BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 23)


23


Ketika teman-teman di kelas dan Klub Sastra mencecarku dengan pertanyaan seputar alasan kenapa Kim Taehyung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua OSIS, terus terang, aku tak tahu harus memberi jawaban seperti apa. Aku berasumsi Taehyung telah menemukan passion yang sebenarnya dalam kehidupan singkatnya di SMA. Maksudku, aku menghabiskan nyaris dua tahun melihat lelaki itu mondar-mandir menjajal berbagai macam hal baru, mulai hobi astronomi, melukis, menyanyi, fotografi, sampai mengetes kemampuan berorganisasi di OSIS. Pada akhirnya mau berapa kali pun aku menjelaskan asumsi itu panjang lebar pada telinga-telinga yang terlampau penasaran, mereka selalu meminta lebih.

Rahee ‘kan teman dekatnya pacarnya Taehyung, kata mereka—mencari-cari alasan. Atau bahkan, pacarnya Rahee ‘kan dekat sama Namjoon (wakil ketua OSIS yang menggantikan posisi Taehyung). Padahal menurutku itu tidak nyambung sama sekali dengan Taehyung atau posisi ketua OSIS. Lagian, aku bukan pacarnya teman dekat Namjoon—aku bukan pacar siapa-siapa. Kalau mereka sebegitu ingin tahu, seharusnya langsung tanya saja sama Taehyung.

Maka dari itu, aku putuskan untuk diam saja.

Aku selalu suka diam. Diam adalah pilihan terbaik di antara beribu pilihan yang berbaris di dalam kepalaku. Kadang-kadang diam artinya lari, terdengar tidak bertanggung jawab tapi menurutku bukan masalah karena ada situasi di mana kita cuma bisa lari—seperti saat kamu berjalan sendirian malam-malam dan ternyata ada pencopet yang membawa senjata tajam tak jauh di belakangmu.

Kesukaanku pada diam berlaku untuk hal sesimpel pertanyaan Rahee mau kuliah jurusan apa sampai pertanyaan semengerikan kenapa Rahee menolak ajakan kencan Kwon Soonyoung. Untungnya pertanyaan kedua itu sudah tak pernah kudengar lagi sejak tahun lalu, meski aku bersumpah masih bisa melihat refleksinya di pandangan mata Choi Sengcheol (teman Soonyoung).

Kemarin Kim Seokjin tiba-tiba menghampiriku yang makan sendirian di kantin lantas mulai merepet soal kualitas makanan kantin yang menurun, hingga kemudian berakhir pada curahan hati dan pertanyaan-pertanyaan mengapa Hyeso tiba-tiba merasa lebih baik mereka putus saja. Di lain hari, aku menemani Hwarin duduk-duduk di dekat lapangan basket hanya untuk mendengarnya bicara berapi-api soal Namjoon yang prinsip hidupnya sulit dipahami. Setelah itu, entah datang dari mana, Jungkook mendadak nimbrung dan bercerita kalau Choonhee juga terlalu idealis dan rumit untuk dijadikan pacar. Aku tidak selalu berhasil memahami masalah hidup dan hubungan percintaan teman-temanku, tapi aku yakin mereka mulai bicara tentu karena ingin didengarkan. Jadi aku selalu mendengarkan mereka, dalam diam.

Tidak sedikit orang yang menganggap diri mereka punya otoritas untuk mencercaku hanya karena aku sedikit bicara. Biasanya aku tak peduli, namun ada beberapa kesempatan di mana aku tak bisa sepenuhnya mengabaikan mereka. Lantas aku mulai berpikir, barangkali mereka benar.

Barangkali aku hanya terlalu takut untuk bicara.

Aku tak punya keberanian untuk mengaku bahwa aku selalu menangis tiap menonton film 500 Days of Summer—sedikit banyak karena aku membayangkan hubunganku dengan Min Yoongi yang tidak jelas mungkin bakal berakhir seperti di film itu. Aku tak pernah berani untuk menganggap Yoongi sebagai sosok kekasih karena dia tak pernah benar-benar menegaskan hubungan kami. Aku hanya yakin kalau aku memang menyukainya dan dia (sepertinya) juga menyukaiku. Aku terlalu takut untuk menceritakan isi hati dan kepalaku pada Jimin, pada Hani, pada Hyora yang tiap hari menanyakan apa kabarku baik-baik saja, atau pada siapapun yang khawatir padaku dan berkata mereka tidak keberatan mendengar curhatanku.

Di saat seperti itu, aku mulai bertanya-tanya. Apa suatu saat Yoongi akan membenciku kalau salah satu dari kami berhenti menyukai satu sama lain? Apa orang-orang telah membenciku sejak dulu? Apakah sedang ada yang mulai membenciku karena aku terus-terusan seperti ini?




“Selamat pagi.”

“Pagi.”

“Hari ini naik kereta?”

“Ya. Setiap hari aku naik kereta, apa maksudmu?”

“Tidak apa-apa, aku tahu kau selalu naik kereta.”

Sembari mengerahkan usaha agar keseimbangan tetap stabil di setiap derak gerbong, gadis itu menggenggam erat pegangan yang tergantung di atas kepalanya. Atensi diarahkan pada pemandangan yang terlihat dari jendela di hadapannya—kabur, tersamarkan laju cepat kereta seperti goresan kuas yang kebablasan.

Sesekali, gadis itu mencuri lirikan.

“Kau tak ingin bicara sesuatu?” ujarnya setengah berbisik. Pagi itu gerbong yang ia naiki cukup padat dan ia sedikit enggan bila pembicaraannya terdengar orang.

“Oh.” Pemuda di sampingnya menoleh, kelihatan agak terkejut. “Aku kira kau marah padaku.”

“Aku tidak semudah itu marah pada orang lain sepagi ini.”

Well, oke.” Sebelah tangan sang pemuda terangkat, kini mengusap tengkuknya berharap dapat mengusir rasa gugup. “Tadinya aku mau bilang, apa kau naik kereta agar bisa bertemu denganku hari ini?

Terdengar suara tawa kecil. “Kebetulan saja kok.”




“Hei, kebetulan sekali!” Suara lantang Kim Namjoon menghentikan langkah kaki Hani—kemudian Hyeso yang baru tersadar dua detik kemudian. “Hani-ssi, boleh titip sesuatu?” ujar lelaki itu sesaat setelah mereka berdiri berhadapan. “Tolong berikan ini ke Taehyung, ya?”

Hani menatap bingung lawan bicaranya. “Kardus itu?” tanya sang gadis seraya menunjuk kardus berukuran sedang di tangan Namjoon. Kelihatannya seukuran kardus mi instan yang Hani gunakan untuk menaruh buku-buku bekas di rumah.

Namjoon mengangguk. “Isinya barang-barang Taehyung. Aku sudah berkali-kali mengingatkannya, jangan tinggalkan barang di ruang OSIS kalau dia tidak akan menginjakkan kaki di sana lagi.”

“Aku tahu, tidak perlu repot-repot menjelaskan, aku tahu betul Taehyung bisa bertindak semau sendiri sewaktu-waktu,” ujar Hani, masih enggan mengambil alih kardus yang sudah disodorkan kedua tangan Namjoon. “Tapi, kenapa aku? Kenapa tidak kau berikan sendiri? Bukannya kalian sekelas?”

“Itu rencana awalku. Tapi dia tidak masuk sekolah sejak dua hari lalu.”

Keheningan yang tidak nyaman menyelimuti atmosfer di sekitar mereka. Bahkan Hyeso yang belum sempat mengucapkan satu patah kata pun ikut merasa gugup, terlebih selepas menyadari wajah terkejut Hani yang tentunya tidak dibuat-buat. Barangkali tangan Namjoon bakal pegal-pegal karena terlalu lama menanggung beban sekotak tanggung jawab orang lain, untungnya gadis di hadapannya masih bisa menguasai diri lantas memutuskan untuk menerima kardus tersebut.

Gadis itu masih diam sambil menatap benda kotak yang beralih posisi di tangannya, sehingga sang pemuda berdehem lalu berujar, “Terima kasih ... kurasa? Maaf merepotkanmu, Hani-ssi.”

Berkedip beberapa kali, Hani mendongak, bertukar pandang dengan Namjoon yang sudah hendak beranjak pergi—kelihatannya buru-buru. Sang gadis bahkan belum sempat mengucapkan ‘sama-sama’ sebab lawan bicaranya keburu ngacir.

“Sok sibuk sekali,” adalah kalimat pertama yang akhirnya meluncur dari bibir Hyeso.

“Sok tidak kenal,” sahut Hani. “Kau dengar bagaimana dia bicara begitu formal? Memanggilku dengan embel-embel honorifik ‘–ssi’? Memangnya kita baru kenalan kemarin, apa?”

Mengernyit, agaknya Hyeso tidak setuju—atau lebih-lebih tidak merasa sikap formal Namjoon perlu dipermasalahkan. “Mungkin hari ini Namjoon terlalu banyak urusan formal, bicara dengan guru atau apa—entahlah. Kurasa dia cuma terbawa suasana.”

Hani menggeleng, melirik sosok Namjoon yang menghilang di belokan. Atensinya masih ditujukan ke sana, ke udara kosong di ujung koridor panjang. “Dia bahkan tidak mau repot-repot memberikan barang ini langsung ke orangnya, atau sekadar menengok Taehyung di rumah.”

Well, bukan berarti dia tidak mau. Siapa tahu dia cuma sibuk?” Sedetik setelah menjawab demikian, Hyeso menyesali pernyataannya yang terdengar amat kontradiktif dengan sindirannya pada Namjoon tadi. “Lagipula,” ujarnya cepat-cepat, berharap Hani tak menyadarinya juga, “kau sendiri? Kukira kau tahu kalau Taehyung absen dua hari?”

Tersentak, akhirnya Hani menoleh. “Tidak. Tidak ada yang memberitahuku....”

Ada jeda sebentar sebelum Hyeso bertanya sekali lagi, “kau yakin dia tidak apa-apa? Dia tidak melakukan ini semua karena terpaksa, ‘kan? Dia sudah bicara baik-baik denganmu?”

“Aku tidak tahu, Hye.” Hani menghela napas, atensinya jatuh ke celah penutup kardus yang terbuka sedikit. Meski samar-samar, Hani bisa menebak di dalam sana ada dokumen proker Taehyung yang sering dicoret-coret saat bosan, pot bunga plastik, dan mug bergambar dua belas rasi bintang hadiah pemberian Hani saat ulang tahunnya yang ketujuh-belas. “Aku sudah berusaha bicara dengannya—memberitahunya kalau tiba-tiba mengundurkan diri dari posisinya sekarang ini bisa jadi batu sandungan di masa depan. Jawaban macam apa yang harus diberikannya kalau—misalnya, saat tes wawancara beasiswa—ada pertanyaan menyinggung jabatan ketua OSIS yang berhenti di tengah-tengah?”

Hyeso tak menjawab, cuma menatap figur samping Hani yang ekspresi bingungnya makin kentara kala disiram seberkas cahaya matahari dari luar jendela. Gadis itu masih belum menemukan kalimat yang pas untuk dilontarkan ketika Hani tiba-tiba melanjutkan, “tapi ... entahlah—aku tidak bisa menghentikannya. Kau tahu? Dia kelihatan ... sangat bahagia.”




“Bahagia itu apa, sih?”

“Kenapa bertanya begitu? Kau tidak bahagia sekarang?”

“Justru karena itu aku bertanya.”

Jungkook menatapku, sebelah tangan menumpu kepalanya sedangkan ekspresinya terlihat seperti anak umur enam tahun yang bertanya apa Sinterklas itu nyata. “Aku tidak tahu apakah aku bahagia atau tidak,” lanjutnya.

“Oh, ya?” responku, berhenti merapikan posisi bangku-bangku kosong di kelas—pekerjaan berat yang jadi makin berat gara-gara Jungkook lebih memilih mempertanyakan kondisi emosionalnya daripada melakukan tugas piket dengan benar. Aku mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan, “coba beritahu aku, kapan terakhir kali kau menangis?”

Lelaki itu membeku di tempat duduknya. Dia tiba-tiba menolak membalas pandanganku dan malah mengedarkan atensinya ke seluruh penjuru kelas yang kosong. Hanya ada kami, silau cahaya sore dari jendela, dan sesosok Min Yoongi yang dari tadi tidur menenggelamkan kepalanya di meja.

“Aku tidak ingat,” balas Jungkook cepat-cepat, lebih terkesan menghindar dari pertanyaanku yang enggan dia jawab. “Kau sendiri? Apa kau bahagia, Seokjin-hyung?”

“Aku bakal bahagia kalau kau berhenti memanggilku hyung,” jawabku, mendesah memikirkan sejak kapan Jungkook memanggilku hyung mentang-mentang umur kami nyaris terpaut setahun (dan karena aku lebih jago main Skyrim daripada dia). Panggilan itu membuatku merasa lebih tua dari seharusnya, seolah-olah aku pernah tidak naik kelas satu tahun.

“Kau tahu, itu masih belum menjawab pertanyaanku.”

“Lagian kau dapat pertanyaan begitu dari mana, sih, Kook?”

“Dari dalam kepalaku???”

Menghela napas, aku menahan kalimat tuduhan yang bisa meluncur dari mulutku kapan saja. Aku yakin Jungkook tidak tiba-tiba memikirkan kondisi emosionalnya tanpa punya sebuah pemicu. Mungkin dia mendengar orang lain membicarakannya. Aku amat yakin karena—aku tahu orang lain yang juga mengkhawatirkan hal yang sama.

Ada apa dengan perihal kebahagiaan?

Kemarin aku tak sengaja lewat koridor lalu mencuri dengar obrolan Hani dan Hyeso. Aku tak habis pikir dari mana asalnya, tapi mereka saling melontarkan pertanyaan yang sama persis dengan apa yang dikatakan Jungkook tak lebih dari lima menit lalu. Bukannya aku sok prestisius atau apa, rasanya cuma ironis saat mendengar pertanyaan Hyeso soal kebahagiaannya sedangkan berpapasan denganku pun dia masih punya keberanian untuk melempar senyum palsu—pura-pura melupakan fakta bahwa belum satu minggu terlewat sejak dia memutus hubungan denganku secara sepihak.

Kalau keputusan sepihaknya itu dia rasa yang paling benar, apakah masih ada alasan untuk mempertanyakan kebahagiaan? Bukannya setelah putus kau seharusnya sudah merasa cukup bahagia?

Atau—ah, entahlah, barangkali aku saja yang terlalu memikirkannya berlebihan.

Ketika menengok Jungkook, lelaki itu (untungnya) sibuk memainkan jemarinya mungkin sambil masih memikirkan hal yang sama. Kemudian aku mengayunkan tungkai, mengambil posisi duduk di bangku depan meja Yoongi—yang masih enak-enakan pergi ke pulau kapuk seolah tidak kenal hari esok. “Kau lihat mayat ini?” kataku. “Lihat betapa damainya dia tidur bagai mayat? Apa dengan melihat caranya tidur menjamin dia pasti bahagia? Tentu saja tidak.”

Jungkook masih diam, kini memandang Yoongi yang dirasa jauh lebih menarik daripada jari-jemarinya. Aku tidak bertanggung jawab atas efek yang diberikan kalimatku pada isi kepalanya, namun aku harap Jungkook mengerti bahwa aku tak bisa mengukur kebahagiaan orang lain, termasuk kebahagiaan miliknya, milik Yoongi—atau milik Jung Hyeso. Baru saja aku berniat mengucapkan beberapa potong kalimat, sebuah suara menginterupsi heningnya ruang kelas kami.

“Jungkook?” panggil suara itu, mengundang toleh kepalaku, serta kepala si pemilik nama. “Piketmu sudah selesai?”

Balik menatap Jungkook, aku ingin menertawakannya yang sedikit gelagapan. “Ah—sudah, kok. Mau pulang sekarang?”

“Heh, kerjamu tadi cuma membersihkan papan tulis.”

Lelaki itu memberiku lirikan tajam. “Aku sudah selesai, kok. Tidak perlu dengarkan omongan Seokjin. Maaf membuatmu menunggu lama, Choonhee-ya.”

“Tidak apa-apa,” jawab Park Choonhee, masih melongok di balik pintu enggan menampakkan sosoknya. “Kelasnya kelihatan bersih, Seokjin juga cepat pulang, ya? Lain kali marahi saja kalau Jungkook tidak mau kerja. Eh—itu siapa?”

“Oh—“ Aku mengikuti arah telunjuk Choonhee. “Itu si tukang tidur. Abaikan saja.”

Masih ada sisa-sisa tanda tanya di wajah perempuan itu, tapi Jungkook sudah terlanjur menyela, “Mending kita cepat pulang, yuk, keburu sore. Duluan, ya, Seokjin-hyung!”

“Sudah kubilang jangan memanggilku begitu!”

Jungkook nyengir. Ketika memerhatikannya tergesa-gesa menjejalkan barang ke dalam tas kemudian berjalan keluar secepat kilat, aku menyadari kalau kesempatanku untuk menjawab pertanyaannya dengan benar sudah terlewat meski aku betul-betul ingin memberitahunya opini subjektifku. Bahwa menurutku, Jungkook tak perlu pura-pura mempertanyakan kebahagiaannya yang terpancar jelas di binar matanya tak lama setelah dia bertatap muka dengan Choonhee. Tak ada artinya bersikap sok edgy mengaku dia belum paham konsep bahagia jika hal serumit cinta saja sudah memenuhi setiap inci tubuhnya.

Meski, well, jika Jeon Jungkook memang benar-benar kesulitan dalam memahami perasaan emosionalnya sendiri, dengan senang hati aku akan mencocokkan pikiranku dengan jawaban yang dia cari. Bahagia itu apa? Bahagia itu—

“Hei, Kim Seokjin, pukul berapa ini?”

Gila—aku nyaris kena serangan jantung. “Gila, Min Yoongi, aku nyaris kena serangan jantung,” ujarku, menoleh ke arah Yoongi yang tengah sibuk membersihkan belek di sudut matanya. “Sekarang pukul setengah lima sore.”

“Oh....”

Aku tidak tahu apakah Yoongi merespon jawabanku atau cuma menguap—keduanya tersamarkan karena dilakukan bersamaan. Dia bahkan tak mengatakan apa-apa lagi selain tiba-tiba berdiri dengan tas tersampir serampangan di bahu lalu berjalan terseok-seok keluar. Bahaya sekali, di mataku nyawa lelaki itu seperti belum sepenuhnya terkumpul.

“Kau tidak pulang?” tanya Yoongi mendadak di antara langkahnya yang diseret.

“Uhh ... duluan saja.” Jawabanku terlontar begitu saja karena aku terlalu fokus mengkhawatirkan Yoongi yang bisa-bisa menabrak pintu sebelum dia benar-benar keluar kelas.

Untungnya dia tidak menabrak pintu.

Entah sejak kapan senyumku sudah mengembang. Semakin kupikirkan, semakin aku yakin ucapanku tadi sama sekali tidak salah. Siapa yang tahu masalah macam apa yang dihadapi Yoongi sampai—barangkali, membuatnya sulit tidur di malam hari, dan akhirnya dia harus mengganti jam tidur di sela-sela pelajaran yang membosankan?



一一tbc

Comments