The Dream of Love
“And I just kept thinking, you were right.
It just wasn’t me that you were right about.”
Rahee menyukai bagaimana Yoongi tak pernah berniat untuk pergi menjauh meski mereka berdua sudah tak punya hubungan apa-apa lagi. Rahee menyukai setiap ajakan Yoongi untuk makan siang bersama di tempat-tempat berbeda tiap beberapa bulan sekali. Rahee masih akan tersenyum ketika mendengar interpretasi Yoongi soal buku yang sama-sama mereka baca, atau film yang sama-sama mereka tonton, atau musik klasik yang sama-sama mereka dengarkan untuk berkonsentrasi pada sesuatu.
Rahee tak pernah tahu apakah ia masih menyukai Yoongi seperti hari-hari yang lalu, seperti tiga tahun lalu saat sang pemuda punya rambut hijau mint mencolok dan senyum manis yang membuatnya makin terlihat mirip kembang gula. Yang gadis itu yakini, ia tak akan mungkin membenci Yoongi.
“Aku serius saat aku bilang, ‘aku sedang tidak jatuh cinta pada siapapun’.”
Kebiasaan baru Yoongi adalah tidak menatap mata lawan bicaranya. Bukan hal sulit untuk menyadari itu. Biasanya sang pemuda lebih memilih untuk sibuk pada bacaannya, coretan lirik yang ia tulis asal-asalan di kertas, atau sekadar pemandangan di luar jendela. Kali ini ia seolah berkata bahwa memerhatikan anak-anak SD bermain bola jauh lebih menyenangkan daripada bicara dengan Rahee, yang duduk di sampingnya seraya melipat tangan di depan dada.
“Apa artinya itu? Kau mau bilang kalau masih ada harapan untukku?”
Rahee tertawa. “Kau tahu apa maksudku,” ujarnya lalu menghela napas. “Aku memberimu ruang, Min Yoongi. Aku bisa melihatnya dengan jelas.”
Untuk pertama kalinya, Yoongi balas menatap Rahee. Ia memberikan ekspresi penuh tanda tanya itu pada Rahee, bukan pada halaman menguning milik bukunya, bukan pada burung gereja yang terbang rendah melintasi langit musim panas. “Apa yang kau lihat?”
“Pilihan untuk memulai sesuatu yang baru—maksudku, dengan orang lain, bukan denganku.” Agaknya kernyit dahi Yoongi terlalu jelas, tanpa sengaja mendorong Rahee untuk buru-buru melanjutkan, “kau bisa pergi kapan saja, aku tak pernah melarangmu. Tapi yang kau lakukan justru sebaliknya. Kenapa kau masih mau repot-repot bertemu denganku?”
“Well, kenapa tidak? Toh, kita bukan sedang bermusuhan. Kita bukan dua orang yang saling membenci dan tak ingin bertemu satu sama lain.”
Pernyataan itu ada benarnya. Rahee memberi sedikit jeda sebelum ia mengulum senyum tipis. “Kurasa itu yang aku suka darimu.”
“Oh. Sekarang kau berkata kalau kau menyukaiku? Oke.”
“Itu bagian dari dirimu yang aku suka,” jawab Rahee. Bibirnya masih mematri senyum, nada bicaranya begitu tenang hingga Yoongi merasa ia sedang bicara dengan Rahee yang lain. Bukan Rahee yang ia kenal sepanjang lima musim panas yang mereka habiskan bersama. Ketika gadis itu melanjutkan lagi, Yoongi membiarkan mulutnya tertutup rapat.
“Ada banyak bagian dari dirimu yang aku suka, beberapa masih kusukai, beberapa membuatku bertanya-tanya apa yang menarik darinya. Dari situ, aku selalu menyimpulkan, ada banyak alasan mengapa aku menganggapmu sempurna. Jika suatu saat aku menulis sebuah novel romantis, aku akan menggambarkan tokoh laki-lakinya persis sepertimu.”
Sinar matahari siang yang mengintip melalui celah pepohonan terasa menggelitik permukaan kulit Rahee. Udara lembap bulan Agustus sedikit mengusik napasnya yang teratur. Di saat seperti ini, ia sangat ingin lari dari atmosfer aneh yang mengelilinginya, mengalihkan pembicaraan lalu mengajak Yoongi membeli es krim ditambah topping marshmallow.
Tapi ia tak boleh berhenti. Mereka tak bisa terus seperti ini.
“Lantas aku seperti dihantui rasa bersalah. I don’t deserve you. I didn’t even treat you that good back then. Aku cuma bisa melukai orang lain, termasuk kau, Yoongi. Tapi kenapa ... kenapa kau tidak membenciku?”
Menghela napas, Yoongi kemudian memalingkan wajahnya, kembali menatap lapangan rumput di hadapan mereka yang kini kosong ditinggalkan. Lelaki itu terlihat lelah, dan bingung—Rahee tak tahu yang mana. Menilik bagaimana ia perlahan menyandarkan punggung pada bangku taman yang tengah mereka duduki, Rahee menebak ia pasti terkejut, meski hanya sedikit. Atensi Rahee tak pernah beralih dari sosok Yoongi, sementara dalam hati sang gadis mulai cemas.
Barangkali ia melewatkan terakhir kalinya pandangan mereka berserobok. Barangkali Yoongi tak akan pernah menoleh, lalu membiarkan Rahee menyelami netra kecoklatannya.
“Kau benar.”
Rahee tersentak. Ia bisa merasakan jantungnya yang seolah jatuh ke perut. Matahari di atas kepalanya terhalang oleh gumpalan awan, ia yakin segalanya mulai menggelap—seandainya Yoongi tidak tiba-tiba menoleh, memberinya senyuman manis.
“Kau memang benar. Aku tak bisa membencimu. Seberapa banyak kita bersilang jalan atau beradu argumen, seberapa sering kau membuatku marah karena hal-hal kecil yang tak kusukai, seberapa besar rasa sakit yang kuterima hanya dari tatapan matamu, kurasa aku tak akan pernah membencimu, Rahee.”
Ada keheningan sesaat. Awan itu beranjak, memberi jalan untuk partikel-partikel cahaya yang mulai memberi warna pada rambut hitam Yoongi.
“Kau hanya salah tentang satu hal,” ujar Yoongi, kurva di bibirnya perlahan luntur. “Kau salah tentangku.”
Saat itulah Rahee melupakan segala soal dunia. Ia melupakan soal udara lembap musim panas yang selalu bertambah sepanjang lima tahun ia mengenal Yoongi. Ia melupakan es krim dan topping marshmallow kesukaan lelaki itu. Ia melupakan bagaimana sosok Yoongi yang disiram cahaya matahari tak pernah gagal membuat jantungnya berpacu.
Saat itu, Rahee hanya ingin memberi Yoongi pelukan hangat, lantas membisikkan permintaan maaf di telinganya—tak peduli meski napasnya tercekat atau sebutir air mata tiba-tiba membasahi pipinya.
Kendati yang ia lakukan justru menggenggam sebelah telapak tangan Yoongi, kemudian berkata dengan nada setengah bercanda, “kau tahu? Aku selalu berpikir, seandainya aku tidak mampir di kehidupanmu, barangkali ... barangkali kau bisa merasa jauh lebih bahagia.”
Rahee menghela napas berat, melempar senyum tipis yang kemudian dibalas oleh Yoongi.
Mereka tertawa. Menertawakan hidup yang membingungkan, hubungan antar manusia yang rumit, serta kenangan masa lalu yang tak akan hilang meski telah dikunci di bagian terdalam ingatan.
.
.
.
ℱℐ𝒩
a/n
sowwy, aku cuma lagi capek mau ngulang nulis sebuah cerita untuk ketiga kalinya. udah sejak lama aku pengen nulis cerita angst-romance tapi belom keturutan. berhubung kemarin adalah 10 tahun sejak rilisnya film favoritku, 500 Days of Summer, aku jadi pengen nulis ulang scene ending terbaik dalam film itu dengan versiku sendiri.
hehe.
kalau dibaca ulang pasti jadi cringe, jadi aku post ini tanpa review h e h e biar aku baca beberapa hari lagi lalu geli sendiri karena ke-cringe-annya👌
Comments
Post a Comment