi. Meski dari arah koridor, masih terdengar obrolan beberapa orang murid.

Yah. Kau tidak pulang?”

Satu bunyi berhenti, tak lain merupakan keyboard Min Yoongi yang di-setting dengan suara ketukan kayu mahoni.Lelaki itu berhenti mengetik lalu mendongak ke arah Taehyung yang berdiri tepat di belakangnya. “Kau bicara padaku?”

Taehyung mendecak, mengeraskan gosokan lapnya hingga Namjoon takut jendela kelas mereka bisa pecah. “Siapa lagi? Di antara kita berempat yang tidak sedang mengerjakan piket cuma kau.”

“Tentu saja aku akan pulang,” jawab Yoongi sekenanya, kemudian melanjutkan kembali kegiatan mengetik yang sempat terinterupsi.

Sudahlah, Taehyung menyerah. Jawaban kawannya yang satu itu sama sekali tidak membantu dan dirinya pun sudah muak berurusan dengan jendela. Berbalik, kaki Taehyung berpijak sebelum kemudian tangannya meraih satu paket ember dan alat pel di sudut kelas lalu segera melesat keluar ruangan.

Namjoon―yang sedari tadi memerhatikan dalam diam―merasa suasana di sekitarnya semakin mencekam. Bahkan dari kejauhan ia bisa mendengar perdebatan Hani dan Hyeso mengenai masalah finansial mereka. Apa ujian membuat emosi semua orang tidak stabil?

“Namjoon-ah.”

Sang pemuda tersentak, ketahuan sedang melamun akhirnya membuat gadis yang memanggilnya tak bisa menahan gelak tawa. “Wajahmu blank banget, Joon! Sedang kepikiran apa, sih?”

Tak tahu hendak merespon apa, Namjoon hanya ikut nyengir menunjukkan lesung pipinya. Hwarin masih belum bisa menghentikan tawanya ketika berkata, “bagianmu sudah, belum? Biar aku saja yang kumpulkan ke kantor, sekalian pulang. Kau bisa bantu Taehyung lanjut membersihkan jendela yang baru setengah jalan itu.”

Tanpa ba-bi-bu lelaki itu menyerahkan lembaran kertas di tangannya pada Hwarin, yang segera beranjak dari kursinya. Sejatinya, dalam lubuk hati Namjoon yang terdalam, ia tak ingin mengucek jendela kelas. Ia tak ingin ditinggalkan bertiga bersama dua orang yang bisa mulai adu cekcok kapan saja.

Ia lebih memilih untuk ikut bersama Hwarin, berjalan beriringan dengan gadis itu melewati koridor dan menuruni tangga, walau tanpa saling bicara pun tak apa.

Akan tetapi Hwarin mengerjakan segalanya begitu cepat, membuat Namjoon bertanya-tanya apakah gadis itu juga terburu-buru? Dan, akankah ia selalu terburu-buru pula?

Ah, jika Lee Hwarin selalu sibuk dan berusaha pergi dari sekolah secepat kilat, bagaimana Namjoon bisa mendapat kesempatan miliknya? Waktu telah mencurinya tanpa kenal ampun.

Maka dengan tekad dibulatkan, mengabaikan kelu di lidah dan kaku di rahang, sang pemuda memanggil nama Hwarin keras-keras kala gadis itu menyampirkan tas di punggung dan sudah hendak melangkah keluar. Tak hanya Hwarin, sampai-sampai Yoongi juga ikut menoleh.

“Apa, Joon?”

“Minggu depan ... kau punya waktu?”

Sebelah alis Hwarin terangkat heran. “Umm, kurasa iya. Memangnya kau pernah melihatku terlalu sibuk sampai tidak punya waktu luang?”

“Tidak,” ujar lelaki itu disertai kekehan pelan. “Bagaimana kalau hari Jumat? Aku ingin―uh, menunjukkan sesuatu padamu.” Namjoon dapat mendengar suaranya bergetar. Oh, sejak kapan bicara dengan Hwarin jadi semenegangkan ini?

“Tentu. Sesuatu apa?”

Mencerna kalimat gadis itu kini sama sulitnya dengan menyusun puzzle seratus pasang. Kepala Namjoon mulai berputar, mengira-ngira ia harus mengungkapkan kebohongan macam apa pada Hwarin. Meski, yah, ia tidak suka berbohong, akan tetapi hal yang ditanyakan gadis itu lebih baik dijadikan kejutan. “Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Hari Jumat pulang sekolah, oke?”

Keduanya menemui kesepakatan, saling melempar senyum lalu berpisah. Hwarin mungkin akan mempertanyakan ajakan Namjoon sepanjang sisa hari itu seandainya saja Hani tidak tiba-tiba menghentikannya di tengah koridor lalu memberinya tawaran makan siang bersama.


***


Bisa jadi, takdir tidak mengizinkan sekelompok murid SMA pergi hang-out bersama di tengah masa ujian mereka. Rencana awal Jungkook untuk menikmati seloyang pepperoni pizza extra cheese di meja paling sudut Domino’s Pizza kandas sudah ketika menemui gerai tersebut yang ternyata tutup.

Mood-nya hari ini bagaikan perosotan dengan gelombang air berombak di bawahnya, semakin lama semakin turun. Diperparah dengan insiden Guru Park yang memergokinya membawa contekan, dan kini satu-satunya harapan untuk mengembalikan kegembiraan hati Jungkook justru gagal total. Ia bisa saja menyalahkan Jimin, atau Hyeso, atau Hani, atau Hwarin sebab mereka tiba-tiba memutuskan sepihak untuk ikut ketika orang yang Jungkook ajak hanya Seokjin seorang, alhasil dua puluh menit awal terbuang hanya dengan memperdebatkan kendaraan, biaya, dan menu mana yang lebih layak dipilih antara terenak atau termurah.

Beruntung, Seokjin (sebagai kawan kuliner pro yang berguna) memberi jalan tengah bagi mereka, enam pelajar kelaparan dan kelelahan karena ujian. Setidak-tidaknya sepaket Whopper Jr, Coca Cola dan kentang goreng di Burger King cukup memuaskan perut-perut remaja milenium selevel konsumen junk food ini.

“Aku saja yang pesan.”

Park Jimin menghentikan langkahnya lantas menatap tajam ke arah Kim Hani, tak percaya mereka baru saja mengucapkan kalimat yang sama persis secara bersamaan. Hani, di sebelahnya, otomatis ikut berhenti dan balas menatap Jimin. Sementara Seokjin, Hyeso dan Hwarin di belakang mereka spontan tergelak, Jungkook yang baru membuka pintu kaca Burger King hanya bisa memandang gamang kelima kawannya menghalangi jalan masuk.

“Oke, lebih baik kalian pesan berdua saja.” Hwarin mendorong punggung kedua temannya itu. “Pilihkan aku apa saja, yang penting murah.”

“Jim, pesankan yang biasanya, ya.”

“Aku mau extra cheese!”

“Mayonesnya jangan banyak-banyak!”

Tanpa menghiraukan pesan bersahut-sahutan dari yang lain, Hani berjalan mendekati kasir dengan Jimin yang mengikuti lima detik setelahnya. Seorang pelayan wanita menyambut mereka disertai senyuman simpul. Agaknya hari ini restoran relatif sepi pengunjung.

“Selamat siang. Mau pesan apa?”

“Umm ... tiga paket Whopper Jr―”

“―enam. Enam paket Whopper Jr.”

Untuk kedua kalinya Jimin memelototi gadis bermarga Kim tersebut. Dirinya sudah susah-susah menghapal serentetan pesanan beragam milik teman-temannya dan Hani seenaknya memotong ucapannya lalu membanting setir dengan keputusan untuk memesan menu yang sama untuk mereka berenam.

“Kenapa, Jim? Ada masalah?” Bukannya Jimin,  justru Hani yang buka mulut duluan. Agaknya di mata Jimin gaya perempuan itu sudah seperti ingin mengajak tawuran.

Belum sempat Jimin membalas, ‘berkelahi, yuk? Lapangan luas, loh’, sang gadis kembali menginterupsi. “Memesan menu yang berbeda itu tidak efektif. Coba kau lihat mereka,” Hani menunjuk keempat temannya yang kini mencari posisi ternyaman di tempat duduk masing-masing, “wajah-wajah kelaparan. Kalau menunya beda-beda, menunggunya bakal lebih lama.”

Tak bisa dipungkiri, pendapat Hani cukup masuk akal. Jimin sendiri sudah beberapa kali merasakan raungan perutnya, mengintip koki di balik tirai transparan tengah menggoreng chicken nugget saja hampir membuat air liurnya menetes, ia tak bisa menyangkal perkataan Hani.

”Kali ini―kali ini saja, aku setuju denganmu.”

Hani menaikkan sebelah alisnya. Cara bicara Jimin seolah menunjukkan kalau selama ini Hani tak pernah mengatakan hal yang benar. Jujur, dirinya tersinggung. ”Kenapa, sih? Sepertinya dari tadi kau marah-marah terus padaku. Kau masih kesal gara-gara aku mengeluarkan Taehyung dari rencanamu dua minggu lalu?”

Hampir-hampir Jimin menanyakan rencana mana yang tengah diungkit-ungkit gadis itu, ketika sepotong ingatan menemukan kembali tempatnya dalam benak Jimin. “Tidak, bukan karena itu. Tapi ya, aku memang marah karena kau ikut campur seenaknya.”

Tak ingin orang lain mendengar obrolan mereka yang mulai memanas, Hani sekilas melirik wanita pelayan yang―atas nikmat Tuhan―kini tengah sibuk menyiapkan gelas-gelas minuman. “Taehyung yang menyeretku masuk ke dalam rencanamu itu, Jim. Dan dia melakukan kesalahan fatal dengan tidak memberikan detail mengenai apa yang sedang kita berdua lakukan saat itu. Maksudku―untuk apa kita mengamatimu makan siang dari balik pilar?”

Rasanya seperti baru terjadi kemarin. Hani ingat jelas saat ia harus cepat-cepat menghabiskan seporsi tteokbokki-nya hanya untuk mengikuti Taehyung bersembunyi di balik pilar kantin, diam-diam mengawasi Park Jimin makan dengan tenang di mejanya bersama Rahee dan dua orang murid kelas 1-F. Entah apa yang akan dilakukan gadis itu pada kekasihnya sendiri jika pemuda Kim itu menolak untuk mengakui bahwa kegiatan mereka kala itu merupakan bagian dari rencana milik Jimin. Nahas, detik ketika Hani mendengar Taehyung menyebut nama lelaki bersurai hitam itu, sang gadis tanpa tanggung-tanggung segera menarik Kim Taehyung kembali ke kelas.

Taehyung mengira Hani cemburu. Jimin mengira Taehyung mengkhianati persahabatan mereka. Sementara Hani mengira Jimin sudah benar-benar gila.

“Menurutku kau sudah gila,” ujar gadis itu tanpa menunggu respon dari Jimin. “Aku tidak tahu apakah tebakanku benar atau salah, apa kau berusaha mendekatkan Rahee dengan cowok kelas F itu?”

Mendengar asumsi gadis itu, Jimin bisa saja tersedak ludahnya sendiri. “Kau tidak salah. Apa Rahee mengatakan sesuatu padamu?”

Dibalas dengan gelengan, Hani melanjutkan, “Rahee tidak bicara apa-apa. Menurutmu apa yang akan dia katakan padaku? Bahwa Park Jimin terlalu mencampuri kehidupannya?”

“Omong kosong. Aku tidak mencampuri kehidupannya. Lagipula rencanaku berjalan lancar meski tanpa bantuan Taehyung, sekarang mereka berdua bahkan sering pergi belajar di perpustakaan bersama.”

“Tolong jangan libatkan Taehyung di sini.” Hani melipat kedua tangannya di depan dada, sedikit tak menyangka apa yang diungkapkan Jimin barusan memang benar-benar terjadi. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Park Jimin?”

“Sederhana, Kim Hani.” Lelaki itu mengedikkan bahu. “Kita berempat makan siang bersama. Aku, Rahee, Youngae, dan Soonyoung. Youngae bilang kalau Soonyoung butuh bantuan mengerjakan tugas sejarah untuk akhir semester ini, dan aku bilang Rahee cukup menguasai bidang itu. Lalu, voila! Mereka saling membuat janji, semakin sering bertemu, dan semakin dekat. Di sini aku telah melaksanakan peran sebagai teman yang baik.”

Kedua alis Hani hampir bertautan, ia memandang Jimin yang kini mengangguk-angguk bersama senyuman puas.

Tidak, Hani sama sekali tidak merasa puas. “Jimin-ah, aku takut apa yang kau perbuat sebenarnya merupakan kesala―”

“―kalau mau selingkuh tolong jangan lakukan di depanku.”

Demi ujian matematika esok hari yang positif disusul remedial, kehadiran Hwarin yang tiba-tiba mengatakan hal paling konyol sepanjang semester ini membuat baik Jimin maupun Hani sama-sama terlonjak kaget hingga hampir menginjak kaki satu sama lain.

“Aku tidak selingkuh.”

“Aku tidak punya pacar.”

Kali ini pun keduanya saling berucap secara bersamaan. Beruntung apa yang mereka ucapkan berbanding terbalik. Jika tidak, mungkin meja kasir Burger King sudah akan berubah menjadi arena berkelahi.



***
to be continued


(a/n)
heyaa finally we meet again
maaf kalau terlalu pendek atau nggak sesuai ekspektasi. atau mungkin chapter ini cuma berfokus ke satu/dua tokoh saja? emang kubikin begitu, hehe
thanks for reading, see you soon!

Comments