Waktu Kapsul
![]() |
by joanna concejo |
para arkeolog di masa depan yang teramat jauh itu akan jumpai
sirip-sirip di bak mandi, mesin cuci, juga botol-botol selai—lalu mereka akan
saling menambal duga, sebetulnya ini milik siapa? Mereka akan memandang
jendela patri favoritmu, yang merampas berbulan-bulan waktumu demi temukan perajin
kaca terbaik seantero Surabaya, menelepon setiap kenalan dan mantan kolega,
kunjungan sanggar dan rumah-rumah produksi. Minimal, jendela itu saja. Kamu
bilang, jendela itu mestinya bertahan sampai sepuluh ribu tahun lagi.
Walau, jika beruntung, para arkeolog bisa menggali
kotak sepatu tempatmu simpan kaset-kaset Bauhaus dan ABBA. Satu untuk diputar
meredam bising, satu lagi untuk akhir pekan yang kita habiskan berdua. Namun
mereka tidak akan mengerti perbedaannya sebab di masa depan yang teramat jauh
itu orang-orang tidak tahu apa itu kaset; bahwa sebuah pita kaset adalah pita
magnetik yang bisa merekam dan menyimpan data dengan format suara yang umumnya
berupa lagu. Lantaran internet telah dibanjiri informasi palsu dan tidak ada
lagi Wikipedia yang memuat soal-soal paling trivial sekalipun. Mereka bahkan
tidak mengenal yang namanya piringan hitam, atau DVD atau cakram blu-ray,
apalagi pengandar kilas (USB). Mereka beruntung tetapi tidak cukup beruntung
untuk mendengar gubahan daftar putar Bauhaus dan ABBA yang kamu gemari itu.
Mereka tidak mengenal musik.
Itu masa depan yang suram sekali, katamu. Kamu enggan
membayangkan masa depan yang masih punya manusia namun tak punya musik.
Skenario terburuk, mungkin masih ada musik, jawabku.
Hanya bukan musik masa ini. Atau masa lalu. Yang jelas bukan Bauhaus atau ABBA.
Masa ada dunia tanpa musik ABBA? (kamu)
Ya, siapa tahu? (aku)
Tapi mungkin ada Bauhaus. Bukan yang musik, melainkan
yang berbentuk kursi. (aku lagi)
Meski bukan di rumah ini, pasti akan ada setidaknya
satu kursi Model B3 atau Kursi Wassily yang kokoh berdiri. Nama itu masih terus
melekat dan semakin lama kabar burung bahwa penciptanya adalah pelukis Wassily
Kandinsky akan diterima sebagai faktual, sebab lagi-lagi tidak ada sumber
kredibel yang dapat dijadikan rujukan dan situs Wikipedia sudah lama diblokir.
Sayangnya, penghuni masa depan yang teramat jauh itu
(beberapa) masih tahu siapa itu Wassily Kandinsky (alih-alih Marcel Breuer, si
pencipta asli Kursi Wassily) dan menobatkannya sebagai pelopor aliran seni
abstrakisme sekaligus pencipta Kursi Wassily. Padahal di masa ini kita telah
berdebat bahwa lima tahun sebelum Kandinsky melukis karya abstrakis pertamanya,
Hilma af Klint telah menyelesaikan rangkaian Primordial Chaos di
studionya di kota Stockholm (juga bahwa pencipta Kursi Wassily itu sama sekali
bukan Kandinsky, melainkan Marcel Breuer). Kamu pun membenci karya-karya
Kandinsky.
Menurutmu mereka terlalu biru.
Yang mana? tanyaku. Lukisan Kandinsky atau masa depan yang
teramat jauh itu?
Kandinsky. (kamu)
Kalau masa depan itu, menurutku abu-abu. (kamu lagi)
Aku paham—kenapa kamu menganggapnya abu-abu, bukan
kenapa Kandinsky itu biru. Setahuku dia melukis beragam warna, palet dan kanvas
berlomba-lomba siapa yang bisa tampak lebih carut-marut sekaligus koheren.
Tidak hanya biru. Tapi kamu memang begitu. Kupikir, barangkali biru yang kamu
maksud adalah biru yang lain. Coba kita cek KBBI.
Ah. Ini dia.
Satu lagi perkara yang timbul jauh setelah kematian kita. Atau malah
dekat-dekat ini, ya? Habisnya, belakangan kulihat laporan warta dan masa depan
itu seperti tidak terlalu jauh jaraknya. Apakah sudah sepatutnya kita mati
muda? Padahal jendela patri favoritmu baru selesai dipasang tiga minggu lalu.
Aku masih ingin mengagumi warna-warninya yang ikut terpantul ke lantai ruang
tamu. Tapi aku juga tidak ingin hidup di dunia yang masih punya manusia namun
tak punya kamus bahasa.
Kasihan sekali, para arkeolog itu. Mustahil mereka
memahami biru yang kamu maksud. Mustahil mereka memahami kita. Kamu
justru heran kenapa mereka memilih nasib itu. Andai kamu hidup di Masa Depan
Porak-Poranda (begini kamu menyebutnya), tentu saja kamu tidak akan mengambil
profesi seorang arkeolog. Kamu akan kejar karir yang lebih masuk akal, seperti
tukang fotokopi, atau akuntan.
Sekarang pun arkeolog bukan karir yang masuk akal,
kubilang.
Hampir semua pekerjaan itu tidak masuk akal, tambahmu.
Kamu tidak ingin jadi musisi, meski di masa depan yang
porak poranda?
Kamu merasa tidak mungkin ada musisi di masa depan
tanpa musik—yang ada, nanti malah terjerumus jadi penulis puisi. Semua orang
pun tahu penulis adalah karir paling tidak masuk akal.
Bahwasanya lebih sulit membangun kembali apa yang telah
habis tergerus waktu, dibanding melahirkan sesuatu yang betul-betul baru. Bagi
argumenmu, setiap lagu hanya berakhir menjadi puisi dan setiap puisi berakhir
menjadi kerisut bungkus dadar jagung. Kamu yakin tugas itu pasti sangat berat
sehingga lebih baik serahkan pada orang-orang di masa depan itu saja.
Aku sudah cukup berencana sepanjang masa hidupku yang
ini, kamu bilang.
Aku ini sebetulnya tidak setangguh yang kamu kira,
kamu bilang lagi.
Kamu mengungkapkannya dengan begitu sungguh-sungguh
dan saat itu aku berharap, setidak-tidaknya, mereka menakhlikkan alat super
canggih berupa radio yang bisa menangkap suara-suara masa lalu—masa kini. Dengan
begitu mereka akan terus didorong kembali ke paragraf pertama, mengulang-ulang
apa yang mereka temui lalu mencocokkannya dengan suara-suara kita. Mereka akan
sedikit mengerti. Meski hanya sepotong-sepotong. Meski ini semua angan-anganku
belaka.
Comments
Post a Comment