I should've told you sooner
“berhenti saja,
berkirim pesannya.”
Tercenung dia pandang ke arahku. Judul standar NYRB
Classics terabaikan di tangan, volume kedua yang dia ambil bulan ini. Senyap.
Segurat pun tak ada kentara. Tapi, bodoh juga jika dipikirnya aku tidak dapat
membaca yang lirih di sudut bibir, pudar menggores dahi, rontok bersama kerjap
bulu mata.
Kupikir dia sedang menilai tawaranku; kepalanya
lupakan tumpuk paragraf, mengukur dari angka satu sampai sepuluh, kira-kira
jatuhnya di mana, apakah cukup diseriusi atau aku cuma asal bicara lagi—seperti
kemarin-kemarin cengkerama kami hampir masuk perdebatan kenapa toko roti dekat
stasiun mesti mengganti nama jadi Sherry Pâtisserie, padahal mereka cuma
menjual roti-rotian bukan kue atau pastri.
Orang
sini itu ya, kubilang waktu itu, orang sini selalu kurang
riset kalau pakai istilah-istilah asing, apalagi yang dari bahasa Jerman atau
Prancis, asal comot saja mereka. Bakeri dan patiseri itu jelas sekali bedanya.
Lalu dia pinta aku untuk menunggu setidaknya sampai September. Siapa tahu
mereka bakal mulai berjualan pastri. Lagi pula, dalihnya, lagi pula
namanya jadi lebih berima.
“Mungkin kita berkirim surat saja,” lanjutku. Suaraku
lebih mengawan, seolah surat-menyurat sudah jadi relikui peradaban kuno dan
mustahil dilakukan hari ini.
“Kita pakai jasa merpati pos.” Kububuhi senyum pasca
titik. “Atau botol di laut.”
Bayangkan laut, ombak, sedotan plastik dan kantong
plastik dan bekas vape plastik dan dua kilo printilan plastik berduyun-duyun
tiba—di antaranya botol bersumpal gabus ikut menepi. Katanya ada 200 juta ton
sampah plastik di laut per tahun ini. Imaji itu mulai merangsek ke benakku, di
saat yang sama kalkulasi miliknya tuntas. Satu sampai sepuluh. Skala jatuh lagi
di terminus. Lima tambah lima sama dengan omong-kosong. Yoongi, jangan sibuk
membaca. Rahee sedang ingin mengobrol. Atau Rahee sedang ingin dengar
suaramu. Boleh juga dua-duanya. Mungkin memang dua-duanya?
Kulihat dia mulai mengacak rambut. Artinya segaris
kesimpulan telah ditarik di sana. Tidak usah dia repot-repot menanyaiku: Ra,
kamu sedang ingin mengobrol atau sedang ingin dengar suaraku? Kupikir
jawabannya bisa dicari lewat metode lain seperti memindai empat kalimat yang
telah kuutarakan, sandingkan mereka dengan data-data lampau, lalu tak lupa
menyimak bahasa tubuh. Urusan begini Yoongi mahir sekali, jauh lebih mahir
dariku. Kadang aku pun bergidik dibuatnya. Tiba-tiba bilang kaus kakimu
masih dijemur di balkon tepat sebelum aku hendak mondar-mandir mencari,
atau menyodorkan botol sambal bangkok padahal dua porsi dimsum belum
kukeluarkan dari tas belanja. Semacam itu.
“Baiknya kita jangan mencemari lingkungan?” Muncul
juga akhirnya, respons skala terminus. “Limbah plastik di laut sekarang ini
pasti sudah—”
“—hampir 200 juta ton, kudengar.” Aku tarik cengiran.
Setengah sadar. Maaf. Bukan karena aku merasa angka itu lucu, ironis atau
tidak, sama-sekali tidak ada lucu-lucunya. Tapi garis bibirku sedang di luar
kendali.
“Mengerikan,” komentarnya.
“Ya. Ngeri sekali.” Garis kupaksa turun. “Coret botol
di laut.”
“Coret botol di alam bebas.”
“Oke. Merpati?”
“Aku tidak yakin merpati jenis begitu masih ada.”
“Masih.” Sebisa mungkin aku ambil kendali, garis bibir
kupaksa melintang sepanjang deskripsi habitat merpati pos di masa modern. Masih
ada, meski bukan lagi di kantor pos atau kamp-kamp militer. Profesinya telah
habis dilucuti beberapa dekade lalu. Tergantikan telegram, radio, telepon, lalu
komputer dan gawai-gawai dalam saku kita.
“Tapi mereka tetap hidup,” ujarku, “karena mereka
bukan mesin. Ada orang-orang yang tidak tega membiarkan yang hidup punah,
seperti kebanyakan membiarkan televisi tabungnya rusak atau buku telepon lenyap
dari rumah-rumah. Menurutku yang sejak awal hidup pasti akan terus bertahan.
Sekarang mereka dilombakan.”
“Lomba penerbangan?”
“Jarak jauh.” Setengah gelas air kutenggak habis.
“Tidak kusangka kamu baru tahu.”
Suaranya berubah lagi, hanya sedikit ke kanan, dari
yang pasrah kini serius dibuat-buat. Semakin pasti berkat buku yang akhirnya
dia tutup, sampul ke bawah. “Mustahil manusia mengingat semua informasi yang
direkam oleh otak—”
“—bukan direkam berarti. Kalau direkam, file-nya pasti
tersimpan terus.”
“Kalau tidak penting kenapa mesti disimpan?”
“Tapi kamu biasanya juga ingat hal-hal tidak penting
begitu.”
“Mungkin yang ini jauh lebih kecil manfaatnya,
dibanding hal-hal tidak penting lain.” Jemarinya naik, kukira hendak memijat
dahi, ternyata dipakai menyisir helai-helai rambutnya lagi. “Tapi aku tahu cara
kerjanya. Mereka cuma bisa terbang di antara dua titik, kan? Dari satu rumah ke
rumah lain.”
“Rumahku, rumahmu.” Aku mengangguk. “Bisa dicoba.”
“Misal kubilang, cari merpati dari mana?
Kulihat-lihat kamu seperti sudah siap alamat penjualnya.”
Gara-gara itu aku jadi tertawa. “Belum sampai sana,
tapi bisa kucari. Pasti ada di sekitaran sini.”
Yoongi bergumam. Lewat begitu saja, tawa singkatku
pesan ilusif. Segera kuruntuhkan rencana main-main di peta digital, mengetikkan
pasar hewan terdekat atau budi daya merpati pos, dan seterusnya.
Aku hanya bisa menatapnya, lalu tiga ratus halaman yang berpindah dari
pangkuannya ke atas meja. Wajah tersembunyi seorang wanita balik menatapku,
diselimut label judul juga kelabu ruang negatif. Salah satu buku populer Stefan
Zweig yang belum kubaca.
Pandangnya pun mengapung pada wanita di sampul saat
dia bilang, “Sudah kamu rencanakan, ya? Supaya kita berkirim pesan cuma
seminggu dua kali?”
Butuh waktu, bahkan untukku yang terbiasa melompati
batas-batas atmosfer percakapan kami. Sudah lama sekali sejak kami tinggalkan
aturan-aturan formal, setelah pengakuan bahwa kami sama-sama membenci kalimat A
yang berarti B atau tanda tanya yang memalsukan antipati. Namun, kerap kali,
aku masih butuh lebih banyak waktu. Lebih banyak darinya.
Kali ini kucoba meluruskan memori. Aku sempat khawatir
tak akan temui simpulan apa-apa—yang semacam ini terjadi juga,
sewaktu-waktu—tetapi kuingat Sabtu lalu ketika badai besar mengundang satu hari
penuh pemadaman listrik, jaringan ponselku sebatas kedip sayu hingga aku tak
sempat mengabarinya. Oh—atau, mungkin, di pagi lain, setelah dia buka pintu menyambut
tanganku yang kosong. Aku heran kenapa kamu tidak pernah cek pesanku, dia
bilang, aku hampir lupa, di tengah perjalanan kami menuju kantor pos, menjemput
paket yang tak sempat kuambil. Lokasinya lebih dekat dari apartemenku.
Dengan canda kujawab, tahu begitu kenapa masih dikirim
saja? Dan dia cuma tersenyum mendengarnya.
Aku meraih gelas, kemudian teringat isinya telah
kuminum habis. Permukaannya masih dingin. “Yoongi,” panggilku, “kamu marah?”
Yoongi tampak terkejut saat dia menoleh. “Bukan,” balasnya.
Dia termenung sebentar. “Aku tidak marah.”
“Yang lain?” lanjutku.
Apa pun itu, pasti sudah dia putuskan dalam jeda
singkatnya. Muka tersamar poni yang mulai memanjang, suara Yoongi mengalir
jernih. “Agak sedih. Tidak boleh, ya?”
“Tidak ada yang melarang.” Sidik jariku bersisa di seluruh
permukaan gelas. Menunduk sedikit, kucoba mencari ekspresinya. “Cuma, tidak
biasanya kamu begini.”
“Benar.”
“Kamu tidak pernah permasalahkan pesanku yang jarang.”
“Iya.”
“It’s so unlike you.”
“I don’t know. I’ve been missing you a lot.” Dia tarik
segaris senyum untukku. “Hampir Oktober, Ra.”
Entah apa arti diamku saat dia beranjak, meraih gelas
dari tanganku lalu menghilang di balik tembok dapur. Aku memandang punggungnya,
lalu pigura foto yang ditanam di samping kalender, sampai kudengar bunyi dengung
rendah dispenser. Atas alasan yang tak sepenuhnya kuketahui, tiba-tiba saja aku
tidak berani bertatap muka dengannya. Tapi dia kembali. Yoongi kembali bersama
segelas air yang dia sodorkan padaku.
“Terima kasih,” bisikku. “Mungkin mereka sudah mulai jual
pastri.”
“Apa?”
“Patiseri, maksudku, yang dekat stasiun.”
“Oh.”
“We should go.” Mata kami bertemu. Sekuntum mekar dalam
napasku. “Sudah lama kamu tidak makan Mont Blanc, kan?”
Comments
Post a Comment