Teras mendung; ruang tamu
Siapa itu, yang berjemur depan pintu? Sempat kudengar derit pagar disusul deham-deham
meluruskan. Lalu: tuk-tuk, tuk-tuk-tuk. Ketuknya agak ragu-ragu. Mirip
penjaja mi ayam yang lewat cuma Sabtu-Minggu. Tapi, awan tengah bergumul dan
Abang Mi Ayam pasti mulai khawatir bakal kehujanan. Suara itu, datangnya tak
lain dari pintuku. Siapa, yang berjemur di sana? Oh, kamu rupanya! Lambaimu
menjelma dari balik kaca jendela. Wajahmu terpotong garis-garis terali,
mengasingkan telinga kanan dan kiri, hidung dan deret geligi, tegur sapaku dari
balon-balon notifikasi. Hai—halo! Ah, kamu tidak dengar, apa? Kutuding-tudingkan
jemariku ke arah teras yang tak punya atap, lalu ruang tamu sempit yang sofanya
berdempet-dempet. Kenapa berjemur saja di sana? Kamu, kan, sudah punya
kuncinya! Lantas kamu rombak lambaian tangan jadi gestur-gestur riuh di udara.
Entah kenapa aku masih bisa mendengar kata-kata yang mengimbanginya (apakah
karena aku terperangkap sunyi rumah ini, sedang kamu dikelilingi ingar-bingar
teras mendung di Sabtu pagi?) Ada yang belum kurampungkan, ucap bibirmu.
Saat itu aku tahu kamu akan minta maaf lagi. Aku merasa tidak pantas menjadi
penerimanya. Kalimatmu menyuluhi teras, menyalahi iklim dan cuaca, hangat
mendobrak glasir jendela sampai ke lembar kulitku. Kamu tidak masalah menunggu?
Tunggu—afirmasi ini, datangnya dari rumah atau luar sana? Kulihat parade
jingga menguap selagi kamu lafalkan kata sebentar. Teras itu mendung
lagi. Kamu melambai. Derit pagar dan langkah-langkah diam. Padahal,
kelihatannya akan hujan.
okaeri, yoongi
Comments
Post a Comment