Bintang, Sekarat

Yoongi. Yoongi. Kadang aku ragu hendak mengetik namamu, padahal enam huruf itu selalu mengendap di kepalaku. Kadang aku takut keliru mengeja namamu. Aku kerap memutar kembali rekaman yang kuambil waktu itu, karena sudah lama sekali dan barangkali suaraku sudah berubah一atau aku semata-mata melupakan bagaimana namamu terdengar sambil lalu, berulang-ulang seperti diiris sembilu. Bagaimana kedengarannya dari telingamu? Ah, pasti sama saja seperti yang lainnya. Sorakan bertalu-talu. Kamu menyukainya, kan? Aku bisa sebutkan sepuluh hal yang paling kamu suka di dunia, tapi di antaranya tidak ada yang bisa melampaui kesukaanmu pada sorak-sorai itu.

Yoongi. Yun-gi. Seandainya aku tak bisa merisikkan namamu dengan benar, jangan membenciku, ya? Namamu terdengar seperti lengang di sore hari, atau senyap di malam hari, seperti pantai dengan ombak menjilat-jilat seirama bisik-bisik hitungan saat kita mencongak bintang-bintang. Satu. Dua. Tiga. Lihat一di sana ada ekor merah Antares! Bintang mana yang jadi favoritmu? Bintang itu? Katamu, bintang favoritmu sudah mati dahulu sekali. Bintang itu meledak ketika manusia masih sibuk memperdebatkan kenapa air mengalir ke bawah dan bukan ke langit. Di langit tidak ada sungai, kamu bilang, di langit hanya ada bintang yang sekarat.

Yoongi, sudah lima tahun dan lagu itu masih mengingatkanku padamu. Yoongi, kita mungkin tak bisa bertemu lagi. Kenapa? Kenapa, ya, aku kurang yakin, tapi siapa tahu? Siapa tahu akan jadi seperti apa besok? Akan jadi seperti apa kita? Jari-jemari kita belum tanggal, tapi bagaimana dengan atma yang kita genggam di antaranya? Di ujung sana seperti tidak ada apa-apa. Yoongi, kadang, kuharap kamu mau menunggu. Menungguku yang mengeja namamu saja tak mampu.