BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 20)
20
Baik pelataran sekolah di luar maupun koridor lantai satu
yang tengah dilewati Rahee sama-sama hampir tak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Bedanya hanya terletak pada suhu di dalam gedung sekolah, yang
seolah-olah terus memantulkan panas dari kedua sisi dinding. Sementara di luar,
Rahee tidak yakin kapan salju akan mulai turun, akan tetapi ia bertaruh bahwa
berdiri di sana sudah bisa membuatmu menggigil dalam dua menit. Dengan langkah
kaki tergesa-gesa, gadis itu berharap tidak ada guru yang memergoki lalu menuduhnya
berlari di koridor. Di saat seperti ini, ia merasa bagai orang tersibuk di dunia―sudah
setara sibuknya dengan anggota parlemen Britania Raya. Padahal nyatanya ia
hanya tengah menjalani minggu-minggu ujian akhir semester.
Napasnya masih terengah kala ia
berhenti kemudian mendorong pintu di sampingnya, agaknya terlalu kencang hingga
seisi ruangan (yang terdiri dari ibu penjaga perpustakaan dan beberapa orang
murid) memberinya lirikan tajam. Sekelompok siswi yang tidak ia kenal tengah
bergerombol, melanjutkan kegiatan bergosip dengan bisikan-bisikan yang
sejatinya masih bisa terdengar jelas sesaat setelah Rahee menutup pintu.
Gadis itu mengusap lengannya,
bertanya-tanya mengapa air conditioner
perpustakaan masih dinyalakan di tengah musim dingin begini, selagi maniknya
menulusuri tiap sudut serta tiap celah di antara rak-rak buku. Saat itulah
Rahee menemukannya, lelaki itu,
bersama sebuah buku di genggaman yang telah menyedot seluruh perhatiannya.
“Soonyoung?”
Sang pemuda mengangkat kepala,
terlihat kaget namun detik berikutnya segera mematri senyum. “Kau terlambat,”
ujarnya.
Rahee mengusap hidung dengan
sela-sela jemarinya, sedikit dirayapi rasa bersalah meski ucapan lelaki
bertitel Soonyoung itu tak mengandung sedikitpun nada marah―atau bahkan menuduh.
“Maaf. Tadi aku terjebak dengan―kau tahu, ceramah Guru Park setelah Jungkook
ketahuan menyontek.”
“Tidak apa-apa.” Soonyoung
mengembalikan buku bersampul tebal itu ke rak, sekilas Rahee membaca judulnya,
‘Hansel and Gretel’. “Bagaimana strategi menyontek temanmu itu? Dia benar-benar
kurang cerdik kalau sampai ketahuan oleh Guru Park yang remote AC saja salah dikira remote
LCD.”
Seolah insiden tiga puluh menit
lalu secara otomatis diputar ulang dalam kepala Rahee, saking bodohnya menjadi
terlalu lucu hingga ia tak bisa tertawa lagi. “Klise. Dia menyalin rumus gerak
parabola di balik kartu ujian. Maksudku―ini sudah abad ke-21 dan Jeon Jungkook
masih terjebak di tahun 1999?”
Soonyoung tertawa, cukup
menyetujui ungkapan Rahee namun tak merespon dengan jawaban apapun selain
kekehan kecilnya. Lelaki itu mulai mengayunkan tungkai, membuat gadis di
belakangnya mengikuti langkahnya kembali menuju meja yang tadinya sempat ia
tinggalkan. Di sana tergeletak tas punggung, setumpuk buku, dan catatan terbuka
lebar yang tak lain merupakan milik pemuda Kwon tersebut.
“Tadi aku mencoba mengerjakan
soal latihan ujian yang diberikan Kim-ssaem
tapi terlalu sulit dan kau terlalu lama. Jadi kutinggalkan, deh,” ujar
Soonyoung sembari mengedikkan bahu, sesaat setelah ia mengambil tempat duduk
berseberangan dengan Rahee.
“Tunggu―kita mau belajar
matematika?”
Mendongak, didapatinya tanda
tanya besar di wajah gadis itu. “Menurutmu? Bukannya besok memang jadwalnya
matematika? Apa jangan-jangan aku salah melihat jadwal?”
Soonyoung lantas dirambati
kepanikan, ia segera meraih tas punggungnya dan mengobrak-abrik isi benda
tersebut demi mencari selembar jadwal ujian. Di seberangnya, Rahee ikut panik
hingga gelagapan meluruskan pertanyaan yang ia lontarkan tadi. “Bukan, bukan!
Kau tidak salah jadwal, kok! Besok memang matematika, dan geografi. Kukira kita
akan belajar geografi.”
Reflek, lelaki itu menghentikan
kegiatannya. Ia bergeming sedetik kemudian menghela napas lega. “Kau membuatku
hampir jantungan.”
“Maaf,” ucap Rahee, lebih mirip
bisikan namun ia yakin Soonyoung masih bisa mendengarnya. “Tapi serius, aku
tidak bisa matematika.”
“Aku juga tidak bisa.”
Keheningan selanjutnya terasa
mencekik di sekitar mereka. Bagai dihadapkan dengan dinding raksasa sebagai
jalan buntu, Rahee mulai mempertanyakan presensinya di perpustakaan siang ini
ketika seharusnya ia bisa pulang lalu mandi, lalu makan siang, lalu pergi ke
rumah Jimin yang hanya tinggal mengambil jalan memutar, lalu meminta kawannya
itu mengajarinya matematika.
“Kalau begitu,” sang gadis
membuka resleting tasnya hendak mengeluarkan alat tulis, “lebih baik kita
belajar geografi saja.”
“Tunggu!”
Seruan tiba-tiba yang meluncur
dari bibir Soonyoung seolah menekan tombol pause
hingga perempuan di hadapannya tak jadi meletakkan kotak pensil di meja.
“Jangan.”
Kerutan halus terbentuk di dahi
gadis itu. Ia tak bisa mencerna ucapan Soonyoung sebab minimnya kalimat
penjelas di dalamnya. Ekspresi yang terpasang di wajahnya jelas menandakan permintaan
klarifikasi dari lelaki itu. Dan untungnya, Soonyoung cukup paham. Meski
dibutuhkan satu tegukan ludah untuk mengatakan apa yang sebenarnya tengah
menari-nari di kepalanya.
“Kita tidak perlu belajar
dulu,” ujarnya, direspon oleh menajamnya ekspresi Rahee yang seolah berkata
‘apa kau bercanda?’ namun segera dilanjutkan oleh Soonyoung. “Ini masih pukul
dua belas, lebih dua puluh menit. Kita bisa melakukan hal lain, seperti ...
mengobrol? Entahlah. Apapun.”
Masih ada sisa-sisa tanda tanya
pada wajah Rahee, akan tetapi ia masih bisa menebak-nebak alasan di balik
ajakan Soonyoung yang tiba-tiba sekaligus di luar dugaan. Dirinya memang jenuh
belajar. Barangkali lelaki itu merasakan hal yang sama.
“Boleh aku tanya, kenapa kau
tadi membaca Hansel and Gretel?”
Segaris cengiran terpatri di
bibir sang pemuda. “Aku suka cerita klasik.”
Barangkali Soonyoung memang
jenuh belajar. Dan barangkali, dirinyalah jawaban dari presensi Rahee di sini.
***
“Mau ikut ke Domino’s Pizza?”
Tatapan yang diberi Choonhee
sebagai jawaban agaknya tak kalah tajam dengan pisau daging milik ibu kantin,
setidaknya demikian menurut Jeon Jungkook. Gadis itu hanya bergeming selama
sekian detik sebelum akhirnya berkata, “kau ingat resolusiku semester ini kan,
Kook?”
Yang ditanya menggaruk kepala
yang sejatinya tidak terasa gatal. “Ya. Ingat. Masuk peringkat tiga besar,
dapat nilai yang lebih bagus dari Kim Namjoon.”
Choonhee tersenyum puas. “Nah!
Seratus buat Jungkook. Kau juga sama, harus belajar, jangan menyontek lagi.”
Meski sedikit, klausa terakhir
yang meluncur bebas dari bibir gadis itu terasa nyelekit di hati Jungkook. Faktanya, hal itu tak bisa disanggah,
Jeon Jungkook memang menyontek di ujian fisika hari ini. Akan tetapi lelaki itu
bersumpah ia hanya menyalin satu rumus yang baginya terlalu sulit untuk
dihapalkan. Lagipula, orang macam apa yang ingin menghitung gerak lemparan
bola, tembakan meriam, atau orang yang melompat maju di dunia nyata? Kalau mau
lempar, ya lempar saja. Kalau mau lompat, ya lompat saja. Untuk apa susah-susah
dihitung? Jungkook bukan penerus Sir Isaac Newton, ia tak butuh materi semacam
itu.
“Halo? Jungkook? Kenapa malah
melamun?”
Sang pemuda berkedip, balas
menatap gadisnya yang baru saja melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
Ah, seandainya lamunan dalam benaknya itu ia ungkapkan pada Choonhee, mungkin
ia malah akan dihadiahi omelan panjang.
“Ya sudahlah, aku akan pergi
bersama yang lain. Maaf karena tidak bisa mengantarmu pulang.”
Setelah mendengar gadis itu
menggumamkan ‘tidak apa-apa’, Jungkook melambai seraya mengamati Choonhee
berbalik lalu melangkahkan kakinya menjauh. Baru tiga meter jauhnya jarak yang
dibuat sang gadis, dengan senyuman lebar Jungkook mendadak berseru keras, “aku
akan belajar!”
Mau tak mau, Choonhee ikut
tersenyum.
***
Di sela-sela lembaran demi lembaran kertas A4, terselip
rasa kelu di lidah dan rasa kaku di rahang milik Kim Namjoon. Sedari tadi
bagian tubuhnya yang konstan bergerak hanyalah sepasang tangan yang sibuk
menata lembar daftar hadir ujian. Sebaliknya, mulut yang bisa ia gunakan untuk
bicara pada siapa saja dan kapan saja justru tak berguna, rasa-rasanya ia sudah
seperti orang bisu non-permanen. Bukannya tidak mau, Namjoon hanya tidak bisa.
Benaknya kini menggila, mengutuk kontradiksi antara saraf motorik dan sensorik
miliknya tanpa bisa melakukan perlawanan.
Sementara itu, tak jauh di
sampingnya, Lee Hwarin terfokus pada pekerjaan mengorganisir daftar hadir kelas
1-C―yang sebenarnya bukan kewajibannya, tapi Namjoon. Hanya saja sebagai teman
sekaligus wakil ketua kelas yang baik, ia membantu lelaki itu mengerjakan tugas
piket yang menunggak berhubung tiga hari ini teman-teman mereka bolos piket
dengan alasan harus belajar ekstra untuk ujian. Lima meter ke utara, Kim
Taehyung tengah mengelap jendela dan Min Yoongi duduk di kursinya―yang notabene
berada tepat di samping jendela―tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Suasana kelas relatif sepi.
Orang terakhir yang keluar adalah Hoseok sebab kakak perempuan yang
menjemputnya setelah satu semester kuliah di perantauan akhirnya tiba dan tak
henti-henti menghujani ponsel Hoseok dengan dering misscall, dan Hyora yang sejatinya merasa sungkan namun berakhir
tetap mengiyakan ajakan Hoseok untuk pulang bersama dengan alasan kakaknya juga
merindukan gadis itu setelah lebih dari dua tahun tidak bertemu. Penghuni kelas
1-C agaknya begitu terburu-buru untuk pulang (didukung fakta bahwa jam pulang
mereka memang tertunda oleh ceramah panjang Guru Park). Yang tertangkap nyaring
di rungu Namjoon kini hanyalah bunyi kertas, gesekan lap jendela yang
samar-samar terdengar mirip cara tertawa Kim Seokjin, serta ketukan keyboard handphone milik Yoongi. Meski
dari arah koridor, masih terdengar obrolan beberapa orang murid.
“Yah. Kau tidak pulang?”
Satu bunyi berhenti, tak lain
merupakan keyboard Min Yoongi yang di-setting dengan suara ketukan kayu
mahoni.Lelaki itu berhenti mengetik lalu mendongak ke arah Taehyung yang
berdiri tepat di belakangnya. “Kau bicara padaku?”
Taehyung mendecak, mengeraskan
gosokan lapnya hingga Namjoon takut jendela kelas mereka bisa pecah. “Siapa
lagi? Di antara kita berempat yang tidak sedang mengerjakan piket cuma kau.”
“Tentu saja aku akan pulang,”
jawab Yoongi sekenanya, kemudian melanjutkan kembali kegiatan mengetik yang
sempat terinterupsi.
Sudahlah, Taehyung menyerah.
Jawaban kawannya yang satu itu sama sekali tidak membantu dan dirinya pun sudah
muak berurusan dengan jendela. Berbalik, kaki Taehyung berpijak sebelum
kemudian tangannya meraih satu paket ember dan alat pel di sudut kelas lalu
segera melesat keluar ruangan.
Namjoon―yang sedari tadi
memerhatikan dalam diam―merasa suasana di sekitarnya semakin mencekam. Bahkan
dari kejauhan ia bisa mendengar perdebatan Hani dan Hyeso mengenai masalah
finansial mereka. Apa ujian membuat emosi semua orang tidak stabil?
“Namjoon-ah.”
Sang pemuda tersentak, ketahuan
sedang melamun akhirnya membuat gadis yang memanggilnya tak bisa menahan gelak
tawa. “Wajahmu blank banget, Joon!
Sedang kepikiran apa, sih?”
Tak tahu hendak merespon apa,
Namjoon hanya ikut nyengir menunjukkan lesung pipinya. Hwarin masih belum bisa
menghentikan tawanya ketika berkata, “bagianmu sudah, belum? Biar aku saja yang
kumpulkan ke kantor, sekalian pulang. Kau bisa bantu Taehyung lanjut
membersihkan jendela yang baru setengah jalan itu.”
Tanpa ba-bi-bu lelaki itu
menyerahkan lembaran kertas di tangannya pada Hwarin, yang segera beranjak dari
kursinya. Sejatinya, dalam lubuk hati Namjoon yang terdalam, ia tak ingin
mengucek jendela kelas. Ia tak ingin ditinggalkan bertiga bersama dua orang
yang bisa mulai adu cekcok kapan saja.
Ia lebih memilih untuk ikut
bersama Hwarin, berjalan beriringan dengan gadis itu melewati koridor dan
menuruni tangga, walau tanpa saling bicara pun tak apa.
Akan tetapi Hwarin mengerjakan
segalanya begitu cepat, membuat Namjoon bertanya-tanya apakah gadis itu juga
terburu-buru? Dan, akankah ia selalu terburu-buru pula?
Ah, jika Lee Hwarin selalu
sibuk dan berusaha pergi dari sekolah secepat kilat, bagaimana Namjoon bisa
mendapat kesempatan miliknya? Waktu telah mencurinya tanpa kenal ampun.
Maka dengan tekad dibulatkan,
mengabaikan kelu di lidah dan kaku di rahang, sang pemuda memanggil nama Hwarin
keras-keras kala gadis itu menyampirkan tas di punggung dan sudah hendak
melangkah keluar. Tak hanya Hwarin, sampai-sampai Yoongi juga ikut menoleh.
“Apa, Joon?”
“Minggu depan ... kau punya
waktu?”
Sebelah alis Hwarin terangkat
heran. “Umm, kurasa iya. Memangnya kau pernah melihatku terlalu sibuk sampai
tidak punya waktu luang?”
“Tidak,” ujar lelaki itu
disertai kekehan pelan. “Bagaimana kalau hari Jumat? Aku ingin―uh, menunjukkan
sesuatu padamu.” Namjoon dapat mendengar suaranya bergetar. Oh, sejak kapan
bicara dengan Hwarin jadi semenegangkan ini?
“Tentu. Sesuatu apa?”
Mencerna kalimat gadis itu kini
sama sulitnya dengan menyusun puzzle
seratus pasang. Kepala Namjoon mulai berputar, mengira-ngira ia harus
mengungkapkan kebohongan macam apa pada Hwarin. Meski, yah, ia tidak suka
berbohong, akan tetapi hal yang ditanyakan gadis itu lebih baik dijadikan
kejutan. “Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Hari Jumat pulang sekolah,
oke?”
Keduanya menemui kesepakatan,
saling melempar senyum lalu berpisah. Hwarin mungkin akan mempertanyakan ajakan
Namjoon sepanjang sisa hari itu seandainya saja Hani tidak tiba-tiba
menghentikannya di tengah koridor lalu memberinya tawaran makan siang bersama.
***
Bisa jadi, takdir tidak mengizinkan sekelompok murid SMA
pergi hang-out bersama di tengah masa
ujian mereka. Rencana awal Jungkook untuk menikmati seloyang pepperoni pizza extra cheese di meja
paling sudut Domino’s Pizza kandas sudah ketika menemui gerai tersebut yang
ternyata tutup.
Mood-nya hari ini bagaikan perosotan dengan gelombang air
berombak di bawahnya, semakin lama semakin turun. Diperparah dengan insiden Guru
Park yang memergokinya membawa contekan, dan kini satu-satunya harapan untuk
mengembalikan kegembiraan hati Jungkook justru gagal total. Ia bisa saja
menyalahkan Jimin, atau Hyeso, atau Hani, atau Hwarin sebab mereka tiba-tiba
memutuskan sepihak untuk ikut ketika orang yang Jungkook ajak hanya Seokjin
seorang, alhasil dua puluh menit awal terbuang hanya dengan memperdebatkan
kendaraan, biaya, dan menu mana yang lebih layak dipilih antara terenak atau
termurah.
Beruntung, Seokjin (sebagai
kawan kuliner pro yang berguna)
memberi jalan tengah bagi mereka, enam pelajar kelaparan dan kelelahan karena
ujian. Setidak-tidaknya sepaket Whopper Jr, Coca Cola dan kentang goreng di
Burger King cukup memuaskan perut-perut remaja milenium selevel konsumen junk food ini.
“Aku saja yang pesan.”
Park Jimin menghentikan
langkahnya lantas menatap tajam ke arah Kim Hani, tak percaya mereka baru saja
mengucapkan kalimat yang sama persis secara bersamaan. Hani, di sebelahnya,
otomatis ikut berhenti dan balas menatap Jimin. Sementara Seokjin, Hyeso dan
Hwarin di belakang mereka spontan tergelak, Jungkook yang baru membuka pintu
kaca Burger King hanya bisa memandang gamang kelima kawannya menghalangi jalan
masuk.
“Oke, lebih baik kalian pesan
berdua saja.” Hwarin mendorong punggung kedua temannya itu. “Pilihkan aku apa
saja, yang penting murah.”
“Jim, pesankan yang biasanya,
ya.”
“Aku mau extra cheese!”
“Mayonesnya jangan
banyak-banyak!”
Tanpa menghiraukan pesan
bersahut-sahutan dari yang lain, Hani berjalan mendekati kasir dengan Jimin
yang mengikuti lima detik setelahnya. Seorang pelayan wanita menyambut mereka
disertai senyuman simpul. Agaknya hari ini restoran relatif sepi pengunjung.
“Selamat siang. Mau pesan apa?”
“Umm ... tiga paket Whopper
Jr―”
“―enam. Enam paket Whopper Jr.”
Untuk kedua kalinya Jimin memelototi
gadis bermarga Kim tersebut. Dirinya sudah susah-susah menghapal serentetan
pesanan beragam milik teman-temannya dan Hani seenaknya memotong ucapannya lalu
membanting setir dengan keputusan untuk memesan menu yang sama untuk mereka
berenam.
“Kenapa, Jim? Ada masalah?”
Bukannya Jimin, justru Hani yang buka
mulut duluan. Agaknya di mata Jimin gaya perempuan itu sudah seperti ingin
mengajak tawuran.
Belum sempat Jimin membalas,
‘berkelahi, yuk? Lapangan luas, loh’, sang gadis kembali menginterupsi. “Memesan
menu yang berbeda itu tidak efektif. Coba kau lihat mereka,” Hani menunjuk
keempat temannya yang kini mencari posisi ternyaman di tempat duduk
masing-masing, “wajah-wajah kelaparan. Kalau menunya beda-beda, menunggunya
bakal lebih lama.”
Tak bisa dipungkiri, pendapat
Hani cukup masuk akal. Jimin sendiri sudah beberapa kali merasakan raungan
perutnya, mengintip koki di balik tirai transparan tengah menggoreng chicken nugget saja hampir membuat air
liurnya menetes, ia tak bisa menyangkal perkataan Hani.
”Kali ini―kali ini saja, aku
setuju denganmu.”
Hani menaikkan sebelah alisnya.
Cara bicara Jimin seolah menunjukkan kalau selama ini Hani tak pernah
mengatakan hal yang benar. Jujur, dirinya tersinggung. ”Kenapa, sih? Sepertinya
dari tadi kau marah-marah terus padaku. Kau masih kesal gara-gara aku
mengeluarkan Taehyung dari rencanamu dua minggu lalu?”
Hampir-hampir Jimin menanyakan
rencana mana yang tengah diungkit-ungkit gadis itu, ketika sepotong ingatan
menemukan kembali tempatnya dalam benak Jimin. “Tidak, bukan karena itu. Tapi
ya, aku memang marah karena kau ikut campur seenaknya.”
Tak ingin orang lain mendengar obrolan
mereka yang mulai memanas, Hani sekilas melirik wanita pelayan yang―atas nikmat
Tuhan―kini tengah sibuk menyiapkan gelas-gelas minuman. “Taehyung yang
menyeretku masuk ke dalam rencanamu itu, Jim. Dan dia melakukan kesalahan fatal
dengan tidak memberikan detail mengenai apa yang sedang kita berdua lakukan
saat itu. Maksudku―untuk apa kita mengamatimu makan siang dari balik pilar?”
Rasanya seperti baru terjadi
kemarin. Hani ingat jelas saat ia harus cepat-cepat menghabiskan seporsi tteokbokki-nya hanya untuk mengikuti
Taehyung bersembunyi di balik pilar kantin, diam-diam mengawasi Park Jimin
makan dengan tenang di mejanya bersama Rahee dan dua orang murid kelas 1-F.
Entah apa yang akan dilakukan gadis itu pada kekasihnya sendiri jika pemuda Kim
itu menolak untuk mengakui bahwa kegiatan mereka kala itu merupakan bagian dari
rencana milik Jimin. Nahas, detik ketika Hani mendengar Taehyung menyebut nama
lelaki bersurai hitam itu, sang gadis tanpa tanggung-tanggung segera menarik
Kim Taehyung kembali ke kelas.
Taehyung mengira Hani cemburu.
Jimin mengira Taehyung mengkhianati persahabatan mereka. Sementara Hani mengira
Jimin sudah benar-benar gila.
“Menurutku kau sudah gila,”
ujar gadis itu tanpa menunggu respon dari Jimin. “Aku tidak tahu apakah
tebakanku benar atau salah, apa kau berusaha mendekatkan Rahee dengan cowok
kelas F itu?”
Mendengar asumsi gadis itu, Jimin
bisa saja tersedak ludahnya sendiri. “Kau tidak salah. Apa Rahee mengatakan
sesuatu padamu?”
Dibalas dengan gelengan, Hani
melanjutkan, “Rahee tidak bicara apa-apa. Menurutmu apa yang akan dia katakan
padaku? Bahwa Park Jimin terlalu mencampuri kehidupannya?”
“Omong kosong. Aku tidak
mencampuri kehidupannya. Lagipula rencanaku berjalan lancar meski tanpa bantuan
Taehyung, sekarang mereka berdua bahkan sering pergi belajar di perpustakaan
bersama.”
“Tolong jangan libatkan
Taehyung di sini.” Hani melipat kedua tangannya di depan dada, sedikit tak
menyangka apa yang diungkapkan Jimin barusan memang benar-benar terjadi. “Apa
yang sebenarnya kau rencanakan, Park Jimin?”
“Sederhana, Kim Hani.” Lelaki
itu mengedikkan bahu. “Kita berempat makan siang bersama. Aku, Rahee, Youngae,
dan Soonyoung. Youngae bilang kalau Soonyoung butuh bantuan mengerjakan tugas
sejarah untuk akhir semester ini, dan aku bilang Rahee cukup menguasai bidang
itu. Lalu, voila! Mereka saling
membuat janji, semakin sering bertemu, dan semakin dekat. Di sini aku telah
melaksanakan peran sebagai teman yang baik.”
Kedua alis Hani hampir
bertautan, ia memandang Jimin yang kini mengangguk-angguk bersama senyuman
puas.
Tidak, Hani sama sekali tidak
merasa puas. “Jimin-ah, aku takut apa
yang kau perbuat sebenarnya merupakan kesala―”
“―kalau mau selingkuh tolong
jangan lakukan di depanku.”
Demi ujian matematika esok hari
yang positif disusul remedial, kehadiran Hwarin yang tiba-tiba mengatakan hal
paling konyol sepanjang semester ini membuat baik Jimin maupun Hani sama-sama
terlonjak kaget hingga hampir menginjak kaki satu sama lain.
“Aku tidak selingkuh.”
“Aku tidak punya pacar.”
Kali ini pun keduanya saling
berucap secara bersamaan. Beruntung apa yang mereka ucapkan berbanding
terbalik. Jika tidak, mungkin meja kasir Burger King sudah akan berubah menjadi
arena berkelahi.
***
to be continued
to be continued
(a/n)
heyaa finally we meet again
maaf kalau terlalu pendek atau nggak sesuai ekspektasi. atau mungkin chapter ini cuma berfokus ke satu/dua tokoh saja? emang kubikin begitu, hehe
thanks for reading, see you soon!
heyaa finally we meet again
maaf kalau terlalu pendek atau nggak sesuai ekspektasi. atau mungkin chapter ini cuma berfokus ke satu/dua tokoh saja? emang kubikin begitu, hehe
thanks for reading, see you soon!
Comments
Post a Comment