BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 21)
21
Dari tempat duduknya, Yoongi memerhatikan Namjoon (yang
notabene duduk di belakangnya) mengemasi barang-barangnya yang berserakan di
atas meja dengan tangan gemetar. Kalau boleh jujur Yoongi ingin menertawakan tingkah
temannya itu selagi ia menyampirkan tas ke punggung lalu mulai berjalan
melewati Yoongi, tak lain menuju bangku terdepan yang diduduki Lee Hwarin.
Langkah demi langkahnya terlihat berat, seolah lelaki itu mengikatkan barbel
tak kasat mata di kedua kakinya.
Sungguh, gelagat Kim Namjoon
benar-benar konyol.
Sepanjang empat tahun yang dilalui
Yoongi bersama lelaki itu mungkin mereka berdua sama-sama tak menyangka Namjoon
bisa sebegini berubah hanya karena seorang wanita. Mengingat bagaimana sesosok
Kim Namjoon terkenal sebagai lelaki intelektual yang selalu menyabet juara
paralel, jago Bahasa Inggris, punya segudang prestasi, dan aktif di organisasi
sekolah. Nyatanya kawan Yoongi yang satu ini lebih cepat menemukan gadis
impiannya daripada yang Yoongi kira. Dan ia berani melakukan hal-hal tak
terduga demi gadis itu.
Yoongi masih ingat perkataan
Namjoon padanya sekitar satu bulan yang lalu, bahwa ia takut Yoongi (dan
kawan-kawan mereka yang lain) telah jauh meninggalkannya dalam urusan asmara. Yoongi
sampai harus menyemangati lelaki itu dengan berkata bahwa mereka berjalan
bersama-sama.
Namun sekarang agaknya Namjoon
yang mendahuluinya.
Ketika dua orang yang menjadi
pusat perhatian Yoongi kala itu mulai berjalan menuju pintu keluar, ia
mendapati kawannya menoleh ke arahnya yang ia balas dengan acungan kedua jempol
tangan seraya berkata tanpa suara, “fighting!”
***
“Jangan lupa bawa mantel,” adalah isi pesan masuk dari Namjoon
tadi pagi. Meski tanpa diingatkan pun Hwarin tetap akan membawa mantel sebab
ibunya sudah berteriak-teriak dari ruang makan soal kemungkinan turun salju
yang tayang di ramalan cuaca hari ini. Hwarin sendiri tak yakin apakah lelaki
itu hanya berusaha bersikap baik atau memang ada hubungannya dengan rencana
mereka sepulang sekolah siang ini.
Dan ia tak berani bertanya.
Sepanjang jalan menuju tempat yang Hwarin tak tahu menahu itu pun Namjoon tak
berkata satu patah kata pun. Mereka telah keluar dari pelataran sekolah, menuju
halte, menaiki bus ke arah utara, dan perjalanan dalam bus yang
bergoyang-goyang tanpa percakapan apapun cukup membuat gadis itu muak.
Segera, tanpa peringatan apapun
ia membuka lebar-lebar jendela tepat di samping tempat duduknya. Tak perlu
waktu lebih dari lima detik untuk merasakan angin musim dingin berlomba-lomba
masuk melalui jendela tersebut, bisa-bisa membuat seisi bus menggigil jika
dibiarkan.
“Kenapa kau buka jendelanya?”
“Ha! Ternyata kau bisa bicara,
huh?”
Kedua manik Namjoon membulat,
awalnya tak memahami jawaban gadis di sebelahnya yang sama sekali tidak
berhubungan dengan pertanyaannya namun beberapa detik kemudian ia mulai paham. “Maaf.
Aku tidak bisu, kok,” ujarnya kemudian menutup kembali jendela yang terbuka.
“Terus kenapa dari tadi cuma
melamun?”
Namjoon nyengir sambil
menggaruk pipinya dengan jari telunjuk. “Entahlah ... aku tidak tahu harus
bicara apa. Lagipula kau juga diam saja.”
Menatap lelaki itu jengkel,
Hwarin hendak memarahinya sebab bersikap terlalu canggung akan tetapi bus yang
tiba-tiba berhenti terpaksa mengurung kembali niatnya. Namjoon segera menengok
ke luar jendela kemudian beranjak dari kursi penumpang. “Ayo turun. Kita sudah
sampai.”
Gadis itu mengikuti langkah
Namjoon dalam diam, tak ingin membuang energi untuk bicara melainkan lebih
fokus memerhatikan sekeliling. Matahari bersinar terang ketika mereka turun
dari bus, meski diliputi awan mendung dan hawa menusuk. Barangkali sebab itulah
keadaan sekitar mereka relatif sepi padahal Hwarin tahu betul tempat yang
mereka pijak sekarang biasanya selalu ramai.
“Serius, Namjoon, kau
mengajakku ke Ttukseom?”
Sang pemuda mengangguk mantap.
Hwarin tak menemukan letak keseruan berjalan-jalan di Taman Ttukseom dengan udara
sedingin ini. Bahkan hal yang paling ia ingat soal Ttukseom hanyalah kolam
renang outdoor-nya, orang gila macam
apa yang ingin berenang menjelang pertengahan musim dingin? Pun masih terlalu
awal untuk bermain ski atau ice skating,
berhubung salju belum turun sama sekali. Jadi apa sebenarnya niatan Namjoon
menyeretnya ke sini?
“Sebenarnya lebih bagus jika
kita ke sini saat matahari terbenam atau saat malam dengan lampu warna-warni
dan screenwater.” Namjoon masih terus
melangkah santai menelusuri taman yang mulai terlihat keramaiannya, meski masih
tak seramai biasanya.
“Kau sering ke sini?” tanya
Hwarin, dibalas oleh anggukan. “Wow. Aku tidak menyangka kau tipe orang yang
suka ... jalan-jalan.”
Lelaki itu tertawa. “Semua
manusia butuh jalan-jalan, menghirup udara segar sekalian menjernihkan pikiran.
Aku biasanya ke sini untuk menulis lagu. Apa kau lapar?”
“Tidak,” jawab perempuan itu
diikuti gelengan. “Tapi jika kau lapar kita bisa membeli sesuatu dulu.”
“Kebetulan sekali, aku juga
tidak lapar.”
Masih dengan langkah teratur,
mereka berdua mulai mendekat ke ujung taman, tepat di tepian Sungai Han di mana
pagar besi berbaris memanjang. Namjoon berhenti di sana, memandang refleksi
dirinya di permukaan air sungai dengan kedua tangan dimasukkan saku mantel.
Hwarin menyandarkan sebelah tangannya di pagar lalu sesekali ikut memandang
refleksi lelaki yang lebih tinggi darinya itu.
“Kau tahu, banyak sekali
kebetulan yang terjadi di dunia ini.”
Sang gadis menaikkan sebelah
alis tatkala mendengar ucapan tiba-tiba dari mulut Namjoon. “Jadi kita di sini
untuk berfilosofi bersama, ya?”
Untuk ke sekian kalinya pemuda
tersebut tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi rapinya. Sekilas tersirat
rona malu di kedua pipinya. “Tidak, tentu saja tidak. Bukankah ini tempat yang
cocok untuk mendinginkan kepala setelah dua minggu penuh ujian? Lagipula, aku
bilang padamu ingin menunjukkan sesuatu, ingat?”
“Nah! Apa gerangan sesuatu itu,
Tuan Kim Namjoon?”
Panggilan itu dirasa
berlebihan, Namjoon mungkin akan mengomel seandainya Hwarin tidak tertawa
melihat ekspresi aneh lelaki itu. Setelah menghela napas, ia berkata, “sebelum
aku memberitahumu, kita harus melewati pembicaraan panjang terlebih dulu. Ya―benar,
berfilosofi.”
“Kau bilang kita di sini untuk
mendinginkan kepala.” Gadis itu mengerutkan kening tanda tak setuju.
“Ya, memang. Tidakkah kau tahu
membicarakan kehidupan juga bisa menghilangkan stress?”
“Okelah,” ujar Hwarin akhirnya
seraya membuang napas, “asal jangan bicara soal ujian atau menggosip soal guru.”
Sebelum memulai kuliah
panjangnya, lelaki itu menyempatkan menengok bayangannya dan bayangan milik
gadis di sampingnya sebelum kemudian betul-betul memandang gadis itu. “Biasanya,
aku ke sini untuk merenung.”
“Hm ... kurasa tempat ini
memang cocok untukmu merenung. Tapi bukankah biasanya Ttukseom itu ramai
sekali?”
“Di situlah letak menariknya.”
Namjoon kembali tersenyum. “Saat aku berdiri di sini sendirian, orang lain
kebanyakan datang berkelompok dan saling melakukan hal-hal menyenangkan
bersama. Melihat orang-orang itu tertawa tanpa sadar membuatku ikut senang.
Mereka yang seolah tiba tanpa beban sementara aku di sini terkadang membenci
diriku sendiri.”
Pemuda tersebut kembali menatap
riak air sungai, pandangannya menerawang. “Pernahkah kau merasakannya juga,
Hwarin? Pernahkah kau begitu membenci dirimu sendiri karena ... entahlah,
apapun kesalahan yang telah kau perbuat baik itu disengaja maupun tidak?”
Ekspresi Hwarin mengeras,
merasakan suasana di sekitarnya berubah serius sementara ia nampaknya sulit
untuk menjawab. Selama beberapa detik ia terdiam begitupun Namjoon yang
atensinya tetap terfokus pada satu titik agaknya masih menunggu jawaban Hwarin.
“Tentu saja,” jawab gadis itu akhirnya, “kita semua pernah melakukan kesalahan.”
“Lalu, apa yang kau lakukan
saat kau merasa demikian?”
Hwarin mengedikkan bahu. “Kurang
lebih sama sepertimu, merenung. Tapi aku lebih sering menceritakannya pada
temanku sampai aku mendapat solusi yang tepat. Lagipula, kesalahan ada untuk
diperbaiki sebagai pengalaman.”
Mengambil napas panjang,
Namjoon kemudian mengangguk-angguk setuju. “Bukan keputusan yang buruk. Lalu
soal kebetulan yang tadi kusebutkan, Hwarin, apa kau merasa―seandainya kita
berpapasan di sini tanpa sengaja, apakah itu merupakan kebetulan atau memang
sebuah takdir?”
Sebelum gadis itu sempat
menjawab, Namjoon kembali melanjutkan, “Atau jangan-jangan kita juga pernah berpapasan
di kehidupan yang sebelumnya? Mungkin kita sudah beberapa kali melewati jalan
yang sama?”
“Kurasa aku cukup percaya pada
takdir, Namjoon.” Hwarin berujar selagi keningnya masih berkerut cukup dalam.
“Kenapa?”
“Karena takdirlah yang membawa
kita ke sini, di sini, saat ini.” Tak ada sedikitpun keraguan yang terdengar
dari ucapan gadis itu. “Bayangkan saja, takdir itu seperti vektor. Dia punya
nilai dan arah. Tapi kita tidak akan tahu seberapa berharga nilai itu dan
seberapa jauh arah itu jika kita tidak menghitungnya, yaitu dengan menjalani
takdir itu sendiri.”
Ketika Namjoon akhirnya menoleh
kembali ke arah Hwarin, gadis itu bersumpah ia tak pernah melihat senyuman yang
lebih hangat dari milik Kim Namjoon―barangkali bisa mengusir seluruh hawa
dingin yang mengelilingi mereka berdua saat ini. Kerlingan di mata lelaki itu
pun tak lain mengungkapkan kekaguman.
“Wah! Terima kasih! Kau
benar-benar membantuku. Seluruh pembicaraan kita ini―sebenarnya sesuatu yang
ingin kutunjukkan padamu adalah lagu yang selama ini kubuat saat berada di
sini, Hwarin, dan kau sudah membantuku membuat liriknya dengan pembicaraan kita
barusan!”
Hampir-hampir gadis itu dibuat
melotot, ia sendiri tak menyangka sudah mengatakan tiga kalimat ajaib tadi yang
meluncur bebas dari mulutnya hingga mencapai telinga Namjoon, yang
menganggapnya sebagai bahan lirik yang begitu bagus. Satu-satunya hal yang
terlintas dalam benak Hwarin kala itu barangkali hanya keinginannya untuk
mendengar lagu yang telah dibuat pemuda tersebut.
Akan tetapi, sang pemuda
memutuskan untuk menutup obrolan siang mereka dengan kalimat yang dapat
mengosongkan isi pikiran Lee Hwarin, bersamaan dengan jatuhnya salju pertama musim
dingin kali ini.
“Takdir. Aku masih ragu soal
itu karena pemikiran kita sepertinya benar-benar berbeda, ya? Tapi aku yakin
soal satu hal,” ia berhenti ketika merasakan setetes salju mengenai punggung
tangannya yang tidak dibalut sarung tangan, senyumnya mengembang setelah
mendapati Hwarin masih memandangnya dalam diam yang terlihat dari refleksi
gadis itu di permukaan air, “kurasa sungai bisa membaca takdirku. Karena sekarang
aku melihat masa depanku di sana.”
***
Sepanjang dua minggu terberat Min Yoongi, dirinya tak bisa
mengingat apapun selain belajar, soal-soal ujian yang seolah tiada habisnya,
konsultasi Namjoon yang selalu sukses membuatnya tertawa tergelak-gelak, dan
malam satu minggu yang lalu ketika ia berbalas pesan serta bicara melalui
telepon hingga lewat tingah malam bersama Song Rahee.
Bukan sesuatu yang patut dicemaskan―atau
bahkan dicurigai, mereka hanya membicarakan materi matematika untuk ujian
keesokan harinya di mana gadis itu memang mengalami kesulitan dan Yoongi siap
untuk membantu. Pagi berikutnya ketika jam istirahat sebelum ujian geografi
dimulai, Rahee menghampiri lelaki itu disertai ucapan terima kasih dan janji
mentraktir berkat bantuan Yoongi setidaknya soal-soal trigonometri menjadi tidak
sesulit yang ia kira.
Yoongi rasa itulah kali terakhir
ia bicara dengan Rahee, hingga siang ini yang mana ujian telah berakhir akan
tetapi gadis itu menghilang seperti biasa tepat sehabis bel pulang berbunyi selagi
Yoongi dibuat terlalu fokus pada Namjoon.
Mengingat suara Rahee di
telepon yang sinyalnya sedikit tersendat-sendat malam itu kembali membangkitkan
memori Yoongi soal awal pertemanan mereka. Tentang bagaimana mereka berdua
selalu berpapasan ketika sang gadis terlihat sedang butuh bantuan, dan akhirnya
si pemuda Min memberanikan diri untuk memberi uluran tangan. Kalau boleh jujur,
di mata Yoongi perempuan itu memang terkesan begitu lemah, terlihat dari bagaimana
ia tidak suka olahraga, bahkan membuka tutup botol saja masih perlu bantuan
temannya.
Dan kini, sudah hampir setahun sejak
kali pertama uluran tangan Min Yoongi membawanya lebih jauh menyelami diri Song
Rahee. Dirinya tak yakin akankah gadis itu masih memerlukan uluran tangannya,
atau justru sudah menerima terlalu banyak uluran tangan. Yang ia yakin,
sekaranglah saat paling tepat untuk menagih janji traktir gadis itu tempo hari.
Setelah puas dengan urusan
menulis lirik lagu yang ia mulai sejak Namjoon pergi, Yoongi mendapati matahari
sudah sepenuhnya tertutup awan selagi butiran-butiran salju turun menumpuk di
bingkai jendela kelas. Pemuda tersebut lantas segera mengemasi barang-barangnya
lalu berjalan keluar. Di koridor yang sudah sepi, ia mengeluarkan ponsel dari
saku kemudian serampangan membuka aplikasi pengirim pesan, hendak mengingatkan
Rahee soal janjinya.
Namun apa yang dibicarakan
teman-temannya di group-chat kelas
1-C menarik perhatian lelaki itu meski ia sudah mematikan fitur pemberitahuannya.
Pesan demi pesan masuk secara bergilir sedari dua jam lalu tak lain mengenai
orang yang tadinya hendak Yoongi hubungi saat itu juga.
Nampaknya uluran tangannya kini
dilepas sepihak, dan ia harus mengambil jalan memutar.
***
Rahee tak pernah bisa memahami perasaannya sendiri.
Dahulu, ia mengira hubungan
antar manusia itu sesederhana gadis tetangga yang tiap sore bersepeda
bersamanya atau teman-teman di kelas yang mengajaknya bermain lompat tali.
Meski Rahee seringkali gagal mengendalikan keseimbangan di atas sepeda hingga
langganan mencium aspal, atau faktanya gadis itu bahkan tidak bisa lompat tali,
ia masih akan memiliki hubungan dengan tetangga maupun teman-temannya di
sekolah.
Dahulu, Song Rahee merasa
hidupnya cukup menarik meski ia hanya punya beberapa teman dan dirinya
cenderung pemalu―bahkan cinta pertamanya adalah seorang bocah laki-laki yang
bersedia bermain teka-teki silang bersama Rahee sepanjang mereka duduk
bersebelahan di kelas tiga sekolah dasar.
Apakah masa-masa sebagai anak
kecil itu selalu indah?
Agaknya, Rahee rasa demikian.
Karena segala hal yang tadinya ia anggap menarik menjadi terlampau biasa-biasa
saja ketika ia mulai masuk sekolah menengah pertama. Pembukaan tahun pertamanya
persis seperti roller coaster, begitu
banyak hal terjadi selama dua belas bulan yang tidak akan sempat terpikirkan di
kepala Song Rahee yang kesehariannya sebelumnya hanyalah sebatas mengantisipasi
ayahnya pulang di akhir pekan membawa setumpuk majalah bekas (untuk asupan
bacaan dan teka-teki silang).
Seperti kebanyakan remaja
lainnya, roller coaster Rahee
melewati tanjakan dan tikungan tajam berupa kenakalan-kenakalan yang biasa
didapati pada masing-masing pribadi menjelang dewasa. Meski tak perlu sebegitu
dicemaskan sebab gadis itu masih bisa memilah-milah lingkungan bergaulnya.
Namun memang ada beberapa hal yang tak bisa dihindari dari kehidupan remaja.
Contohnya, jatuh cinta.
Song Rahee bersumpah pengalaman
menaburkan benih-benih merah muda itu terlalu cepat jika ditakar dengan umurnya
yang masih tiga belas tahun. Berbeda dengan cinta pertamanya saat sekolah
dasar, menyimpan perasaan pada lelaki kelas sebelah kali ini membawanya pada
sebuah hubungan lucu. Bisa disebut main-main karena di samping fakta bahwa
bocah-bocah semuda mereka sudah nekat berpacaran, Rahee yakin betul kalau
hubungan keduanya memang hanya sebatas main-main.
Gadis itu masih terlalu muda,
terlalu polos, terlalu naif. Ia merutuki kebodohannya sendiri sebab telah
menyukai seorang laki-laki yang ia yakini telah menjadi playboy tukang rayu tiga tahun kemudian. Siapa yang tahu bakal jadi
apa pemuda itu di masa depan?
Maka dari itu dirinya bertekad―sejak
kepindahannya ke kota ini pada tahun keduanya di sekolah menengah pertama―tak
akan ada lagi benih merah jambu yang ditabur, dan artinya tidak akan ada yang
dituai pula.
Hingga tiba seorang Kwon
Soonyoung dalam kehidupan SMA-nya.
Kala itu Rahee merasa ia harus
membenahi prinsip hidupnya. Terlebih saat sang pemuda mengirim pesan singkat
padanya, tepat ketika gadis itu hendak melangkahkan kaki keluar kelas di hari
terakhir ujian semester. Muncul sebuah tanda tanya besar. Soonyoung sering
membuat janji untuk belajar bersama di perpustakaan sepulang sekolah sepanjang
ujian berlangsung, tapi hari ini ujian itu sendiri berakhir. Untuk apa ia meminta
Rahee datang menemuinya di perpustakaan?
“Ada sesuatu yang harus
kukatan, yang kurasa hanya bisa kukatakan sekarang.”
Kalimat yang pertama diucapkan
Soonyoung tidak mendapat respon dari Rahee. Gadis itu terlalu sibuk mengatur
napas dan detak jantung yang disebabkan ia habis berlari-lari dari kelas ke sini,
di mana mereka duduk berhadapan dengan sebuah meja kayu sebagai penghalang, yang
sepanjang tiga minggu ini biasa mereka tempati.
Di seberangnya, Soonyoung menyipitkan
mata (yang sedari awal sudah sangat sipit) menilik lawan bicaranya masih
terengah-engah. “Minumlah dulu,” ujarnya seraya menyodorkan botol air mineral
yang isinya tersisa setengah. “Aku heran, kenapa kau sering ngos-ngosan ketika sampai di sini?”
Rahee meraih botol di genggaman
lelaki itu kemudian memutar penutupnya. “Membuat orang menunggu itu salah satu
hal yang tidak kusukai, jadi aku berjalan secepat mungkin ke sini.”
Selagi gadis itu meneguk
minumannya, Soonyoung mengangguk-angguk mengerti. “Kurasa aku paham maksudmu. Aku
sendiri tidak suka membuat orang lain kecewa―atau sedih. Sayangnya, aku
menyesal tapi aku harus mengatakan padamu kalau aku akan pindah ke Daejeon.”
Alamak. Bukannya mendapat
ketenangan bernapas, Rahee justru tersedak detik itu juga. Sang gadis lantas
terbatuk-batuk hingga membuat hampir seisi ruangan menoleh ke arahnya. “Kau
serius?” tanya perempuan itu sesaat setelah batuknya reda.
Sang pemuda mengangguk. “Aku
tidak akan memaafkan diriku sendiri jika aku bercanda sampai membuatmu
tersedak.”
Sejauh Rahee mengenal Soonyoung
hampir setahun ini―meski hanya sebatas teman berbeda kelas yang belakangan
sering belajar bersama―lelaki itu tak mungkin berbohong. Mata sipitnya yang
mengerjap tiap lima detik memperlihatkan keseriusan hakiki. Rahee meletakkan
botol minumannya kembali sebelum mulai bertanya sebagai antisipasi terulangnya
insiden tersedak serupa. “Daejeon? Kapan?”
“Sabtu pagi. Ibuku ingin cepat
sampai di rumah baru dan menata barang-barang setidaknya agar hari Senin dia
bisa menerima tamu.”
“Hari apa sekarang?”
“Kamis.”
“Itu berarti besok lusa,
Soonyoung!”
Lelaki itu tersenyum tanpa dosa
sementara gadis di hadapannya menghela napas berat. Ia tak mungkin paham alasan
Soonyoung baru mengatakan perihal ini dua hari sebelum keberangkatan, tapi ia
juga tak menemukan perbedaan signifikan seandainya lelaki itu memberitahunya
lebih awal. Barangkali malah akan menambah beban pikiran Rahee yang sedari awal
sudah terbebani berkat ujian. Well,
kalau begitu Soonyoung mengambil keputusan yang tepat.
“Aku akan mengirim telegram
padamu.”
Soonyoung hampir tersedak,
namun kemudian terkekeh. “Aku kurang suka gaya revolusi industri. Bagaimana
kalau surat?”
Rahee ikut tertawa. Nampaknya
sesi berbagi ilmu mereka seputar sejarah singkat era praaksara sampai post-modern masih tersimpan baik di otak
lelaki itu. “Dengan tulisan menggunakan pena bulu dan amplop bercap lilin? Oke,
berikan saja alamat barumu itu. Bersiaplah untuk mengecek kotak suratmu tiap
bulan.”
“Soal itu, aku sudah menyiapkan
sesuatu.” Sang pemuda berhenti untuk mengeluarkan secarik amplop dari dalam
saku almamaternya. Ajaibnya, benda itu tidak terlihat kusut sama sekali membuat
Rahee terheran bagaimana cara ia menyimpan amplop itu di sana. “Ini untukmu.
Sudah tertulis alamat rumahku di Daejeon jadi kau hanya perlu mengirim balasan
ke sana.”
Ketika Rahee meraih amplop itu,
ia bisa merasakan permukaan kertasnya yang sedikit kasar dan menguning. Di pojok
atas sampul depan tertulis namanya dalam tulisan khas Soonyoung yang cukup
berantakan (tapi masih bisa terbaca jelas). Di baliknya, Rahee nyaris tertawa
melihat stempel lilin berwarna merah menyala dengan cap bunga mawar. “Aku tidak
ingin merusak stempel cantik ini tapi kurasa alamatmu tertulis di dalam jadi
... boleh kubuka sekarang?”
Terdapat jeda singkat selagi
Rahee menyentuh stempel lilin itu dengan hati-hati. Ketika dirinya tersadar
Soonyoung tidak memberi jawaban, ia mendongak lantas disambut oleh kedua mata
sipit lelaki itu yang hampir tidak terlihat karena tersenyum terlalu lebar.
Rahee menganggap artinya
setuju.
Dengan super hati-hati―takut
kertasnya robek atau stempelnya rusak―gadis itu membuka penutup amplop kemudian
menarik keluar secarik kertas di dalamnya. Tanpa keraguan, ia membuka
lipatannya dan membaca tulisan Soonyoung yang kali ini terlihat jauh lebih
rapi. Di sana tertulis alamat pendek beserta kode pos dan semacamnya, namun
terdapat kalimat tambahan di bawahnya. Jika Rahee tidak mendapati namanya
tertulis jelas di sana ia mungkin tidak yakin apakah Soonyoung melantur atau
salah memasukkan kertas ke dalam amplop.
‘Aku,
Kwon Soonyoung, akan menunggu balasan suratmu segera dengan seluruh kesabaran
yang kupunya.
Kau, Song Rahee, akan
menulis balasan apapun yang kau mau tapi ada satu hal yang harus kau tulis
sebagai jawaban atas pertanyaanku.
Aku menyukaimu,
Rahee. Bagaimana denganmu?’
Demi Ratu Persia Atossa atau
siapapun yang pertama kali mempopulerkan surat tertulis semacam ini, Rahee
merasa Soonyoung telah melakukan jenis pernyataan cinta yang ia yakini tidak
akan disegani sebagian besar perempuan generasi masa kini―terlalu kuno! Akan
tetapi tidak untuk Song Rahee, yang kini benar-benar harus merombak prinsip
hidupnya mengenai benih-benih merah muda.
***
“Kenapa jendelanya tidak ditutup?” Seokjin berkata lantas menghambur
melintasi ruangan, menuju objek yang menarik perhatiannya. Tak butuh waktu lama
hingga kaca jendela itu akhirnya ditutup, menghalau hawa dingin yang berasal
dari luar. Meski butir-butir salju yang berhasil masuk dan jatuh di lantai
ruang seni saat itu membuktikan bahwa jendela itu sudah cukup lama terbuka.
“Hyeso-ya!”
Orang yang dipanggil tersentak,
nyaris menjatuhkan sepaket cat akrilik di tangannya yang baru ia ambil susah
payah dari dalam lemari. Jika saja ia tak menoleh dan mendapati Seokjin berdiri
memandangnya sambil berkacak pinggang barangkali ia sudah akan marah-marah. “Sejak
kapan kau ada di sana?”
Kedua manik Kim Seokjin sedikit
melebar. “Halo? Aku baru saja datang dan berbaik hati menutup jendela ini
karena kau tidak dengar saat aku menanyakan kenapa jendelanya terbuka, dan
ternyata kau sendiri tidak sadar kalau aku ada di sini?”
Hyeso tampak sama terkejutnya dengan
lelaki itu, namun ia tetap tak bisa menahan tawanya. “Maafkan aku,” ujarnya
seraya kembali memutar badan ke arah lemari, “aku lupa mengambil
barang-barangku di sini saat hari terakhir kegiatan klub sebelum ujian dua
minggu lalu. Aku harus mengambilnya sekarang atau cat dan kuas mahal ini akan
terjebak di sini sepanjang liburan musim dingin.”
“Ohh ... jadi sekarang cat dan
kuas lebih penting dari pacar sendiri, ya?”
Tadinya Hyeso sudah berjinjit,
tangannya hampir berhasil meraih gelas plastik berisi kuas di rak tinggi lemari
itu, namun perkataan Seokjin refleks menghentikan gerakannya. “Aku tidak bilang
begitu.”
“Lalu? Oh―kau bilang cat dan
kuas mahal, kan? Berarti barang-barangmu itu lebih mahal dan lebih berharga
dari pacar sendiri?”
Siapa yang tahu Seokjin serius
atau berusaha melawak, yang jelas wajah jengkelnya terkesan bukan bohongan dan
berkat hal itu gelak tawa Jung Hyeso tak bisa dibendung lagi. Sang gadis lantas
meletakkan kotak catnya di lantai lalu segera menghampiri Seokjin yang setia
berkacak pinggak di posisinya sedari tadi.
“Jika aku harus membayar untuk
eksistensimu di sini, aku yakin harganya pasti mahal sekali―lebih mahal dari
kuas dan cat manapun―tapi aku akan tetap membayarnya.”
Layaknya anak kecil yang diberi
permen karamel, ekspresi jengkel Seokjin luntur dan tergantikan oleh senyuman
yang nampaknya sudah ia sembunyikan sedari tadi―Hyeso bersumpah lelaki itu
harus masuk sekolah akting. Detik berikutnya ia menarik gadisnya ke dalam
pelukan hangat di antara sisa-sisa hawa dingin yang tadi sempat menyelinap masuk
dari luar jendela. “Apa kau bawa payung?” tanya Seokjin tiba-tiba.
“Tidak. Tasku sudah cukup penuh
ditempati barang-barang ini. Bagaimana aku bisa membawa payung?”
“Kalau begitu aku akan
mengantarmu pulang.”
Menit-menit berikutnya berlalu
begitu cepat dengan Seokjin yang membantu gadis itu mengambil sepaket alat-alat
melukisnya dari lemari. Hyeso segera mengemasi barang-barangnya lalu mereka
sudah berjalan keluar ruang seni, melalui koridor yang mulai sepi menuju pintu masuk
utama, tentunya disertai obrolan-obrolan norak yang aneh seperti:
“hei, coba tebak. Cat apa yang
bisa dimakan?”
“Aku tidak tahu. Apa?”
“Nasi cat.” (nasi kucing
maksudnya, gaes)
“Tidak lucu, bodoh. Berhentilah
tertawa seperti suara pembersih jendela.”
***
Senin―empat hari setelah ujian berakhir, merupakan hari
penentuan sekaligus hari terakhir para murid pergi ke sekolah sebelum menikmati
libur musim dingin mereka. Biasa disebut Final
Day atau Worst Monday karena pada
hari itulah mereka mendapat laporan rekap nilai sepanjang semester ini.
Terdapat berbagai tipe murid yang datang melewati gerbang masuk sekolah kala
itu, mulai dari cemas, malas, bodo amat,
atau bahkan masih mengantuk. Tidak bisa dikalkulasi secara akurat jenisnya, yang
jelas hampir seluruh anggota kelas 1-C menyimpan sebongkah pertanyaan yang sama
di sudut kepala mereka.
‘Apakah Song Rahee yang pendiam itu benar-benar jadian dengan Kwon Soonyoung yang petakilan?’
Sayangnya tak ada jawaban yang
bisa didapat dari narasumber manapun. Rahee menolak membicarakan perihal
tersebut, lebih memilih memberi senyum simpul sambil menyarankan agar mereka
lebih peduli pada nilai rapor daripada gosip. Sementara Soonyoung sendiri tidak
ditemukan keberadaannya di sekolah. Maka, meski sudah beredar di antara
penghuni kelas sejak Kamis sore―berkat Park Jimin yang mulutnya persis ember
bocor―pembicaraan ini tetaplah sebatas rumor.
Beruntung, berkat solidaritas
sesama, gosip itu hanya menyebar di lingkup kelas mereka. Kebersamaan itu pun
kembali terlihat ketika wali kelas mereka, Guru Lee, memasuki kelas yang
langsung sunyi saat tadinya kebisingan mereka dari luar terdengar seperti
dengungan sekawanan lebah. Di tangan wanita paruh baya dengan potongan rambut bob rapi itu terdapat setumbuk buku
dengan nama berbeda-beda di sampulnya.
Jangankan bicara, menjawab
salam Guru Lee saja mereka setengah berbisik. Suasana bertambah tegang ketika
wanita itu tanpa basa-basi langsung memanggil nama pertama pemilik buku laporan
teratas. Si murid nyaris terjungkal dari kursinya, dengan gugup berjalan ke
depan lalu menerima buku itu. Begitu terus, siklus yang sama terulang sekitar
dua puluh kali kecuali dengan reaksi yang berbeda-beda.
Ada Kim Taehyung yang baru
mengintip sedikit isi buku miliknya namun sudah tertawa meringis-ringis. Ada
Jeon Jungkook yang gelagapan saat dipanggil karena dirinya tengah sibuk bermain
Mobile Legends di ponsel. Ada Jung Hyeso yang sebegitu terkejut hingga lututnya
terbentur meja. Ada Kim Hani yang sangat mementingkan privasi, sekembalinya di
tempat duduk ia segera memasukkan buku itu ke dalam tas secepat kilat.
Yah, pokoknya sungguh
bermacam-macam.
Akan tetapi, tidak ada yang
tahu bahwa sepulang dari sekolah hari itu, meski hari masih pagi Jung Hyora tak
berani kembali ke rumah melainkan justru duduk di bangku taman belakang sambil
memandangi buku laporan nilainya. Tidak ada yang tahu gadis itu baru saja
menangis. Tidak ada yang tahu ia kecewa dengan nilainya meski segala upaya
sudah dikerahkan demi mendapat hasil memuaskan.
Tidak ada yang tahu kecuali
Jung Hoseok.
Sebab, lelaki itu―hanya dirinya
seorang―merupakan satu-satunya orang yang begitu mengenal sosok Hyora. Ia
sadar, detik ketika gadis itu tidak bisa ditemukan keberadaannya di kelas
sepulang sekolah sementara hampir seluruh teman sekelasnya masih tinggal untuk saling
memamerkan maupun mengejek nilai masing-masing, pastinya Hyora pergi ke suatu
tempat di manapun itu asal bukan rumahnya.
Hoseok paham, hanya dengan
memandang punggung gadis itu dari kejauhan, berjalan lunglai ke arah taman
belakang, dirinya paham bahwa Hyora merasakan kekecewaan yang teramat dalam.
Dan ketika ia melihat sang gadis terduduk dengan bahu bergetar, menangis
sendirian dikelilingi putihnya salju di sepanjang taman pagi itu, Hoseok tak
membuang waktu lagi untuk berlari ke arahnya dan memberinya sebuah pelukan
erat.
“Tidak apa-apa, menangislah
sesukamu. Bahuku ini ada bukan untuk disia-siakan, kau tahu?”
“Kau sudah berjuang begitu
keras, Hyora. Kau orang terhebat yang pernah kukenal. Maksudku―kau tidak hanya
menyimpan sifat rajin dan pantang menyerah milikmu itu untuk dirimu sendiri,
tapi kau juga menularkannya padaku!”
“Jangan terlalu keras pada
dirimu sendiri, oke? Percayalah, kau sudah melakukan yang terbaik. Lagipula
nilai-nilai itu hanya sebatas angka. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil.”
Maka dengan ditemani
bisikan-bisikan pengobat luka hati sekaligus sosok Jung Hoseok itu sendiri,
Jung Hyora tak pernah merasa lebih beruntung daripada saat ini.
***
to be continued
to be continued
(((a/n)))
fyi, aku paling suka scene Namjoon yang agak cheesy tapi tetep classy //ea.
kalo kalian penasaran (atau mungkin udah tau), lagu yang dimaksud Namjoon itu Reflection. arti lagunya kurang lebih juga mirip-mirip gitu, sih. sumpah, kalian kudu dengerin dan baca artinya beneran.
dan kalimat terakhirnya terinspirasi dari ending novel favoritku, Apocalypse Moon.
but after all aku suka semua scene di sini. hehe.
doakan aku bisa update secepatnya, ya! aku udah bikin deadline upload chapter 22 pas ultahnya Taehyung! see you around later<3
fyi, aku paling suka scene Namjoon yang agak cheesy tapi tetep classy //ea.
kalo kalian penasaran (atau mungkin udah tau), lagu yang dimaksud Namjoon itu Reflection. arti lagunya kurang lebih juga mirip-mirip gitu, sih. sumpah, kalian kudu dengerin dan baca artinya beneran.
dan kalimat terakhirnya terinspirasi dari ending novel favoritku, Apocalypse Moon.
but after all aku suka semua scene di sini. hehe.
doakan aku bisa update secepatnya, ya! aku udah bikin deadline upload chapter 22 pas ultahnya Taehyung! see you around later<3
Comments
Post a Comment