最終回: Vector of Fate, in Retrospect

Eighteen is a messy age. You think you're an adult (you aren't). You think you know better than everyone else (you don't). You think every decision you make will impact your life forever (it won't).



Itu kutipan dari review film Lady Bird (2017) di situs Letterboxd. Buat orang yang belum begitu lama hidup dan melihat dunia, aku impressed banget sama kutipan itu—menurutku dia nggak cuma menjelaskan poin utama film yang diulas, tapi juga merepresentasikan kehidupan di mata para remaja yang beranjak menuju kedewasaan. Lady Bird sendiri adalah sekeping karya yang bisa memproyeksikan premis itu dengan cara yang indah, meski tentu saja nggak relatable untuk semua orang, menurutku dia masih termasuk satu film coming of age terbaik yang pernah kutonton. Dan kalau boleh percaya diri sedikit, Vector of Fate adalah coming of age versiku.

Aku mulai nulis VoF saat masih kelas 1 SMA, umurku masih 15 tahun dan aku belum banyak belajar soal kaidah kepenulisan yang benar—aku baru mulai serius suka nulis setahun sebelumnya. Berbekal niat dan cinta yang besar ke Bangtan, aku semangat banget mengubah ide-ide di dalam kepalaku jadi tulisan yang selalu ditunggu-tunggu temen di sekolah. Itu kali pertama aku nulis cerita bersambung, dan pertama kalinya aku punya pembaca tetap. It was really fun, aku sering melamun pas kelas tambahan Bahasa Jerman buat mikirin plot yang mau kutulis. Kayaknya dulu aku rajin banget, nyaris tiap minggu update satu chapter, rata-rata isinya 2000-3000 kata. Yah, meski lama-lama rasa malas itu menyerang juga.

Pernah nggak sengaja nemu kertas bekas kamu surat-suratan sama temen di sekolah? Ngomongin cowok kelas sebelah yang diem-diem kamu taksir dan kamu nggak pengen ketahuan sampe terpaksa nyebut pake nama samaran? Barangkali rasanya saat nemu barang semacam itu nggak beda jauh sama apa yang kurasakan saat baca ulang tulisan-tulisan lamaku, termasuk VoF. Cringe, jijik, geli, ingin menghapus sisa-sisa eksistensinya dari muka bumi—sayangnya nggak bisa.

Tulisan lama itu penting. Sama halnya dengan nulis buku harian—mungkin nggak semua orang setuju sama aku soal ini, tapi buku harian itu penting buat proses kedewasaan seseorang. Menilik tulisan lama itu ibaratnya sama kayak menyusuri kembali semua jalan yang pernah kamu lewati di satu titik kehidupanmu. It helps you to understand. Kamu bisa merasakan nostalgia, bisa inget-inget kapan kamu pernah jatuh kesandung karena jalan serampangan nggak lihat ke depan, bisa tersadar kalau selama ini kamu seenaknya lewatin sampah plastik yang dibuang sembarangan ketika harusnya kamu pungut lalu buang di tempat sampah. It taught you many things that you won’t ever get from everyone else. It’s a gift from yourself to the future you.

Vector of Fate selalu berhasil bawa aku kembali ke masa-masa SMA, ketika ngerjain ujian Aqidah Akhlak malah umpetin contekan di loker meja, ketika hal terbesar yang kukhawatirkan masih sesimpel apakah aku bakal remed Antropologi atau nggak. Di lain sisi, VoF juga menggambarkan langkah-langkah kaki yang kuambil sepanjang karir menulisku (yang sebenernya nggak pantes disebut ‘karir’ juga, sih). Aku memulai dari nol, mulai dari nggak bisa bedain di+kata kerja sama di+kata keterangan sampai nulis pakai diksi dibagus-bagusin. Jadi admin di OA fenfik BTS, masuk komunitas kepenulisan, dapet temen sesama penulis, menang kompetisi menulis, sampai nemu gaya menulis yang aku suka, semua berjalan linear sama proses menulis VoF chapter pertama hingga tamat.

Haha, berasa autobiografi, ya. Mungkin semua pembaca VoF udah tau kalau semua OC di situ based on temen-temenku di sekolah—yang tentunya kucampur sama imajinasiku. Oh, di situ juga ada yang based on myself, istilahnya self-insert. HAYO TEBAK SIAPA //woi. Ketebak banget sih karena biasku Yoongi jadi ya—Song Rahee, siapa lagi??? Tapi, terus terang, detik ini aku nggak bisa bilang kalau Rahee itu self-insert. Aku malah anggep Rahee kayak anak pertamaku, OC pertama yang plotnya tertata sampai ada character developmentnya (aku bahkan udah punya headcanon Yoongi-Rahee pasca mereka pisah yang bisa kamu baca di sini).

Seperti yang kubilang di awal, VoF buatku sama kayak Lady Bird buat Greta Gerwig. It captured a lot from my teenage days, it shaped me the way I am right now, it grows with me—it’s a part of myself. Di sana, kamu nggak cuma bakal menemukan ide-ide halu yang kutata berantakan, tapi juga sedikit curhatan personal, perasaan yang dikubur diam-diam, dan kenangan yang nggak pengen aku lupakan. Terima kasih empat tahunnya, buat Bangtan dan semua pembaca setia, temen-temen yang selalu dukung aku, serta diriku sendiri. Semoga vektor takdir kita dapat bersilang jalan lagi suatu hari.

Your loving,
hvnlysprng

Comments