Anemoia
Ingatkah kamu pada suatu pagi di pasar Minggu, sewaktu ia mematung ragu-ragu lima kaki di belakangmu? Ia pakai sepatu teman sekolahnya yang ia pinjam buru-buru, sebab semua sepatunya bergaya mokasin dengan punggung terbuka sedang ia kira hari itu akan secerah kemarau panjang ketika kalian masih balita.
Kamu mungkin terlalu sibuk menyeimbangkan plakat di meja, sehingga tak menyadari ia telah berdiri mematung di belakangmu tiga puluh detik lamanya dan ketika kamu kembali berdiri tegak barulah ia beranikan diri menyapa: “Selamat pagi.”
Ingatkah kamu warna sepatunya pagi itu? (warnanya biru) Ingatkah kamu senyumnya yang canggung lantaran kalian tidak saling bicara sejak dua bulan lalu, kendati raut buncah di wajahnya perlahan luntur ketika kamu balas menyapanya selamat pagi? Ia berharap kamu memuji sepatunya (meski sepatu itu bukan miliknya), ia menduga kamu akan bertanya di sini sedang apa (meski ia tak yakin harus menjawab bagaimana), ia pikir ponimu yang baru dipotong itu terlalu pendek tapi tetap terlihat manis untukmu. Namun kamu cuma balas tersenyum lalu kembali menjajarkan lima belas jenis cangkang kerang di atas meja, dan kalian sama-sama terdiam sampai ia bilang cangkang-cangkang cantik itu pasti akan tandas dibawa orang-orang ke setiap ruang tamu mereka.
Tentu saja, ia tak memberitahumu bahwa ia masih simpan satu dari setiap lima belas jenis cangkang kerang di sisi tempat tidurnya. Ia paling suka cangkang kerang terompet yang berpola mirip pecahan tebing di bibir pantai tempat kalian sering bermain-main dulu. Ia juga suka cangkang kerang kipas yang mengingatkannya pada cerita-cerita manusia ikan. Mereka tinggal dalam kepalanya sekaligus di dasar lautan, suka makan alga cokelat dan bicara bahasa bayi anjing laut yang kerap membuatmu tertawa terpingkal-pingkal. Ia tak memberitahumu apa-apa lagi sebab kamu cuma memberinya terima kasih dan tak lama sepatunya sudah kemasukan pasir pantai gara-gara ia berlari terlalu kencang.
Comments
Post a Comment