I'd grow a new kind of evergreen tree, just for you and me
Le rayon vert (1986) |
“Belakangan saya sering memikirkan puisi yang kamu tulis.”
“Puisi?”
“Tidak usah pura-pura, Min,” sindirmu. Sebelah tanganmu meraih stoples kecil dari tengah meja. “Gula satu setengah sendok saja?”
Yoongi mengangguk. Rambutnya disisir hela angin sedang matanya menangkap bagaimana kamu tersenyum kecil kala mendapati stoples-stoples di meja masing-masing punya label penanda; gula, merica, lada. Yoongi sendiri yang tempelkan semuanya, gara-gara suatu waktu ketika meja itu pertama dibawa keluar karena dapur sudah kesempitan dan seluruh penghuni rumah setuju untuk membeli countertop baru yang lebih ramping. Taehyung lah yang pertama punya ide untuk menggelar kain bekas seprai putih memudar di atasnya, menata sepuluh set alat makan lalu bersikeras mengabsen semua orang untuk menyantap aglio e lio racikan Namjoon bersama-sama (it was a great night, tapi Namjoon sempat salah menaburkan gula halus yang disangkanya MSG).
“Saya sudah baca semua buku resepmu.” Kamu melanjutkan seraya mengaduk secangkir teh dengan bunyi denting berirama. “Bukan salah saya, kalau di antara daftar bahan budae jjigae-mu itu ada coret-coret sajak yang salah tempat.”
Bergeming sebentar, bagai menunggu angin menampar kesadarannya pada realita, Yoongi akhirnya menghela napas lalu memijit keningnya. “Itu cuma iseng-iseng. Saya bukan penyair handal macam Shakespeare.”
Kamu terkekeh pelan. “Tulisanmu bagus, menurut saya, untuk ukuran iseng-iseng.” Niatnya memuji, tapi kedua pipi Yoongi malah merona mendengarnya. Ia mengusap wajah lama-lama berharap kamu tidak menyadari betapa malunya ia sekarang.
“Belakangan saya terlalu sering mengintip larik-larik yang kamu tulis itu. Beberapa sampai menempel terus di kepala saya. Kalau tidak salah, favorit saya bunyinya begini: ‘like how all dead leaves eventually fall / like how all that felt everlasting eventually gets far away / you are my fifth season.’¹ Cantik sekali!”
Baik penjelasanmu maupun atmosfer September sore sama sekali tidak membantu Yoongi yang dalam hati ingin mengubur diri hidup-hidup. Lagian, orang bodoh mana yang menyatukan catatan puisi dengan buku resep memasak kalau bukan dirinya seorang? Sambil berusaha memasang ekspresi biasa-biasa saja, ia menyambar cangkir teh kamomil yang kamu sodorkan.
“Hati-hati, masih panas,” ujarmu. Namun Yoongi keburu mengecup bibir cangkir lantas nyaris menyumpah-nyumpah karena teh itu memang masih teramat panas.
“Tidak perlu malu, Min.” Kamu menyerahkan selembar sapu tangan, mengamati selayang wajahnya merona senja, berusaha sembunyikan garis senyummu. “Saya tak akan bilang siapa-siapa. Cuma ingin memberitahumu saja, kamu cocok jadi penyair.”
“Dan konsekuensinya? Mendengarmu menyanjung puisi-puisi saya setiap pagi?”
Kamu mengangkat bahu. “Kalau itu yang kamu mau. Hanya mungkin tidak bisa setiap pagi, soalnya saya sudah tidak tinggal di sini. Bagaimana kalau seminggu tiga kali?”
Mendengus, Yoongi meraih telinga cangkirnya lagi; kali ini ia pastikan untuk meniup pelan-pelan genangan pekat di dalamnya. Saat itulah ia teringat bahwa sore itu kamu datang sebagai tamu di dapur dan halaman belakang. Awalnya untuk meminjam oven pemanggang (kamu sudah lama ingin membuat seporsi cannelloni, tapi tidak ada oven di apartemen barumu), kemudian sekalian saja Yoongi mengundangmu minum teh bersama pepohonan dan semak-semak serta bunga-bunga kesayangan Namjoon.
“Min, kamu tak ingin tanya mengapa saya suka puisimu yang tadi?”
“Karena kamu habis putus cinta?”
“Tidak sopan,” gerutumu.
“Salah, ya? Saya kira kamu sendiri yang bilang waktu itu,” kilahnya. “Kamu pindah untuk ‘mencari suasana baru’, bukan?”
“Memang, tapi tidak ada yang bilang saya habis putus cinta.”
Yoongi tidak menjawab lagi. Beberapa ekor lebah sibuk melintas, hinggap dari pucuk-pucuk kenikir kuning lalu pulang ke sarang mereka entah di mana. Agaknya kamu tak sebegitu ambil pusing meski dahulu kamu jadi orang pertama yang ribut saat mendapati kotak pos telah menjadi rumah sekelompok burung layang-layang. Sama halnya dengan responsmu tadi ketika Yoongi bilang Jeon Jungkook sibuk membaca The Bell Jar sambil menangis setiap malam di kamarnya, atau sayang sekali kamu tidak bisa ikut pesta barbeku kemarin lusa, atau dapurnya jadi sepi tanpa kamu.
Yoongi sampai hapal akan cengiran lebar serta deret gigi yang kamu pamerkan, kadang-kadang juga kepalan ringan yang kamu hadiahkan pada lengannya. Menurutmu, cara bicara Yoongi terlalu sentimental seolah kamu sudah mati padahal kenyataannya kamu cuma pindah ke distrik sebelah yang jaraknya cuma lima belas menit naik sepeda dari sini. Kamu, kan, bukan satu-satunya teman memasak Yoongi di rumah. Masih ada Seokjin yang tidak mungkin menolak asal dibayar janji memancing pekan berikutnya, atau Mira yang tidak suka basa-basi tapi cekatan mengiris bawang.
“Di rumah ini ada terlalu banyak orang untuk kamu sebut sepi,” katamu.
Dan kamu benar. Rumah itu terlalu ramai hingga kadangkala Yoongi merasa tinggal dengan sembilan orang di bawah atap yang sama merupakan pilihan hidup terburuk yang pernah ia ambil. Belakangan isak tangis Jungkook dari kamar sebelah membuatnya khawatir, dan kebiasaan Taehyung menyalakan blender pagi-pagi masih menganggu ketenangan sarafnya yang cuma ingin duduk diam menikmati secangkir kopi.
Di rumah itu ada terlalu banyak orang. Kamu hanya tidak tahu berapa kali dalam sehari Yoongi mondar-mandir di dapur dan berharap, di tengah keramaian itu, ada kamu yang bakal merecokinya perihal saus kari yang terlalu encer atau bokkeumbap yang kurang pedas.
“Setelah ini musim gugur, Min,” celetukmu, mengingatkan Yoongi bahwa musim panas nyaris berlalu dan artinya sudah nyaris tiga bulan sejak ruang 203 di lantai dua kosong kamu tinggalkan. “Kamu tahu, saya pertama pindah ke sini musim gugur dua tahun lalu?”
“Oh, ya?”
“Iya. Waktu itu saya cuma kenal Hoseok, Kak Sofi, dan Ai. Karena sisanya mahasiswa semua, mereka keluar satu-persatu setiap libur semester, lalu digantikan kalian.”
Itu
pasti kisah lama—jauh
sebelum Yoongi pertama melihat iklan boarding
house tertempel pada sebuah tiang listrik jalan satu tahun yang lalu,
kemudian datang menempati kamar keempat yang paling dekat dengan kamar mandi lantai
satu. Pada iklan tersebut tertulis bahwa beberapa ruang disewakan hanya untuk
orang dewasa berusia legal dengan penghasilan tetap. Terus terang, ia tak bisa
membayangkan kembali ekspektasi awalnya soal rumah itu: boarding house yang sepi dan tenang di mana ia bisa menjalani
hari-hari bebas kericuhan.
“Cepat sekali, ya?” Lamunan Yoongi terbuyar kala mendengar suaramu, menembus sore layaknya cuit burung layang-layang; mereka masih suka mampir meski sangkar di kotak pos itu sudah beralih kembali fungsinya. Dengan lirih, kamu melanjutkan, “Rumah ini tahu-tahu jadi hangat sekali—padahal baru dua tahun.”
Lalu tahu-tahu sudah akan musim gugur lagi. Begitu, bukan, yang ingin kamu ungkapkan? Namun sekeliling kalian masih sehijau air kolam berlumut tempat kura-kura peliharaan Jimin suka berenang-renang. Sekoloni lebah masih berdengung-dengung dan bunga-bunga Namjoon masih merekah bahagia. Rumah itu masih sama ramainya seperti hari-hari lalu. Yoongi hanya tak mengerti kenapa kamu harus pergi—sekaligus meninggalkan banyak jejak presensimu di sini.
“Aira sempat tanya kenapa kamu tak pernah menghubunginya lagi.”
Agaknya kamu tak menduga-duga kalimat itu akan terlontar dari bibirnya. “Memangnya saya menghubungimu setiap hari? Tidak, kan?” jawabmu, berusaha sembunyikan emosi berlebihan.
“Tapi Aira teman dekatmu.” Yoongi mengedikkan bahu. “Saya? Saya, kan, bukan siapa-siapamu.”
Ada sebuah jeda—cukup panjang bagi Yoongi yang mendapati markah-markah berserak di sekitarnya. Ia pungut beberapa lantas merakit mereka jadi sebuah praduga. “Kamu masih menghindari Aira?” cetusnya.
Sanggahanmu selanjutnya tiba nyaris terlalu cepat. “Saya tidak menghindari Ai.”
Maka Yoongi anggap itu sebagai indikasi penentu apa yang ia yakini. Yoongi tidak sebodoh itu untuk mengabaikan bagaimana kamu menolak undangan dua hari lalu dengan alasan sepayah sedang tidak enak badan, atau kamu yang sengaja memilih hari Selasa untuk datang meminjam oven; lantaran kamu sadar sampai malam nanti hanya Yoongi, Hoseok, dan Jimin yang ada di rumah.
Pemuda itu menghela napas. “Saya tahu,” katanya kemudian, “soal kamu dan Aira.”
“Semua orang tahu. Kamu tidak spesial, Min.”
“Semua
orang tahu—kamu bertengkar dengan Aira, lalu kamu pindah, selesai.”
“Ya? Lalu?”
“Saya tahu, kamu habis patah hati.”
Sorot matamu bersuara lebih banyak dari seharusnya. Kamu buru-buru membuang muka pada kain seprei yang Taehyung jadikan taplak lusuh; kini ternoda bercak makanan di sana-sini. Yoongi tak perlu menanti balasanmu untuk menguntai benang-benang kusut di kepalanya. Kenapa kamu pergi tiba-tiba? Kenapa baik kamu maupun Aira tak ada yang pernah mengungkit kembali topik argumen kalian? Hingga setiap orang mengira kalian bersitegang karena perkara filantropis—tetapi Yoongi yakin persoalannya tidak sesimpel itu. Ia selalu amati bagaimana kamu tersenyum di hadapan Aira; pendek dan manis. Bagaimana kamu mengingat makanan kesukaannya, apa yang tak bisa dimakannya beserta alerginya pada kacang-kacangan. Ia melihat Kim Aira di matamu, di antara percakapan kalian, di langkah-langkah kakimu yang menemani Yoongi di dapur setiap pagi.
“Persis seperti yang kamu tulis, Min.” Suaramu kembali mengudara, lirih. Yoongi mengangkat kepala kemudian dapati kamu tersenyum tipis. “Yang mati akan gugur, yang konstan pun akan menjauh pada akhirnya. Sekarang kamu tahu, kenapa saya suka puisimu? Terkadang rasanya seperti kamu mengintip isi kepala saya tanpa permisi.”
“Terima kasih.”
Tak lama terdengar Yoongi mengaduh pelan sebab kamu menendang betisnya. “Sebelum kamu bertanya lagi,” lanjutmu, tak menghiraukan pemuda itu yang kini meringis seraya mengusap jejak sepatumu di sebelah kakinya. “Saya tak berniat untuk menemui Ai lagi.”
“Jadi Aira memang sudah tahu?”
“Tahu apa? Oh—entahlah. Dia tidak bodoh, Min. Mungkin dia telah tahu sejak lama.”
“Kamu tak ingin memberitahunya?”
“Kamu sinting?" bisikmu, sambil menengok sekeliling takut-takut Hoseok atau Jimin tiba-tiba menampakkan batang hidung mereka. "Bagaimana kalau dia membenci saya?”
“Tak ada bedanya, toh, kamu pun tetap berniat tidak menemuinya lagi.”
“Terima kasih, Min. Tapi dia sudah jadi musim kelima saya. Saya lebih tidak ingin membebani pikirannya cuma karena temannya menyimpan perasaan aneh-aneh.”
“Tidak ada yang aneh,” jawabnya, “setiap manusia boleh jatuh cinta.”
Kamu memberinya senyum. Senyum yang pendek dan manis. Dan Yoongi pikir, mungkin—mungkin kamu benar. Bahwa suatu hari rumah itu akan dilanda musim gugur. Persis seperti puisi-puisinya; rumah yang hangat dan dipenuhi cinta itu akan diterpa angin, merontokkan semua dedaunan yang mati, di mana bunga-bunganya akan layu lalu kebunnya tak lagi sehijau dulu.
Di hadapannya, secangkir teh kamomil terlanjur mendingin tanpa jejak-jejak uap mengangkasa. Yoongi ingin sekali memberitahumu, ia berharap kamu masih berniat untuk menemuinya lagi, lagi, dan lagi.
aaahh jadi si kamu ini naksir sama aira ya? haduh.... kok saya jadi jatuh cinta sama yoongi :( btw tulisannya cantik bgttt
ReplyDeleteYapp betul hehe, saya yang nulis pun jatuh cinta sama Yoongi kok :")
Delete