di tepi karnaval
“Saya lihat mereka,” ujarnya, “di atas kepala saya.”
“Mustahil. Manusia tidak bisa berjalan di udara.”
“Siapa tahu? Kamu bilang begitu karena belum pernah melihat manusia yang berjalan di udara, ‘kan?”
“Taehyung, tidak ada yang pernah melihat manusia berjalan di udara.”
“Saya pernah.”
Terdiam, saya biarkan riuh rendah kerumunan beserta percakapan orang-orang menyelimuti jeda yang tercipta di antara kami berdua. Suara tapak kaki datang dan pergi dari satu ujung gang hingga ujung yang lain lagi. Jalan setapak itu tentunya masih cukup luas untuk dilintasi, meskipun terhimpit dinding beserta pondasi bangunan tua milik kota kecil ini. Namun, sudah lebih dari sepuluh menit sejak Taehyung berlari-lari menghampiri saya dan agaknya ia tak akan membiarkan kami beranjak bila tidak ditanya apa maunya.
“Taehyung,” panggil saya, sengaja memberi antara supaya dapat membaca ekspresinya. Taehyung masih menatap saya dengan mata yang sama; tajam dan penuh ketetapan hati. Saya mengambil napas sebelum melanjutkan, “Di mana, tepatnya, kamu lihat mereka?”
Seolah separuh hatinya telah memprediksi pertanyaan itu, ia tersenyum bahagia lalu menarik lengan saya. “Di tengah alun-alun—ayo, akan saya perlihatkan.”
Kami menyusuri lorong-lorong berpaving balok yang telah bukat ternoda lumut di berbagai sisi, tersembunyi bayang-bayang ramai yang memenuhi jalan utama hanya beberapa meter jauhnya. Akan susah berjalan di tengah kerumunan, demikian mungkin yang berada dalam benak Taehyung, serupa alasan utama kami memilih gang belakang toko buku sebagai tempat pertemuan. Saya dan Taehyung sama-sama lahir dan besar di kota ini. Parade karnaval di luar sana telah kami saksikan setiap tahunnya hingga saya pikir semestinya tidak akan ada lagi yang dapat mengagetkan saya. Namun, Taehyung selalu menyuguhkan sesuatu yang baru di atas meja.
“Mungkin mereka penyihir,” celetuk Taehyung tiba-tiba. Saya memutar bola mata. “Atau mungkin salah satunya. Tidak mungkin dua-duanya, ‘kan? Bila ada dua penyihir, seisi kota seharusnya sudah jadi abu.”
“Maksudmu?” tanya saya. “Kamu percaya penyihir itu ada, tetapi tidak percaya bahwa mereka bisa saja orang baik yang suka membantu sesama?”
“Saya tidak bilang begitu.” Taehyung yang berjalan selangkah di depan saya menolehkan kepala sebentar. “Tapi penyihir itu memang ada.”
“Tahu dari mana?”
“Ada dokumetasinya. Saya pernah lihat yang asalnya dari Romania.”
“Apakah mereka jahat?”
“Tidak. Mereka punya keluarga dan komunitas sosial. Ternyata penyihir itu lebih mirip profesi yang bisa menghasilkan uang juga.”
Saya menaikkan sebelah alis. “Berarti, benar yang saya katakan tadi.”
“Memang tidak keliru,” sahutnya seraya mengedikkan bahu. “Hanya saja, saya pikir penyihir yang bisa berjalan di udara pastinya punya kekuatan di atas rata-rata. Sulit membayangkan skenario di mana orang semacam itu punya hati yang lapang dan tidak pernah menyalahgunakan sihirnya.”
Jawaban itu membuat saya berpikir sejenak. Taehyung pun memilih untuk tidak lanjut bicara lalu kami sama-sama tenggelam dalam benak masing-masing. Saya memikirkan penyihir-penyihir baik hati yang tinggal di Romania, Taehyung entah memikirkan apa. Langkah kaki kami terus menggema di sepanjang gang, bertubrukan dengan ritme tak teratur milik sepatu orang lain yang sesekali bersongsong ke arah berlawanan.
Ketika sampai di satu persimpangan, Taehyung berhenti untuk menyapa seorang lelaki yang tengah duduk di undakan kecil sembari menyulut rokok. Saya tak dapat mendengar percakapan mereka sebab kami telah semakin mendekati keramaian jalan besar menuju alun-alun kota. Jalan berundak yang diduduki lelaki itu mengarah ke sumber ingar-bingar karnaval, sedang jalan di seberangnya merentang jauh kembali ke koridor gelap dan lembap.
Taehyung memanggil. Saya mengalihkan atensi dari suramnya koridor itu kemudian dibalas oleh gestur tangan Taehyung yang melambai-lambai, menandakan berlanjutnya perjalanan kecil kami. Kala hendak melintasi lelaki yang Taehyung ajak bicara tadi, pandangan kami tak sengaja saling bertemu dan saya buru-buru lemparkan senyum padanya. Ia tidak membalas senyum saya.
“Dia siapa?” tanya saya, sesaat setelah berlari kecil untuk mengimbangi langkah Taehyung. “Wajahnya sedikit familier.”
“Oh, dia anak tukang jagal,” jawabnya.
“Tukang jagal mana?”
Saya kesulitan menangkap apa yang dikatakan Taehyung selanjutnya. Hiruk-pikuk memenuhi udara beserta lanskap pagi yang kini tersuar oleh cahaya matahari, tak lagi jatuh terhalang dinding yang catnya lusuh dan pondasi yang berusaha menopang setiap bangunan di hari tua mereka. Hiruk-pikuk itu sedikit mengagetkan saya, meski saya dan Taehyung sama-sama lahir dan besar di kota ini dan telah melihat karnaval serupa sepanjang hidup kami.
Alun-alun penuh sesak. Seolah seisi kota tumpah ruah di satu tempat yang sama, tinggal berjalan lima meter saja agaknya saya akan berpapasan dengan seorang tetangga atau teman sekolah dasar. Pita warna-warni saling menjalin di setiap lampu jalan, di balkon lantai dua milik toko dan rumah-rumah yang juga dipenuhi bunga-bungaan. Setiap restoran menawarkan meja-meja di teras mereka di mana para pelanggan bisa bercengkerama ditemani lemon sekuas. Ada musik dari parade, dari dalam toko dan restoran yang menyalakan radio, dari pengamen yang meniup harmonika di sisi jalan.
Semua orang tersenyum hari ini. Semua termasuk Taehyung, dan mungkin juga saya. Semua orang tersenyum kecuali, mungkin, anak tukang jagal yang merokok di sudut gang. Lantas saya jadi bertanya-tanya mengapa lelaki itu tampak begitu sedih di tengah perayaan.
Tiba-tiba Taehyung memanggil lagi. Agaknya ia telah memanggil saya beberapa kali, dahinya sedikit berkerut sebab bukannya menyahut saya malah terbengong-bengong. Ia pun menggamit lengan saya lalu berusaha berseru keras-keras, “Kamu lihat?”
Kini giliran alis saya yang bertaut. “Lihat apa?”
“Apa? Saya tidak dengar!”
“Lihat apa?” tanya saya lagi dengan suara sedikit dinaikkan.
“Di atas kepala kita!”
Meski masih ragu-ragu, saya ikuti anjurannya untuk menengadahkan kepala. Segera saja keputusan itu disambut suara gong yang dipukul kuat-kuat lalu ribuan konfeti diterbangkan bebas di udara. Angkasa tak lagi merona biru. Seratus macam warna menodainya bagai gula-gula yang ditaburkan pada permukaan kue.
Saya kembali menatap Taehyung, kemudian menggeleng pelan.
Namun, ia tidak menyerah. Ditariknya tangan saya seiring langkah-langkahnya, menerobos kerumunan di sepanjang trotoar seolah sosok kami seringan bayang-bayang. Jantung saya mulai terpacu adrenalin, sedang tubuh saya terus terhimpit laguh-lagah manusia. Kami menyalip sekelompok pemain saksofon di parade, yang meniup instrumen itu terlalu kencang hingga telinga saya mulai berdenging.
Serpihan konfeti masih berjatuhan menimpa kepala dan rambut semua orang. Ketika saya hendak menyerukan namanya, Taehyung berbelok menuju sisi dalam trotoar tempat deretan restoran menata meja-meja mereka dan orang-orang berdansa di sekitarnya. Ia menuntun saya menuju lampu jalan yang tinggi dengan jalinan pita di puncaknya. Taehyung akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Kemudian ia berpijak di tepian lampu jalan seraya berpegangan di tiang besinya.
“Kamu lihat mereka?” tanya Taehyung lagi, sesaat setelah saya ikut pijakkan sebelah kaki pada sisi lain lampu jalan itu. “Di sana—di atas bendera dan balon dan konfeti, di antara atap-atap hijau dan cerobong asap. Mereka melintasi kepala kita, tapi kamu dan seisi kota ini terlalu sibuk memandang satu sama lain.”
Saya berusaha menuruti arah telunjuk yang ia acungkan. Ke atas bendera dan balon dan konfeti. Di antara atap-atap rumah dan pertokoan serta cerobong asap mereka yang memuntahkan kabut kelabu. Pada momen itu, saya sungguh ingin mempercayai apa yang dikatakannya.
halo nona, situs anda cantik sekali, apalagi cerita-cerita di dalamnya—ini adalah salah satu favorit saya karena berlatar di salah satu anime ghibli favorit saya—sangat menarik. semoga nona bisa terus menghasilkan karya yang menarik.
ReplyDeleteHalo! Terima kasih banyak sudah mampir, membaca, dan berkomentar. It makes me happy to know that you enjoyed reading this story :)
Delete