Malaikat [butuh rujukan]
A Rose Garden by Alois Kalvoda
malaikat yang bertugas mengurus pesta ulang tahunmu di Surga tampak sangat sabar, tetapi memang begitulah mereka semua.[1] Dia menyalamimu seolah kalian sudah lama saling kenal. Kamu akui, wajahnya memang menyerupai seseorang yang pernah kamu lihat di Bumi; orang pertama yang muncul dalam ingatanmu saat memikirkan kata Sabar. Asumsimu, ini salah satu Karunia Surga, tafsir paling akurat terhadap buah pikiran tiap-tiap penghuninya. Seperti langit Surga yang tetap biru dan rumput Surga yang tetap hijau, juga siangnya yang tak pernah terik mengantang, hujannya tak pernah berbadai angin.
“Pasti sengaja.” Kamu menggosok dagu.
“Sengaja?” ulangnya.
“Sampai rambut-rambutnya.” Entah keberanian dari mana, tanganmu meraih ujung rambut Malaikat yang sedikit memanjang hingga tengkuk—tidak terlalu, standar-standar saja, atau mungkin melebihi satu-dua senti. Tapi ini ukuran yang tepat. Helainya pun mengurai lembut akan rabamu, menyisa wangi bunga-bungaan di sela jemari. Sejak dulu, kamu selalu ingin menyentuhnya.
“Memang paling cocok begini,” komentarmu lagi.
Tidak sedikit pun dia terlihat marah, baik oleh gestur impulsif maupun kata-katamu. “Rambut saya?”
Kamu mengangguk. “Jangan terlalu panjang.”
“Banyak yang lebih suka panjang.”
“Biarlah mereka.” Bahumu terangkat. “Saya sukanya begini. Ini ulang tahun saya, kan?”
“Betul.” Setelah itu dia lanjutkan agenda yang sempat terinterupsi. Sampai mana tadi? Oh iya, dia belum selesai mengabsen daftar lokasi yang dapat kamu pilih, tadi terhenti di Aula Parthenon Lapis Enam. Ada ilustrasinya juga. Lembar terjepit papan dia suguhkan padamu, kepala pensil menunjuk gores pilar-pilar pualam. “Yang ini cukup luas.”
“Ya, tidak cocok untuk saya. Kenapa bangunannya persis monumen di Yunani itu?”
Pertanyaan melantur lagi. Malaikat tidak keberatan menjawabnya. “Pasti ada seseorang yang minta dibangunkan seperti itu.”
“Sampai suatu hari dia bosan, lalu dia tinggalkan?”
Malaikat tersenyum tipis.
“Ada apa lagi? Kalau bisa jangan terlalu besar. Maksimal untuk ... tiga puluh orang saja lah.”
“Ada Kafe Arles Lapis Empat, Paviliun Puspa Lapis Tiga, Taman Musim Semi—”
“Oh!”
“Ya?”
“Taman! Saya mau taman, seperti....”
“Seperti?”
Tiba-tiba kamu ragu hendak memberitahunya. Ironis sekali, misal kamu seenaknya menyebut nama taman terindah di Bumi, tepat setelah kamu sindir pengagum Parthenon yang memohon dibuatkan replika kuil raksasa itu. Kemungkinan besar, sudah ada orang lain yang mengagumi taman itu juga, sehingga replikanya pasti sudah berwujud di suatu tempat. Tapi, kamu merasa tidak enak jika ternyata kamulah orang pertama yang punya permintaan berikut. Bukan masalah pembangunannya—itu perkara gampang, hanya perlu satu kedipan mata—melainkan tanggung jawab yang jatuh di pundak andai taman itu dibangun atas namamu. Apalagi ini sekadar untuk perayaan ulang tahun.
“Taman seperti ... seperti pada umumnya?” Kepalamu tertunduk sambil mengatakannya. “Yang banyak bunga.”
Malaikat mencatat sesuatu di kertas. “Tapi Anda sudah berdiri di taman yang banyak bunganya.”
Betul saja. Kamu pandang sekeliling yang dipenuhi mekar peoni, suatu sudut yang tak sengaja kamu temui kala menyusuri jalur-jalur Surga. Selama ini kamu tak pernah perlukan peta, ekskursi berikut tidak butuh rencana rute maupun destinasi—mau belok ya belok saja, saat mulai jenuh berjalan (bukan capek, karena penghuni Surga tidak merasa capek) kamu tinggal berhenti di bawah pohon atau bangku yang tiba-tiba menjelma di ujung pandangmu. Kamu jadi banyak sekali berjalan kaki; sebuah kemewahan yang tak sempat kamu nikmati di Bumi tanpa takut terperosok gorong-gorong atau tertabrak pemotor lalai.
Pada tiap ekskursi itu, entah mengapa kamu akan lewati taman ini setidaknya satu kali. Tidak lama sampai ingatanmu merekam tanjak bulevar beserta deret cemara lilin di kedua sisi, disambut gerbang batu tak bertuan pada puncaknya. Taman ini kecil dan agak rumpang, berbeda jauh dengan Taman Terindah Bumi yang tengah kamu pikirkan; lebih mengingatkanmu pada ilustrasi kebun di buku-buku Nesbit atau Burnett. Menurut standarmu, taman ideal semestinya punya pohon dedalu, patung-patung mitologis, kolam kecil dan beberapa ekor bebek, juga jembatan lengkung. Kesemuanya tak kamu temukan di sini. Tapi, kamu cukup menyukai bunga-bunganya.
Ini bunga yang tak pernah kamu lihat semasa masih di Bumi dulu, lantaran tempat tinggalmu begitu jauh dari habitat mereka. Kamu baru mengenal namanya beberapa menit lalu, habis bertanya pada Malaikat yang datang untuk mengurus pesta ulang tahunmu.
“Ada yang lebih spesifik?” Sekarang, dia menatapmu, rona di wajahnya setangkup ranum merah muda.
“Punya saran?”
Dia berpikir sebentar. “Mungkin seperti ... Taman Monet?”
Terkesiap, tanganmu tutupi mulut yang refleks terbuka. “Anda tahu?”
“Tentu saja.”
“Sejak dulu, saya selalu ingin berkunjung ke sana.”
Dia mengangguk. “Giverny. Lokasi yang cukup populer.”
Masuk akal. Hipotesismu benar. Ini artinya kamu tak usah khawatir perkara kepemilikan tempat. Ibarat menyewa jangka satu hari, hanya tidak perlu membayar sesiapa. Bernapas lega, kamu perhatikan Malaikat mulai mencatat lagi. Ilustrasi di kertas itu masih menarik minatmu. “Tapi gambar-gambar ini bagus sekali, ya.” Kamu tidak tahan mau berkomentar. “Anda yang menggambar?”
“Oh, bukan—karya teman saya.”
“Teman Anda berbakat.”
Kali ini, Malaikat tersenyum agak jauh dari yang sudah-sudah. Giginya muncul sebaris, kecil-kecil seperti biji mentimun. Apa Malaikat bisa merasa bahagia? Atau malah, mereka merasa bahagia sepanjang waktu? Ini agak membingungkan sebab bahagia itu termasuk dalam kategori emosi positif—semua orang tahu Malaikat tercipta dari cahaya dan segala substansi luhur. Maka, bahagia dan Malaikat semestinya terbilang kerabat.
Mana pun itu, tampaknya dia paling bahagia ketika ada yang memuji temannya. “Saya tidak berniat melengkapi daftarnya dengan ilustrasi. Dia sendiri yang menawarkan.”
“Baik sekali,” gumammu. “Malaikat memang begitu, ya?”
Meski deret gigi kembali tersembunyi, lekuk bibirnya masih melebar kala dia menatapmu. “Betul, hatinya sebaik Malaikat.”
Respons itu semakin runyam. Apakah maksudnya hati yang baik, sebaik-baiknya seorang Malaikat? Belum sempat kamu pinta klarifikasi, dia terlanjur pindah menuju pertanyaan berikutnya. Tiga puluh hadirin, maksimal. Malaikat menanyaimu nama-nama orang yang ingin kamu undang ke pesta ulang tahunmu di replika Taman Monet, Giverny. Benakmu mendadak buyar memilah-milah kartu identitas beserta masing-masing memori akan pemiliknya.
Tiga puluh? Apa betul bakal sebanyak itu? Semenjak mata terbuka di Surga, belum satu pun orang yang kamu kenal berpapasan denganmu di sini. “Boleh saya pikir-pikir dulu?”
Malaikat mengangguk tenang, bagai telah antisipasi permintaanmu itu. Bisa jadi dalam tumpuk kertasnya tercantum juga indeks nama orang-orang terdekatmu. Ada pun, dia tidak repot-repot mengeceknya. Keputusan seluruhnya milikmu. Yang dia lakukan justru melompat sampai pertanyaan lain lagi, kali ini soal hidangan dan kue-kue.
“Saya mau kue tiramisu.”
“Oke.”
Kamu beri dia deskripsi mendetail tiramisu kesukaanmu. Tidak terlalu manis, kalau bisa, jangan sampai mengalahkan rasa kopinya. Krim lembut yang tidak lengket di langit-langit mulut. Sepanjang hidupmu, hanya ada satu tiramisu yang berhasil menempuh kriteria itu. Kamu ceritakan padanya tentang pesta ulang tahunmu yang ketujuh belas. Satu-satunya pesta ulang tahun yang pernah kamu rayakan. Teman-temanmu patungan membeli seloyang kecil tiramisu lalu menancapkan sebatang lilin dan kartu ucapan di tengah-tengah.
“Yang mereka tulis agak lucu.”
“Ya?”
“Selamat ulang tahun, dari Min Yoongi.” Kamu tertawa. “Saat itu saya sedang suka-sukanya.”
Itu belum keseluruhan cerita, tentu kamu luputkan detail sana-sini—bukannya niat berbohong, bakal semakin canggung jika kamu kelepasan bilang saking polosnya, saya percaya saja kue itu pemberiannya atau dia cinta pertama saya. Yang begitu, baiknya kamu simpan sendiri. Berjaga-jaga supaya tidak meracau terus perihal masa mudamu yang teramat jauh itu, lidahmu tertekuk menyadari pensil Malaikat berhenti menari-nari di atas kertas.
Malaikat [??? ??????] yang bertugas mengurus pesta ulang tahunmu di Surga tiba-tiba menjeda proses persiapan pesta ulang tahunmu. Dari pensil di tangan, sorot matamu naik ke wajahnya, lantas dibuat terperanjat oleh ekspresi milik Malaikat yang sama terkejutnya.
Dia tampak kaget sekali mendengar nama itu. Rekah peoni pada kedua pipinya semakin pekat. Warna musim semi mendiami sekujur tubuh. Bagai patung yang diam-diam bernyawa hanya ketika tersembunyi pantauan manusia, sedang di sini kamu tanpa sengaja memergoki napasnya.
Memang, kamu berniat singgung nama di kartu ucapan sebab menurutmu kebetulan ini lumayan lucu. Kiramu, setidaknya dia akan tersenyum pada selera humormu.
Dan tidak—bukannya dia marah, atau tersinggung. Kamu tahu. Malaikat tidak dibekali ragam emosi seperti manusia. Mustahil mereka marah atau tersinggung. Memang begitulah mereka semua. Tapi, detik itu kamu mulai mempertanya apakah Malaikat [??? ??????] bisa merasa malu.
Dirayapi sungkan (juga takut semakin melukai perasaannya [?] bila terus-terusan awasi ekspresi itu), kamu alihkan fokus pada musim semi di atas rumput. Langkahmu satu-dua, bercangkung pada reranum yang rontok kelilingi semak peoni. Jangan bahas lebih lanjut, batinmu. Coba bicarakan hal lain. Sampai mana tadi? Ke mana koordinat percakapan kalian? Sama sekali tak kamu sangka bahwa bicara dengan Malaikat bisa berlika-liku begini.
Oh, ya. Hidangan pesta. “Anu, minumannya, lebih baik es cokelat. Jangan ada kopi.”
“Tapi tiramisu itu mengandung kopi.” Suara itu dekat. Kamu merasa sedikit lega. Malaikat ikut berjongkok di sebelahmu, lembar-lembar dokumen dipeluknya.
“Tidak apa, kalau tiramisu.” Menangkup sekuntum penuh, kamu takjub menemui tak satu pun mahkotanya mengelupas. “Beberapa teman saya tidak bisa minum kopi.”
“Sudah pasti Anda undang?”
“Ya, sepertinya.”
Jawabanmu tidak dicatat. Batang pensil menyembul dari saku kemeja, tampak sekadar dekorasi memeriahkan pakaian serba putih. Mungkin dia mengenali maksud sepertinya yang disusupi bimbang kabut. Ingin memberimu waktu? Atau, lebih masuk akal jika semua Malaikat punya ingatan fotografis. Catat-mencatat laporan sekadar formalitas. Supaya lebih natural saja, di mata manusia, mereka repot bawa-bawa atribut yang tugasnya sudah awam di Bumi sana.
Terduduk di atas rumput, sekalian saja kamu tanyakan, “Anda punya ingatan fotografis, ya?”
“Banyak yang mengira begitu.” Posisinya ikut beralih. Papan dokumen kini tergeletak selagi dia bersila, jari-jemari saling bertaut di pangku. “Miskonsepsi. Cuma karena saya pernah bilang, satu kali, kalau saya selalu ingat semuanya.”
“Semuanya?”
“Tidak semuanya, tentu.”
Malaikat [butuh rujukan] menunduk sedikit. Meski tipis sekali, tampak olehmu raut muram merenungi sesuatu. Kamu terserang iba. Ingin kamu menghiburnya, bukan tugas Malaikat untuk senantiasa mengingat. Kita semua akan melupa—kita? Di tangkupmu, sekuntum peoni bagai bernapas lamban; satu-persatu kamu lirik ranum lain yang berserak, merah jambu merekah selembut gula kapas, lembar-lembar menghambur bukan oleh sejuk angin, melainkan degup mereka masing-masing. Jika kamu berkonsentrasi barang sedikit, tiap sepal di tangan bisa dicabut sampai mulutmu, kemudian meleleh manisnya laksana krim mentega.
Selalu, tanda-tanda semacam ini. Seakan kamu terus dikenalkan kembali pada sifat-sifat surgawi. Ambil saja dengung lalat buah, semut berbaris teratur, cuaca terik pasca sepuluh pagi, atau nyamuk yang menepi di kulit sesekali; apa-apa yang dianggap natural di Bumi, lenyap sudah tanpa sisa. Tidak ada yang alamiah dari mereka—Taman Puncak Bulevar, peoni merah jambu, Malaikatmu. Kala memandang ke sana, yang tertuju justru sol sepatu hitamnya, berpola garis-garis juga dilengketi noda cokelat tanah.
Kemudian, kedua tangannya, berakar hijau-biru nadi hingga ruas-ruas melekuk panjang. Kamu berusaha mengingat sesuatu yang pernah kamu dengar dahulu, tentang ujung jari-jemarinya. Apa, ya? Sedikit lagi, kamu hampir meraih buntut pita memori, namun angin keburu membawa dia pergi. Kamu bertahan, tertinggal memandang keluku Malaikatmu. Ibu jari serta telunjuknya dipotong terlalu pendek.
“Saya juga,” kamu beritahu dia, “banyak yang telah saya lupakan.”
“Ya?”
“Ingatan itu konsep yang terlampau manusiawi,” lanjutmu. “Saya lebih banyak mengingat dosa-dosa yang saya perbuat, dibanding apa yang Tuhan anggap baik.”
Malaikatmu mengangguk.
“Saya masih tidak tahu bagaimana bisa sampai sini—di Surga, maksud saya.”
“Tidak ada yang tahu pasti kenapa kita di tempat kita sekarang. Saya pun pertanyakan hal sama.”
“Anda, kan, Malaikat?”
“Ah, jangan berlebihan.”
Kali ini, betul-betul kamu teliti wajah itu. Ada senyum pendek yang dia lukis berkat pujianmu, hidungnya mungil malu-malu, sepasang mata pasti—menurut ingatanmu—merupa bulan sabit saat dia tertawa, pula rambut hitamnya. Tidak pendek. Tidak terlalu panjang. Warna musim semi di pipi dan siku, serta telapak tangan yang dia angkat untuk menggosok telinga. Gestur itu familier, kamu rengkuh arti bahasa tubuhnya. Pasti sengaja. Rumbai-rumbai pita mengikat kilas masa lalu yang senantiasa tinggal—Ya Tuhan, yang ini saja, mustahil kamu terlupa. Bukankah sejak dulu, dia memang begitu? Jatuh dari langit, menyiar di angkasa, bermekaran di sekujur Bumi. Sungguh keterlaluan, pesta ulang tahun di Surga ini.
Dengan hati-hati kamu beranikan tanya, “Kalau boleh tahu, siapa yang menugasi?”
“Maaf?”
“Menugasi Anda. Kenapa mesti merayakan ulang tahun saya?”
Terdiam sebentar, Malaikat [Min Yoongi?] seolah ragu-ragu hendak memberitahumu. Suaranya masih seteduh yang kamu ingat. “Tidak ada yang menugasi. Ini keinginan saya sendiri.”
Memang begitu, ya, sejak dulu? Kontan saja tawamu lepas. Tidak hiraukan bingung yang terbit maupun sergap kuntum peoni yang ikut terlompat-lompat. Taman rumpang itu membesut hidup, deret pohon saling berpegangan, semak bunga nyanyikan sajak angin, mengajak rerumput ikut berdansa. Samar-samar lagu itu pun kamu kenali. Jauh dalam hatimu, kamu dilanda keinginan untuk memberinya beribu pelukan. Tanpa kamu sadari, angan melayang lepas bersama gelakmu.
“Sekarang saya tahu ingin mengundang siapa,” ujarmu kemudian.
“Ya?”
Anggukan kukuh. “Anda sibuk hari ini?”
Malaikat (Min Yoongi) menimang-nimang pertanyaanmu. Tangannya terlipat di depan dada. “Anda orang kesembilan.”
“Sembilan?”
“Yang berulang tahun tanggal 26 Februari,” jawabnya.
“Sedikit sekali? Saya kira bakal lebih banyak.”
“Oh, pasti ada lebih banyak. Maksud saya, kesembilan yang ingin saya temui.”
“Setelah ini ada lagi?”
Senyumnya tampak sangat sabar, dan kamu teringat memang begitulah Yoongi. “Mungkin. Tapi, saya masih punya banyak waktu.”
[1] Dari pembuka cerpen “Malaikat yang Bertugas Mengurus Pesta Ulang Tahunmu di Surga” karya Dias Novita Wuri.
Comments
Post a Comment