BTS Fanfiction - Vector of Fate (FINAL)


24
final




“Bagaimana kalau daffodil?”

“Itu bukannya bunga beracun?”

Well, bunga hias bukan untuk dimakan, ‘kan?”

Jung Hoseok bergeming, berjongkok selagi menatap nanar ke deretan pot kaktus mungil. Pemandangan itu berlanjut di mata Hyora kurang lebih selama sepuluh detik hingga sang gadis kehabisan kesabaran. Ia melanjutkan, “Mungkin lebih baik peony?”

Tanpa menoleh, sang pemuda menimpali, “Apa artinya?”

Semoga beruntung.”

Muncul kerutan di dahi Hoseok, menghalangi ujung sepasang alisnya untuk bertemu. Ia masih tak mau menoleh, tapi Hyora bisa melihatnya jelas hanya dengan berdiri di sampingnya. “Kenapa ‘semoga beruntung’?” tanya lelaki itu akhirnya, “bukannya lebih cocok kalau ‘semoga lekas sembuh’?”

“Tapi Taehyung tidak sedang sakit.”

“Hah?”

Hyora mengedikkan bahu. “Kau tidak tahu? Tidak ada yang bilang dia sakit.”

Daun-daun milik tanaman di hadapan Hoseok menari bersama angin, lelaki itu merasa seolah tengah ditertawakan. Apa esensi dari eksistensinya di sini? Untuk apa ia berjongkok di depan toko bunga, ragu-ragu masuk karena tidak tahu harus membeli bunga jenis apa? Siapa juga yang menyuruhnya membeli bunga untuk Kim Taehyung?

“Kau yakin soal itu? Sudah tanya ke guru?” ucap Hoseok.

“Keterangan di absensinya ‘izin’. Tapi kata Hani, dia tidak ke mana-mana. Taehyung sehat-sehat saja di rumah.”

Hoseok menghela napas, berdiri dari posisi jongkoknya lantas berkacak pinggang menghadap Hyora. “Jadi kita lebih percaya omongan pacar daripada keterangan guru, ya?” Sang pemuda berbalik, mulai melangkah menuju pintu masuk toko. “Terserah kau mau beli apa, bunga bangkai kah bunga beracun kah—aku tidak peduli.”

Tanda tanya besar terlukis di wajah gadis itu. Jung Hyora perlu beberapa detik untuk menyambungkan sel-sel otaknya sampai ia mengerti benar—Hoseok betul-betul khawatir. Agaknya lelaki itu mengira Taehyung memang sakit (entah secara fisik maupun mental), dan dengan tidak masuk ke sekolah tiga hari sudah cukup untuk menimbulkan rasa waswas dalam hati Jung Hoseok. Lagi pula, alasan apa yang mendorong kemauannya pergi menjenguk Taehyung jika bukan kekhawatiran tulus?

Tersenyum kecil, Hyora mengikuti langkah sang pemuda. Toko bunga itu beraroma manis di musim semi, membuatnya membayangkan padang bunga yang disiram cahaya matahari. Hoodie hijau Hoseok terlihat sama mencoloknya dengan daun-daun tanaman yang memenuhi seisi ruangan. Dari belakang, tanpa menilik ekspresi pahit di wajahnya, pemuda tersebut membawa aura sejuk yang cerah.

“Seharusnya kau tidak memakai hoodie itu hari ini.”

Terlonjak, sang pemuda menoleh ke arah Hyora yang sudah berdiri di sampingnya. “Eh—kenapa memangnya?”

“Kau terlihat seperti pohon pisang.“




Ini kali ketiga Lee Hwarin melirik arloji di pergelangan tangannya kemudian mendecak pelan. Ini kali ketiga pula kecemasan dalam diri Jimin bertambah setingkat tiap kali decak lidah gadis itu mencapai rungunya. Jarum jam yang terpasang di dinding ber-wallpaper kayu ala kabin tak jauh dari tempat mereka duduk baru saja bergerak, ujungnya kini menyentuh angka tiga. Pukul dua lebih lima belas.

Sudah sepuluh menit Namjoon pergi ke toilet dan belum kembali.

“Dia ngapain, sih,” gumam Hwarin, “kopinya keburu dingin mampus.”

Jimin mengerutkan dahi. Kopinya keburu dingin? Bukannya tadi Namjoon memang memesan es kopi? Melirik Hwarin yang kini sibuk mengutak-atik ponsel dengan gestur tidak sabar, Jimin mulai sadar bukan hanya dirinya yang tengah gelisah saat ini. Barangkali gadis di hadapannya itu jauh lebih gelisah lagi.

“Mungkin dia memberi kode,” ujar sang pemuda memecah keheningan. “Kau tahu, agar aku pulang sekarang.”

Hwarin, masih menunduk sedikit ke arah ponsel namun dengan pandangan dinaikkan pada Jimin, melempar tanda tanya melalui sepasang maniknya. “Kenapa?”

“Sudah jelas?? Karena aku mengganggu kencan kalian???”

Sulit untuk menjelaskan arti dari respon Hwarin. Gadis itu mendengus lalu kelihatan seperti menahan tawa di mata Jimin. Namun detik berikutnya ia nyaris melempar ponsel serampangan ke atas meja. “Well, secara teknis memang benar,” ujarnya seraya menumpu kepala dengan sebelah tangan. “Tapi, Namjoon sendiri yang minta bantuanmu dan mengajakmu bertemu di sini, buat apa dia mengusirmu kalau begitu?”

Hening. Jimin tidak menjawab. Wajah datar Hwarin kini terkesan mengintimidasi, terpaksa membuat sang pemuda berpaling ke arah lain. Udara di dalam kafe itu semakin dingin berkat pendingin ruangan, Jimin hampir lupa seberapa menganggunya panas yang diberikan matahari selama ia berjalan dari rumah Taehyung ke sini tak kurang dari setengah jam lalu. Beruntung sekali Hoseok dan Hyora yang bisa langsung pulang naik taksi online. Nasib Jimin makin naas karena ia tak punya uang, ongkosnya diperkirakan ngepas buat beli minuman termurah di sini.

“Kenapa kau mau sekali direpotkan Namjoon, Jim?”

Tersentak, sang pemuda menoleh. Ia belum merespon barang satu patah kata pun ketika Hwarin melanjutkan, “tidak tanggung-tanggung, kau seperti memata-matai sahabatmu sendiri.”

“Pilihan verbamu jelek sekali,” sergah Jimin cepat. Tangan kanannya mengangkat gelas plastik berisi lemon tea dingin. “Aku tidak memata-matai siapa-siapa.”

Hwarin memutar matanya jengah. “Okelah—tapi kenapa kau mau-mau saja disuruh Namjoon menyelidiki alasan absennya Taehyung,” ucapnya, kemudian lanjut berbisik, “dan alasannya mengundurkan diri.”

“Karena aku peduli dengan mereka.”

“Namjoon atau Taehyung?”

“Keduanya.”





“Halo.”

“Oh. Selamat pagi.”

Bunyi gesekan antara sapu dan tanah kasar memenuhi rungu Yoongi. Sang pemuda menggenggam erat gagang kayu sapu di tangannya. Ia bergeming. Suara berisik itu bukan berasal darinya, melainkan sosok lain yang seluruh atensinya kini ditujukan pada pelataran sekolah.

“Terlambat lagi?” tanya Yoongi

Gadis itu mengangguk. “Kau juga.”

Setelah beberapa detik memerhatikan cara menyapu Song Rahee yang kelewat aneh dan berantakan, Yoongi mulai beranjak dan menggerakkan sapunya. “Entah kenapa membersihkan kelopak bunga sakura begini terasa menyedihkan sekali.”

Bunyi itu terhenti—mau tak mau Yoongi pun ikut berhenti. Ia balik menoleh ke arah Rahee, yang ternyata telah menatapnya duluan sedetik lebih cepat beserta ekspresi sulit diartikan di wajahnya. “Aku tahu!” serunya cepat. “Kau juga berpikir begitu? Aku tidak suka melakukan ini. Mereka terlalu indah untuk disatukan dengan tumpukan sampah.”

Gadis itu mengomel, namun kedua tangannya sudah bergerak kembali membersihkan pelataran. “Aku ingin membawa mereka pulang.”

Terkadang Yoongi tak paham apa gerangan yang terjadi di dalam kepala gadis itu. Ia membayangkan seisi kota yang luas tetapi tak punya satu pun lampu di tiap-tiap bangunannya. Kelihatan hidup di bawah matahari, namun bisa tiba-tiba berubah gelap bagai hilang ditelan bayangan bulan. Rahee bukan orang aneh, ia cuma kompleks—meski semua orang memang kompleks dan di situlah letak poinnya. Yoongi menyukai kompleksnya Rahee.

Sesuatu menginterupsi lamunan Yoongi—gemerisik dari pengeras suara yang baru dinyalakan. Benda itu ada di mana-mana di seluruh penjuru sekolah, mulai dari ruang-ruang kelas sampai halaman tempat murid yang dihukum setelah terlambat bisa mendengarnya sambil bersih-bersih. “Apa itu...,” gumam sang pemuda.

“Oh,” Rahee menimpali, agaknya gumaman Yoongi masih cukup keras untuk didengar, “kurasa kita akan ketinggalan pidatonya Taehyung.”





Ah, Seokjin.

Hyeso perlu waktu untuk meredakan rasa terkejut sekaligus mengatur napas sebelum ia menghampiri punggung lelaki itu. Meski hanya kelihatan dari belakang, ia yakin betul itu punggung Kim Seokjin, mudah ditebak dari lebar dan caranya berdiri. Terus terang, langkah Hyeso terasa berat. Ia tak ingin melakukan ini—namun menghindari Seokjin justru akan menjadi sumber masalah yang lebih besar. Tenang saja, batinnya, cuma tinggal tanya soal Hani saja, kok.

“Hei.”

Berkedip, Hyeso tersadar ia sudah berdiri selangkah di belakang Seokjin. Lelaki itu kini tengah menolehkan kepala ke arahnya. Sang gadis menelan ludah. “Halo,” ucapnya. “Apa kau melihat Hani—“

Tiba-tiba saja Seokjin menempelkan telunjuk di bibirnya. Gestur itu terlalu di luar dugaan hingga Hyeso terpaksa bengong beberapa detik, baru menguasai diri lagi saat Seokjin sudah kembali ke posisi semula—memunggungi sang gadis dengan kepala melongok sedikit keluar pintu.

Pintu itu mengarah ke halaman belakang auditorium, tujuan awal Hyeso. Sebelumnya ia berpapasan dengan Choonhee yang memberitahunya kalau Hani ada di sana. Gadis itu mungkin sudah akan nyelonong melewati pintu itu bila Seokjin tidak berdiri menghalangi jalan dengan bahu seluas lapangan bola.

Akan tetapi, kali ini Hyeso patut berterima kasih pada Seokjin. Pemandangan yang tampak melalui mata sesaat setelah ia melongokkan kepala di belakang sosok tinggi Seokjin mau tak mau membungkam pikiran sang gadis. “Ada apa?” tanya Hyeso dengan suara dikecilkan.

“Sepertinya mereka sedang bertengkar.”

Kemungkinan Seokjin delapan puluh persen benar. Meski sama-sama diam memunggungi sosok masing-masing, Hyeso dapat melihat ekspresi tidak enak di wajah dua orang itu—Hani dan Taehyung. Entah sejak kapan mereka terjebak di posisi demikian. Atensi Hani difokuskan pada ujung sepatu yang dikenakannya, sedangkan Taehyung sibuk memandangi biru langit yang mengintip lewat celah ranting pepohonan.

Hyeso melangkah mundur.

Reaksi Seokjin lebih cepat dari dugaan gadis itu. “Mau ke mana?” tanya sang pemuda selepas menoleh untuk kedua kali.

“Umm ... kembali ke dalam,” jawab Hyeso. “Aku tidak ingin menginterupsi—atau menguping pembicaraan mereka.”

Dengan agak buru-buru, kedua kaki Hyeso diayunkan menjauh meski rasanya masih terlalu berat untuk digerakkan. Seolah ada yang menahan tubuhnya, seolah ada sebuah lempengan besi diikatkan dengan rantai melingkari pergelangan kakinya, seolah ada serpihan hatinya yang tertinggal di suatu tempat. Gadis itu tersentak, detak jantungnya berubah cepat.
Seokjin menggenggam tangannya. Seokjin tengah menahannya.

Jangan pergi,’ Hyeso dapat mendengar suara lelaki itu melalui sepasang manik obsidiannya.

Bibir gadis itu terkatup rapat. Ia enggan mengakui bahwa hangatnya tangan Seokjin menjadi sumber debar jantungnya. Ia tak bisa mengatakan kalau melihat Hani dan Taehyung membawa kembali memori soal pertengkaran terakhirnya dengan Seokjin. Terlalu sulit untuk menahan rasa sakit yang ditimbulkan memori itu, terlebih dengan presensi Seokjin tepat di hadapannya.

Hyeso ingin berkata, bahwa sejatinya dirinya pun tak ingin pergi.




Taehyung mengambil napas panjang.

Ada yang berbeda dari udara bulan April. Barangkali efek awal musim semi, atau berkat serbuk sari milik bunga-bunga yang mekar bersamaan, atau sisa-sisa wangi sebuket peony merah pemberian teman-temannya yang memenuhi atmosfer kamar Taehyung sejak kemarin. Mungkin karena Jimin dan Jungkook bergantian meneriakinya dari lautan siswa yang berkumpul di auditorium pagi itu? Semua bisa jadi alasan masuk akal, baik untuk kondisi udara di sekitarnya maupun kelegaan di hatinya setelah melepas seluruh kecemasannya pergi.

Namun Taehyung masih tak paham akan satu hal.

“Kau keren tadi.” Suara familiar beserta sentuhan di bahu mengagetkan Taehyung dari belakang. Ketika menoleh, sang pemuda mendapati Hani sedang menatapnya dengan senyum tipis terpatri. “Maaf kalau aku ... berlebihan. Aku tidak seharusnya marah padamu.”

Sang pemuda tak merespon apa-apa.

“Aku ke kelas duluan, ya?”

Taehyung masih membeku ketika Hani beranjak pergi. Ia memerhatikan bagaimana kuncir rambut gadis itu bergoyang seiring tiap langkah yang diambil. Kalau dipikir-pikir, itu hal pertama soal Kim Hani yang ia anggap menarik. Memori soal bola basket Hani yang melayang ke arah buku di genggaman Taehyung dua tahun lalu kembali berputar di benak sang pemuda.

Dua tahun—ternyata sudah selama itu.

“Kau tidak apa-apa?”

Taehyung mengedipkan matanya dua kali. Sosok Hani sudah hilang di ujung lorong. “Ya, aku baik-baik saja,” ujarnya seraya melebarkan senyum. Ketika menoleh, sejatinya Taehyung lumayan terkejut Namjoon masih berdiri di sana. Mereka tadinya berjalan beriringan sebelum Taehyung berhenti karena Hani menepuk bahunya.

“Kukira kau sudah jauh meninggalkanku tadi.”

Namjon tertawa kecil. “Mana mungkin,” jawabnya seraya mulai mengayunkan tungkai.

“Tidak—kau pantas meninggalkanku. Aku terlalu banyak menggambar coretan berantakan di hidupmu. Lebih baik sekalian saja kau menendangku ke tempat sampah.”

Sebelah alis Namjoon terangkat. “Tapi kita sekelas, Taehyung-ah. Aku tidak mau kau berjalan ke kelas sendirian.”

Langkah kaki mereka tersamarkan oleh milik orang lain di koridor yang sibuk, tenggelam oleh obrolan berisik segerombol siswi kelas dua, diam-diam terinterupsi pandangan menghakimi dari tiap pasang mata yang berpapasan dengan mereka.

“Apa kita orang paling dibenci seisi sekolah saat ini?” tanya Namjoon setengah berbisik.

Lawan bicaranya menggeleng. “Aku iya. Kim Namjoon? Tidak.”

Mereka terus berjalan, beriringan, berbelok menaiki tangga, hingga akhirnya Namjoon berucap, “aku tidak membencimu.”

Tersenyum, Taehyung melirik kawannya sekilas. “Terima kasih.”

Udara musim semi selalu punya perbedaan yang spesial dibanding musim lain, Taehyung menghirupnya dalam-dalam di setiap langkah yang ia ambil. Satu persatu mereka membawa kenangan semasa kakinya menginjak setiap inci lantai yang sama, membisikkan kalimat-kalimat manis dari orang-orang yang sampai saat ini masih bertukar pandang dengannya, meyakinkan Taehyung bahwa musim terus berganti, dan setiap musim semi pun punya aroma yang berbeda.

“Apa menurutmu aku terlalu banyak bermain-main? Apa aku perlu ... lebih serius menanggapi hidup?”

Namjoon tak mengantisipasi pertanyaan semacam itu bakal terlontar dari bibir Taehyung. Justru dirinyalah yang punya lebih banyak pertanyaan berputar di dalam kepala—ia hanya tak bisa mengungkapkan satu pun. Selagi lelaki satu ini, yang tengah berjalan tenang di sebelahnya, dapat dengan mudah mengucapkan kalimat macam apapun out of the blue.

“Aku tidak bisa menilaimu hanya dari pandangan subjektifku.” Namjoon mengeluarkan sebelah tangannya dari kantong celana, mengangkatnya untuk membenarkan letak kacamata. “Kurasa kau yang sekarang adalah versi dirimu yang terbaik, Taehyung.”

“Apa kau ini tidak terlalu baik, Namjoon?” tanya lelaki itu lagi di sela tawa kecilnya.

“Kalau itu,” jawab Namjoon, “aku cuma bisa bilang, kadang-kadang aku merasa Kim Namjoon harus bisa bersikap sedikit lebih jahat lagi.”

Lawan bicaranya bergumam sebentar. “Kurasa tidak. Kau yang sekarang adalah versi dirimu yang terbaik.”

Mereka bertukar senyum sebentar, masing-masing menyimpan isi pikiran yang sulit diungkapkan melalui kata-kata. Taehyung tak pernah merasa sebersyukur ini atas hari musim semi yang cerah. Ia melirik ke luar jendela lantai dua, tempat yang pas untuk mendapati bunga-bunga sakura bermekaran di dahan dan ranting tinggi. Mereka seolah mengetuk-ketuk kaca, memanggil Taehyung keluar.



end

Comments