Just how well do you know human nature?


sudah banyak yang peringatkanku. Tak jarang mereka terang-terangan tegur namamu. Pasti ada, setidaknya, yang kenali potretmu terselip bingkai dompetku lalu terpikir olehnya: ya tuhan, masih saja.

Aku mulai baca Surat-Surat Untuk Milena di ulang tahunmu yang ketiga puluh. Lagi-lagi kusesali, waktu sekolah dulu, aku tak pernah betul-betul serius pelajari bahasa ibu Franz Kafka. Alhasil terbaca surat-suratnya melalui limitasi bahasa antara. Kafka sendiri, aku yakin hanya sepatah-sepatah mengerti. Mungkin puncaknya saat dia tulis novel sulung, Der Verschollene, yang tak pernah selesai itu—apa? Seperti naskahku? Kadang kalau bercanda, kamu bisa membidik sampai jantung ya? Betul hampir seminggu draf ini mangkrak dalam folder terkini; berjam-jam kupandangi saja kanvasnya seolah paragraf kedua bisa beranak-pinak tanpa tunggu gemeletuk kiborku. Tentu saja, tidak kejadian. Tapi jangan dibicarakan. Toh, mau tak mau juga kusambung, ‘kan?

Yang hendak kubahas ini:

Dua tahun lalu, aku mulai baca bukunya. Kesampingkan kode etik penerbitan anumerta—lebih-lebih koper sahabatnya yang penuh kontroversi itu. Anehkah menurutmu, jika kumulai ziarah Wina-Praha justru dari korespondensi yang Kafka pun tak pernah kira bakal mencapai setiap kotak pos di dunia? Semisal surat-suratku padamu disimpan lama oleh koper sahabatku, lalu barang berapa bulan setelah aku mati, setiap lembarnya dicetak wujud antologi. Semisal, pesan-pesan dan puisiku yang menumpuk satu dekade itu, akhirnya dibaca semua orang selain kamu. Semisal begitu, perasaanmu bagaimana? Meski kupikir kamu tak usah terlalu menimang kemungkinannya. Hampir mustahil. Tulisanku tak pernah seharga lebih dari satu putaran koin laundromat. Sekeranjang cucian kotor diaduk bersama leleh butir deterjen. Daur ulang berakibat dua: keruh air bekas mencuci atau setumpuk kain pudar yang telah menetap satu dekade dalam lemari. Itu hanya pengandaian. Yang hendak kubahas bukan pengandaian, sebetulnya.

Yang hendak kubahas ini: korespondensi separuh hati. Maksudku bukan Kafka menulis surat setengah-setengah—justru sebaliknya, kupikir dia limpahkan terlalu banyak sampai ujung pena macet dan halamannya menyempit. Apa boleh buat? Milena seorang yang betul-betul memahami suaranya. Cuma, sering di tanggal tertentu aku dilahap rasa penasaran akan sisi lain surat itu. “I am now calmer than two hours ago outside on the balcony with your letter,” tulis Frank (mestinya Tertanda FranzK. tapi Milena keliru mengeja, lalu nama itu terlanjur melekat)[1] Mana bisa aku duduk-duduk diam tanpa bayangkan surat seperti apa itu, dua jam lalu, yang dia baca di balkon terlanda beribu jarum emosi?

“And do not demand sincerety from me, Milena,” tulisnya lagi.[2] Kini semakin pendek penutupnya. Mana mungkin aku tak ikut pusing, mengira-ngira apa sebetulnya yang diminta Milena barang selembar lalu? Bagai mencuri dengar percakapan telepon di bilik sebelah, yang kutangkap cuma serpih reaksi tak utuh, tak pernah cukup rangupnya untuk menyusun mozaik cengkerama mereka. Apa? Hm. Ya, aku setuju. Lebih baik begitu. Tulisan tangan Milena, Kafka pemegang satu-satunya; dia simpan berjilid-jilid di tengah privasinya yang kian dilucuti. Lihat? Aku paham maksudmu, kok. Tidak heran kamu khawatir sampai sana. Itu yang biasa bagimu. Aku mengerti. Betul, aku sekadar ungkapkan sebagian perasaanku saat itu. Dua tahun lalu. Jika kubuka lagi, barangkali responsku bakal berubah. Siapa yang tahu.

Lalu, hubungannya denganmu?

Coba lihat lagi, Yoongi. Ya, Yoongi, siapa lagi? Sudah banyak yang peringatkanku. Kadang terpikir, mestinya kudengarkan mereka—terlepas benar-tidaknya. Jarang sekali mereka benar. Meski selalu masuk akal. Tak ubahnya superstisi dan mitos absurd yang kerap diwariskan padaku; kenapa tidak boleh berdiri di tengah pintu atau menyapu tengah malam, apa arti masakan yang keasinan atau mimpi dikejar anjing. Di hari kubaca buku itu pun, aku diserang palang-palang eksklamasi serupa. Dari kabar bahwa Milena menulis obituarium pemakaman Kafka, setiap pembuka juga penutup yang makin menyusut hari ke hari, setiap Liebe atau Ihr, amplop-amplop kusut, hingga janji-janji temu yang tak pernah mereka tepati.

Tahu, tidak? Sepotong musim panas di hutan perbatas Wina, mereka menyusuri ladang dan jalur pendakian, terlarut dialog soal satu saja ruang yang mereka damba di tengah luasnya kota.[3] Tanpa dokumentasi, imaji itu berakhir menumpuk bersama momen-momen yang kucipta sebatas legam tinta. Kertas-kertas didera berat ekspektasi, lambat-laun menipis lalu saling tumpang-tindih paragrafnya, aku jadi tidak tahu lagi mana yang betul milikku, mana yang Kafka tulis seratus tahun lalu. Belum kusadari, tahu-tahu aku sematkan terlalu banyak makna juga identitas kita di sana (mungkinkah ada selingkar kolam, di mana mereka singgah lalu menekuni ranum terataimu?) Yoongi, sampai mana sesungguhnya kamu pahami naluri manusia?[4] Memang tak kubilang bahwa aku sengaja membaca buku itu di hari ulang tahunmu. Kebetulan saja, ini pun kusadari baru-baru ini. Tapi, semua itu, yang kubaca lalu kurenungi, kurasa separuhnya ada padamu.




[1] Surat Kafka pada Milena, Mei 1920
[2] Surat Kafka pada Milena, 3 Juni 1920
[3] Surat Kafka pada Milena, 23 Juni 1920: “(...) for a moment it seemed incomprehensible to me that they would build such a huge city when you only need one room.”
[4] Surat Kafka pada Milena, 30 Mei 1920: “Just how well, Milena, do you know human nature?”

Comments