Interelasi
Aku mendengar suaranya—yang masih terkesan jauh meski titik volume ponselku sudah menabrak pojok kanan layar. Ada jeda sedikit selagi aku diam, ia juga diam. Kami berdua terdiam, menyisakan dengung pendingin ruangan menyatu dengan udara awal musim gugur. Baru saja hendak membuka mulut, suara itu kembali menginterupsi, “Aku melihatmu tadi siang.”
Rasanya seolah seseorang tiba-tiba membuka jendela kamarku, mengundang angin segar beraroma momiji khas bulan Oktober. Aku mengambil napas dalam-dalam. “Kalau begitu ... kau melihat—dengan mata kepalamu sendiri—kalau aku baik-baik saja.”
“Tidak,” jawabnya cepat, “aku melihatmu tidak baik-baik saja.”
Berikutnya aku mencoba memutar kembali memori seharian ini. Aku pergi kuliah pukul tujuh, membeli sarapan pukul sembilan, mengirim surat ke kantor pos lalu terburu-buru masuk kelas lagi karena ada kuis pukul sebelas. Seharusnya aku bisa pulang setelah itu, tapi aku masih harus menyerahkan paper ke meja dosen kemudian bukannya pulang malah pergi ke perpustakaan.
Kalau tidak salah aku di sana sampai pukul empat. Aku melupakan makan siang, cuma sesekali mengobrol dengan perempuan yang duduk di sebelahku (kebetulan kami menghadiri satu mata kuliah yang sama), namun selebihnya aku tak melakukan apa-apa. Tidak membaca buku—aku sudah coba tapi tak ada yang masuk kepalaku—tidak mengulang pelajaran atau mengerjakan tugas kuliah, aku cuma diam.
Kira-kira kapan ia melihatku, ya?
“Kau yakin semuanya baik-baik saja?” Ia bertanya lagi, kali ini dengan nada diliputi keraguan yang amat jelas.
“Tidak,” responku diikuti tawa singkat, bukan jawaban yang meyakinkan. Lantas aku buru-buru melanjutkan, “Aku tidak melihatmu hari ini, jadi aku kesulitan menebak kapan kita berpapasan.”
Terdengar hela napas pendek. Kutebak ia enggan memberi jawaban. Bisa kubayangkan ekspresi kaku dan pandangan matanya dialihkan—mungkin ke arah langit-langit atau kerlip lampu kota di luar jendela, padahal poni panjangnya saja sudah cukup buat menyembunyikan sepasang manik obisidiannya itu.
“Aku tak suka memaksa orang. Tidak perlu dijawab, itu tadi pertanyaan bodoh.” Agaknya ada setitik kejengkelan dalam suaraku hingga ia merasa dihadapkan pada dua pilihan; lanjut bicara atau memutus sambungan telepon sepihak. Kalau aku jadi dia, aku bakal kehilangan keberanian, lalu pura-pura sinyal ponselku sebegitu buruk sampai teleponnya terputus.
Tapi kami amat berbeda—ia tidak sepertiku. Ia orang yang berbeda.
Keheningan yang tercipta ketika sedang menelepon punya tingkat ketegangan lebih tinggi dari ‘hening biasa’, aku sampai menahan napas tanpa sadar. Maka saat suaranya kembali terdengar, terus terang, aku merasa sedikit lega. “Tahu tidak, lift gedung utama sedang diperbaiki.”
Dahiku berkerut. “Serius? Tadi pagi aku naik lift ke lantai tujuh.”
“Well, entahlah, mungkin tiba-tiba terjadi insiden yang membuatnya tak bisa digunakan.”
“Oke. Lalu?”
“Jadi kita semua harus naik tangga.”
“Terus?”
“Jadi aku berkali-kali naik-turun tangga hari ini—entah berapa banyak, sepertinya aku sudah berjalan lebih dari seribu langkah dari pagi sampai sore.”
Aku tertawa, namun ia belum selesai. Kalimatnya selanjutnya membuat jantungku seolah berhenti berdegup.
“Aku melihatmu,” ujarnya, “di tangga lantai tiga. Kau tiba-tiba berhenti—membelakangiku, aku tidak tahu kenapa kau berhenti, mungkin matamu kelilipan. Kupikir begitu, tapi mengucek mata tidak mungkin menghabiskan waktu sepanjang lebih dari satu menit.”
Samar-samar terdengar derap rintik hujan, aku melirik jendela yang gordennya melebar, suaranya bukan dari sini. “Di sana hujan?”
Ia bergumam mengiyakan. “Mau pergi minum kopi?”
🍁
20191001
untuk Eve
yang punya hari spesial kesepuluh kalinya
Wah, sepertinya Eve kesayangan kaka kah? Hihi :>
ReplyDeleteHehe ><
DeleteOh iya, kaka punya album E ve tidak ka? Atau album utaite lain? Kalau iya, beli dimana ka?
DeleteSayangnya saya belum pernah beli album Eve :") tapi kalau mau beli bisa coba di web monomania pasti ada kok
DeleteTerima kasih ka atas infonya :D
Delete