And it was summer—warm, beautiful summer

Ada impresi yang selalu membekas padaku setiap kali kubaca akhir cerita Snedronningen karangan Hans Christian Andersen. Impresi yang bersedia menemani duduk di sampingku selagi aku bayangkan pot-pot mawar di balkon sempit rumah Gerda dan Kay. Kamu tahu, kan, kalau mereka tidak punya kebun? Rumah mereka saling berhadapan, berdempetan dengan rumah-rumah tetangga mereka, jalanannya pun tidak cukup lebar. Untuk itulah anak-anak pergi bermain di lapangan alun-alun dan orang tua membesarkan pot-pot tanaman di balkon dan jendela.

Kupikir, orang tua Kay akan berhenti menanam mawar setelah musim dingin ketika Kay hilang di tengah badai, sebab Kay sangat menyukai mawar-mawar itu hingga melihat rona merahnya saja akan mengingatkan mereka padanya. Semua orang di desa mengaku sudah tidak pernah lagi melihat Kay sejak musim dingin itu, lalu mereka mulai yakin satu-persatu bahwa bocah itu sudah mati dan tidak akan pernah pulang ke rumahnya yang sempit dengan balkonnya yang sempit dipenuhi kain jemuran serta pot-pot tanaman.

Tentu saja mereka keliru. Kay belum mati dan ia akan pulang bersama Gerda di akhir cerita. Sudah begitu ketentuannya dalam cerita dongeng. Hanya aku tidak terlalu menyalahkan mereka. Mereka tak menyadari bahwa mereka hidup di dalam sebuah cerita dongeng. Yang tidak kuduga adalah bagaimana jalanan dan rumah dan balkon dan pot-pot mawar masih terlihat sama ketika Gerda dan Kay kembali.

Kamu ingat tidak, waktu aku mengajakmu mengunjungi rumah masa kecilku? Sewaktu kita sampai di sana dan rumah itu ternyata sudah tidak ada? Aku ingat rumah itu pun terasnya dipenuhi pot-pot tanaman sehijau cat dinding dan pagarnya. Bahkan ada pohon mangga yang sering dipanjat anak tetangga. Rumah itu selalu tampak teduh. Sayang sekali kamu tak pernah melihatnya sebab rumah itu sudah tidak ada saat kita ke sana. Di tanahnya kini berdiri dua petak rumah bergaya modern seperti dalam brosur-brosur perumahan. Kadang memikirkannya saja aku jadi ingin menangis. Barangkali saat itu pun aku tampak seolah menahan air mataku, lalu kamu berusaha menghiburku dengan mentraktirku es krim di perjalanan pulang.

Aku ingat, waktu itu kamu bilang semua hal di dunia pasti akan hilang, pergi, dan tidak akan sama lagi. Aku diam saja waktu itu. Aku tidak berani memberitahumu betapa takutnya aku. Mungkin ketakutan itu yang dirasakan Jo March di pagi hari sebelum pernikahan kakaknya. Aku tahu Jo sangat ingin lari–namun berlari pun sudah tidak ada artinya saat itu, sebab semuanya memilih untuk tinggal dan Jo hanya bisa menelan kembali mimpi kekanakannya lalu tersenyum dan berpura-pura semua baik-baik saja sampai Meg tak lagi menempati tempat tidur di sisi miliknya; surat-surat Amy tiba hanya beberapa bulan sekali; piano di ruang tengah tak pernah bersuara lagi.

Kita yang sebegitu takut akan perubahan. Aku dan Jo. Dan barangkali kamu juga. Aku semakin sering memikirkannya setelah itu. Kamu sangat yakin bahwa kata selamanya itu tidak betul-betul ada. Apakah artinya kita juga? Apakah dengan menolak selamanya kamu lantas berdamai dengan semua perubahan? Atau hatimu diam-diam masih merindukan masa lalu seperti Jo yang mengecek kotak pos meski tahu betul tidak akan ada apa-apa di dalamnya? Betapa indahnya dunia jika aku bisa selalu pulang ke rumah yang selalu sama; yang berdempetan dengan rumah-rumah tetangga dan balkon sempitnya dipenuhi pot-pot bunga. Betapa bahagia, kupikir, seandainya aku punya seorang Gerda yang meraih tanganku supaya kita bisa pulang ke sana.

Comments