Sachiko


Sachiko, ada seekor tikus kecil di dalam sepanci spageti kita.

Mungkin tikus yang kemarin sudah beranak-pinak, kaubilang. Tikus yang mana, tanyaku. Tikus yang kemarin, jawabmu, yang diam-diam masuk kamar tidur di pagi buta lalu berdiam lama di atas rak buku. Aku tidak ingat pernah ada tikus yang masuk kamar, dan katamu itu pantas saja sebab hari itu aku bangun terlalu siang, kau telah mengusir tikus itu jauh sebelum aku sempat mendengar bunyi cicitnya.

Itu manis sekali, Sachiko. Tapi bagaimana kita akan makan malam kalau tikus yang kecil masih menggerogoti pasta di dalam panci? Agaknya ini kesalahanku karena lupa menutup panci itu. Seperti halnya waktu bungkus terakhir surume kesukaanmu terkoyak plastiknya, isinya tercerai-berai di lantai dapur dan kau jadi sedih sekali karena tikus itu hanya mengambil sedikit surumemu sedang sisanya jadi tidak bisa dimakan lagi.

Bagaimana kalau kita biarkan saja tikus kecil itu mencicit di dalam panci? Ia terlalu kecil untuk menghabiskan dua porsi spageti, tetapi akan lebih baik tinggalkan ia sampai kenyang daripada kita keburu membuang makanan yang tidak akan dimakan siapa-siapa lagi. Selagi menunggu, kita bisa pergi ke konbini di ujung jalan sana, atau ke hanten favoritmu di dekat stasiun, atau ke mana pun yang kau mau.

Kupikir kau setuju, tetapi kaubilang bakal gawat kalau kita tinggalkan rumah lalu orang tua tikus dan keluarga tikus beserta koloni tikus itu akan muncul bergantian selagi kita pergi. Kemudian kupikir-pikir kembali, perkataanmu ada benarnya. Sepanci pasta itu memang harus dibuang, sekarang, bukan nanti, harus sekarang. Sachiko, ambillah swetermu yang paling hangat, sebab di luar dingin sekali. Aku yang akan membuang spageti kitaiya, akan kuusir tikus itu juga. Kasihan sekali, ya, ia akan terpisah dari keluarganya. Tapi tidak apa-apa, kuharap ia bisa tumbuh besar menjadi seorang koki di restoran Prancis.

Oh, kau mau sekalian mengambilkan sweterku? Terima kasih, Sachiko. Di luar dingin sekali. Kita akan pergi makan apa malam ini?

Comments