本当に大事だったのは 花を変える人なのに

 

Sir John Everett Millais, Ophelia, 1851–52


Yoongi, ada yang mekar dari telingamu. Ini, kamu sebut apa? Aku pernah dengar soal rambutan yang tumbuh di kepala[1], tapi tidak pernah yang seperti ini. Seperti tubuhmu membayangi semayam Ophelia, di satu lukisan cat minyak itu, kamu tahu? Saat kamu malu mendengar pujianku, misalnya, kamu menggosok telinga lalu bermekaranlah lembar mawar dari sana. Kamu tersenyum saja ketika kutadahi rontoknya pada telapakku. Mereka tak layu sampai berminggu-minggu. Itu juga berkatmu, dalih yang bersikukuh kamu cetuskan meski aku tak mengerti apa peranku sebetulnya.

Lambat laun, aku menyadari yang ini dan itu, yang tampak darimu dan semestinya dirayakan setiap penyair kota ini. Suatu malam ungu-biru hortensia berhamburan di atas pianomu menyerupai bintik-bintik konfeti. Bisa menyanyi, dia? tanya salah seorang teman, terselip kagum dalam bisiknya. Aku mengangguk selagi tanganmu terus berdansa dengan balok-balok melodi, suaramu mengalun dan ruang itu ramai disesaki rimbunan warna.

Di lain hari, aku temukan mereka pada rambutmu (bermahkota rangkaian aster lugu), sudut matamu (yang menguncup setiap kamu tertawa lalu tumbuh tapak dara dari padanya), bahu kirimu (tidak sakit? kutanya, kamu menyanggah walau pucuk asoka masih mengucur setiap kamu teringat akan hari itu), lututmu yang merah muda (lingkar serunai untuk secangkir teh kita), ujung tumitmu (terkadang penuh noda, namun katamu teratai masih akan tumbuh dari mana saja[2]). Seandainya bisa, akan kusimpan setiap helai dalam kotak sepatu, pigura, dan vas-vas tembikar yang berebut posisi favorit mereka di samping jendela. Tapi, tidak ada bunga yang ranum selamanya, ya? Jangan tertipu, kamu pernah bilang, jangan terlarut oleh setiap mekarku. Di pagi hari kita mungkin perlu mengganti air vas, memotong cabang yang kering, menggantung sisa-sisa tangkai yang belum hitam. Entah itu sepekan atau dua hari, semua pasti akan rangup nantinya.  

Seandainya aku bisa mengabarimu detik ini, mengirimimu ringkai patera pada selipan suratku, mungkin kamu akan tahu. Yoongi, kamu perlu tahu: sejujurnya, aku tak pernah permasalahkan itu. Taman di musim dingin kian merampas respirasiku, dari tahun ke tahun kupindai setiap penghuni yang hidup sekaligus terlelap hingga April selanjutnya, dan—kamu tahu? Cemara dan pinus di ujung sana, mereka kerap kali mengingatkanku padamu. Mereka yang masih hidup, pikirku. Mereka satu-satunya. Bukankah pohon-pohon cemara tidak pernah berbunga? protes mereka. Barangkali, kamu pun satu-satunya malar yang bermekaran di dunia.

Yoongi, ada yang merekah di pucuk jari-jemarimu. Kali ini bukan kelukur yang pernah kamu ceritakan lima tahun lalu. Kemarin, putik dandelion berderai-derai dari sana, dihempas angin ke segala tempat yang merindukanmu. Restoran di lantai dua, rumah bertembok biru, museum yang memajang semua Af Klint milik kota. Besok lusa, mungkin akan lain lagi. Yang bertunas dalam tanganmu itu, tak pernah bisa kutebak betul siklusnya. Tapi—kamu perlu tahu ini juga—mereka semua sama pentingnya untukku.[3]




d-12

[1] Cerita pendek karya Pratiwi Juliani yang dimuat dalam antologi, Atraksi Lumba-lumba dan kisah-kisah lainnya
[2]The lotus bloom gloriously even in muddy water,” dari D-Day, Agust D
[3]I didn’t even realize that the white flower in the vase has withered, even though the truly precious one was the person who replaces the flower,” dari Chi no Kate, Yorushika

Comments