di rumah, di pekarangan

Les Iris (1889, Vincent van Gogh)


Namjoon meninggalkan sebatang bonsai di kamar mandi.

Kamu tak bisa memutuskan apakah alasan sebetulnya karena pemuda itu memang terlalu ceroboh atau ia sengaja meninggalkannya di sana. Setidaknya dua jam telah berlalu sejak taksi yang dinaiki Namjoon melaju melalui jalan sempit depan rumahmu, ke arah bandara di bagian timur kota, sehingga sudah agak terlambat ketika kamu menyadari sebatang bonsai dibiarkan teronggok di kamar mandi.

“Harus kuapakan dia?” tanyamu pada tetangga sebelah, Jung Hoseok, yang mengetok pintumu siang itu karena ingin meminjam tongkat pengganti lampu.

Hoseok mengangkat bahu. “Ya rawat saja?” jawabnya, meski terdengar lebih mirip pertanyaan; seolah tidak yakin apakah yang kamu sebut dia memang sebatang pohon bonsai mungil atau bayi dalam keranjang yang tak sengaja kamu temukan hanyut di sungai.

“Tapi ini kesayangannya Namjoon,” kamu berdalih, semakin membuat Hoseok keheranan sekaligus bertanya-tanya secantik apa bonsai yang bisa lolos kriteria kesayangannya Namjoon.

“Menurutku,” lanjut pemuda itu akhirnya, “lebih baik beritahu Namjoon dulu.”

Hatimu masih gelisah. Namun kamu tidak bisa terus mendebat Hoseok sebab tetanggamu itu buru-buru ingin mengganti lampu ruang tamunya. Mumpung masih siang, katanya. Deret rumah kalian terletak di puncak bukit tak jauh dari pantai, tapi orang-orang yang akan pergi ke pantai biasa melewati jalan satu lagi—yang tanpa rute menanjak. Alhasil rumah kalian bisa dibilang agak terpencil, jalanannya sempit dan aspalnya bolong-bolong, kalau malam minim penerangan ditambah banyak serangga (sampai hari ini kamu masih heran bagaimana Hoseok yang takut serangga masih betah tinggal di rumahnya).

Hoseok melambai padamu dari terasnya sebelum ia masuk dengan hati-hati agar tongkat pengganti lampu yang dibawanya tidak terantuk daun pintu. Benda itu memang panjang sekali karena langit-langit rumahmu cukup tinggi. Kamu telisik kepala mungil Hoseok dan setiap inci tongkat yang semakin memendek sampai hilang dari pandangan, di antara pagar kayu setinggi bahu dan semak-semak hortensia yang tumbuh berjajar membatasi pekarangan rumah kalian.

Mungkin Hoseok benar, pikirmu, seraya perlahan menghampiri semak-semak hortensia yang telah mekar. Kamu tak pernah begitu memerhatikan kapan mereka mulai mewarnai lanskap pekarangan, merona lembayung sampai merah muda. Betul-betul, tahu apa kamu soal tanaman? Sedari awal pun hijau rumahmu tampak cantik karena tangan Namjoon, sedang kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan di restoran pinggir pantai; tak punya waktu membantu temanmu berkebun. Seingatmu, Namjoon pernah bercerita kalau warna kelopak hortensia berubah sesuai tingkat asam tanah (kamu tak ingat persisnya, pokoknya Namjoon paling suka hortensia warna biru muda). Kadang kamu bertanya-tanya kenapa ia tidak jadi penjual tanaman hias saja, daripada jadi penulis buku yang bayarannya kecil dan sering bepergian keluar kota meninggalkan kebunnya sendirian.

Hela napasmu tersapu oleh angin. “Harus kuapakan dia?” tanyamu lagi, kali ini melalui bisik-bisik pada mekarnya hortensia. Mereka terdiam dan kamu sadar kalau bunga-bunga tak bisa diajak bicara.

Ah, tapi, bukannya Namjoon pun melakukannya setiap saat? Bicara dengan bunga-bunga, maksudmu. Kamu sering memergokinya bersiul sambil sesekali menanyakan, tadi pagi kamu sudah kusiram, kan? atau kok bisa daunmu digerogoti ulat lagi? pada setiap pot tanaman yang berbaris di teras. Biasanya terjadi pagi sekali saat kamu melangkah keluar kamar mandi atau sepulang kerja ketika motor bututmu kamu parkir di tepi pagar (supaya asap knalpotnya tidak mencemari pekarangan yang sudah hijau asri). Teorimu, mungkin Namjoon itu punya semacam kekuatan supranatural; seperti Nabi Sulaiman yang bicara pada binatang.

“Biasanya, Namjoon menyiram kalian pukul berapa?” lanjutmu, masih kepada serumpun hortensia, dan mereka tetap bergeming sehingga kamu pikir agaknya perlu bertahun-tahun untuk menguasai bahasa tubuh tumbuhan. Mungkin kamu harus berkenalan dan membangun pertemanan sejak mereka masih berupa tunas, barulah mereka mau membuka diri padamusebagaimana hubungan antar makhluk hidup pada umumnya.

Kamu dan Namjoon pun seperti itu. Kalian telah saling mengenal lama sekali sampai kamu tidak yakin sudah berapa tahun tepatnya. Kalau tidak salah sejak masa kuliah ketika kalian sama-sama bekerja sambilan jadi pengantar koran (satu-satunya pekerjaan yang cocok untukmu karena cuma makan waktu di pagi hari, sedangkan Namjoon bilang kebetulan ia suka-suka saja disuruh bersepeda keliling kota). Tak lama setelah lulus, kamu pindah ke area pantai utara lalu bekerja di restoran lokal; profesi utamamu sampai saat ini. Menyewa rumah di puncak bukit bukanlah satu dari daftar rencana jangka panjangmu. Rumah itu sama mengejutkannya dengan Namjoon yang suatu hari meneleponmu untuk bilang ia bersedia membayar setengah biaya sewa.

Barangkali, suatu hari kamu akan beli rumah ini—suatu hari, kalau tabunganmu sudah mencukupi dan tidak ada biaya kuliah adikmu yang harus dibayar enam bulan sekali. Lagi pula, pekarangannya terlalu cantik untuk diserahkan pada orang asing (itu pun kalau ada yang mau menyewa rumah ini selain kamu dan Namjoon). Ada tetanggamu, Hoseok, tapi kamu tak yakin ia mau direpotkan mengurusi kebun orang.

Bergumam, kamu berbisik lirih untuk terakhir kali, “Kalian beruntung sudah ditanam di sini.” Kemudian tungkaimu melangkah kembali ke rumah, melintasi pekarangan dan teras, meninggalkan semak hortensia yang mengangguk-angguk diterpa angin. Kamu harus menelepon Namjoon dulu, pikirmu. Namun baru saja kamu menjejakkan kaki ke ruang tamu, di atas meja layar ponselmu berkedip-kedip dan getarannya bergema. Nama Namjoon terpampang di sana.

“Aku sedang di jalan,” ujar suara di seberang sana, sesaat setelah kamu menempelkan ponsel ke telinga padahal belum sempat berkata apa-apa.

Kamu diam sebentar. “Ke bandara?”

“Ke rumah,” jawab Namjoon. Lantas kamu jadi semakin bingung.

“Rumah?” tanyamu, hendak memastikan kamu tidak salah dengar. “Pulang ke rumah?”

Gumam balasan Namjoon agak sulit terdengar, agaknya supir taksinya ugal-ugalan. Yang bisa kamu tangkap cuma: “Aku baru sadar bonsaiku tertinggal.”

“Iya,” tukasmu, berharap suaramu tidak putus-putus. “Di kamar mandi.”

“Sekarang di mana?”

“Di meja ruang tamu.”

“Oke.”

“Penerbanganmu bagaimana?”

“Apa?”

“Jadwal pesawatmu. Sebentar lagi, kan?”

“Oh. Aku tidak jadi pergi.”

“Tidak jadi?”

“Iya.”

“Kenapa?”

Lagi-lagi suara Namjoon terhalau ramai lalu-lintas dan bunyi klakson yang menjerit-jerit. Kamu tak dapat menangkap apa yang dikatakannya. Tanda tanya di wajah kamu lemparkan pada jam tua yang mendiami tembok abu-abu, pada kursi-kursi dengan bantalan biru serta sebatang bonsai di atas meja yang Namjoon tinggalkan bersamamu.

Tiba-tiba saja sambungan terputus. Sebelum pikiranmu sempat mencerna semuanya, sayup-sayup terdengar suara seseorang beserta derap langkah kakinya. “Pak Yoongi! Pak!” panggil suara itu. Kamu menoleh dan mendapati Jung Hoseok menerobos pintu depan yang tadi kamu biarkan terbuka. Wajahnya memerah sedang napasnya tersengal-sengal kala ia melaporkan, “Di halamanku ada biawak.”

(Terkadang kamu heran bagaimana Hoseok masih betah tinggal di rumahnya. Sampai kemudian kamu tersadar, kamu tinggal bersebelahan dengannya.)

Comments