Castella


Bumi ini persegi. Seperti castella.

Mengabaikan teori yang sudah dicetuskan oleh Pythagoras sejak zaman Yunani Kuno, Arai berpendapat bahwa bumi berbentuk persegi yang terdiri dari warna laut dan daratan. Biru, hijau, kuning, cokelat, putih dan hitam. Jika bumi adalah castella, dengan senang hati Arai akan mencicipinya. Barangkali rasanya adalah perpaduan dari madu, rumput laut, udara sanatorium, dan mata air Prefektur Gunma.

“Kedengarannya payah.”

“Memangnya menurutmu bumi ini tidak payah?”

Well, jika ditanya, menurut Summer bumi adalah bola kehidupan yang indah. Ia memegang teguh gagasan Charles Darwin soal evolusi manusia—dan tentunya percaya dengan sepenuh hati pada teori bumi itu bulat. Summer adalah lelaki praktis yang menyenangkan, tidak kaku seperti kebanyakan pria dengan youfuku[1] di kantor-kantor modern. Berbekal dari ilmu yang ia dapat dari pendidikan Barat, Summer punya amunisi untuk menyangkal opini Arai.

Namun Summer tak bisa—tidak boleh.

Summer ada di sana sebagai pendengar Arai, menelan semua tutur kata yang meluncur dari mulut gadis itu bagaimanapun bentuk dan maknanya. Sang pemuda harus menyiapkan bertumpuk kesabaran acapkali mereka bertatap muka, berusaha menangkap gelembung-gelembung kata di sekitar Arai, menempel pada motif bunga di kimononya, tersangkut di dahan pepohonan kebun atau terbawa kerumunan saat mereka berjalan di sepanjang area pertokoan Kawagoe, mencair bersama kubus gula di dalam secangkir teh yang mereka nikmati suatu sore.

Meski, seringkali, obrolan ngalor-ngidul dengan Arai serasa jalan di tempat. Seolah lonceng Toki no Kane tiba-tiba enggan berdentang pukul tiga sore. Pucuk menara tersebut terlihat jelas saat Summer duduk dekat jendela Shimano Kissaten[2], bergantian memandang bangunan bergaya Edo yang abu-abu di luar dan wajah tenang Arai yang duduk di hadapannya. Ada meja kecil yang memisahkan kursi berbantal hijau lembut yang mereka duduki. Di atasnya ada—tentu saja, secangkir teh milik Arai, secangkir kopi berbusa milik Summer, dan castella.

Castella tak pernah absen di antara gelembung percakapan Summer dan Arai.

“Kudengar kue sifon di sini enak,” ujar Summer.

“Castella ini terlihat seperti trem,” respon Arai—sama sekali tak punya korelasi dengan pernyataan Summer. Terdengar denting garpu dan piring saat gadis itu memotong sebagian kecil castellanya. “Aku jadi ingin naik trem.”

Summer masih memerhatikan gadis itu lamat-lamat, melahap bagian demi bagian dari sepotong castella kesukaannya, kelihatan tenang dan anggun—persis saat mereka pertama bertemu di depan kantor, atau lebih tepatnya, tempat praktek Summer.

“Aku bisa mengantarmu ke Kawayagike[3] naik trem pukul empat,” ucap Summer. Ia mengeluarkan jam bundar mungil dari dalam saku jas, jarum panjang menunjuk angka dua, mereka punya waktu kurang dari satu jam.

“Tidak perlu teburu-buru. Aku tidak keberatan berjalan-jalan di Kurazukuri sebentar.” Arai mengangkat cangkir tehnya, namun bukannya menyesap cairan manis itu ia malah menatap keluar jendela dengan pandangan menerawang. “Lagipula, aku tidak begitu ingin pulang ke rumah.”

“Maaf?”

Tersentak, Arai menoleh—bertemu pandang dengan Summer dan tanda tanya besar di wajahnya. Gadis itu menorehkan senyum. “Summer, aku tahu kau suka berjalan di Kurazukuri, di sana ada kios tempat langgananmu membeli rokok.”

Summer menghela napas. Mengetahui fakta tersebut sedikit mengganggu pikirannya. “Sampai kapan kau mau memanggilku dengan nama itu?”

“Summer?”

“Ya.”

Tawa Arai cukup keras sampai ke rungu Summer, namun masih terbilang pelan dan anggun. “Mungkin sampai musim panas berakhir,” jawabnya kemudian seraya tetap mematri senyum. “Aku akan menggantinya jadi Autumn.”

Lelucon khas Arai, batin Summer. Lelaki itu memilih untuk menenggak kopinya, mencecap pahit yang jauh lebih baik daripada membayangkan Arai memanggilnya Autumn, Winter, Spring, lalu kembali ke Summer. Ia kadang tak yakin apakah Arai masih ingat nama aslinya, nama yang tercetak pada kartu nama lelaki itu.

“Lagipula,” lanjut Summer, “kenapa Summer?”

Ada jeda sesaat. Mereka saling berpandangan, cukup lama sampai lelaki itu merasa Arai menyembunyikan sesuatu dalam kerling maniknya. “Karena kita bertemu di musim panas tahun lalu.”

Serasa ada yang mencubit sebagian kecil hati Summer.

Sudah selama itu kah?

Musim panas tahun ketiga Taisho[4]. Matahari betah sekali menggantung di atas kepala, di atas sawah-sawah padi pinggiran Prefektur Saitama, di atas kota yang sibuk memuntahkan uap-uap kehitaman dari cerobong pabrik. Summer yang jarang dapat pasien lebih suka mengunci kantor Praktek Psikiater Modern lalu jalan-jalan seharian di seputaran kota Kawagoe. Cuma jalan-jalan, kadang membeli rokok di kios daerah Kurazukuri, terlalu kere untuk masuk kissaten demi secangkir kopi. Ia baru akan kembali di sore hari, mendapati kantornya tetap sepi pengunjung lantas berbelok ke warung soba milik tetangga.

Namun, hari itu ia mengurungkan niat makan soba kala melihat seorang gadis mematung di depan pintunya.

Agaknya, ketimbang nama lengkap Summer yang terpampang jelas pada papan kayu di sebelah pintu masuk kantor lelaki itu, Arai lebih mengingat hawa panas dan terik matahari yang tak kunjung reda kala mereka pertama kali bertatap muka.

“Hei.” Suara gadis itu membuyarkan lamunan Summer. “Castella ini enak, kau yakin tidak mau mencoba?”

Sang pemuda menggeleng lemah. “Lebih baik kau habiskan sendiri. Bayangkan itu bumi—versi tidak payah.”

Kali ini terdengar tawa Arai, sedikit lebih keras dari sebelumnya. “Kau psikiater yang buruk, Summer.”

“Itu karena kau tak pernah membayarku,” gerutu pemuda tersebut. “Mungkin aku harus ke Prancis, mengajukan penelitian, dengan begitu aku bisa kembali sebagai psikiater yang lebih baik lalu menyembuhkan kepalamu.”

“Kau tak perlu menyembuhkanku.” Arai memotong castella di piringnya dengan sedikit brutal, lantas melempar lirikan tajam ke arah Summer. “Aku sudah sembuh.”

“Oh, ya? Tapi kau masih suka bicara meracau.”

“Jika kau merasa bicara meracau termasuk gejala penyakit mental, kurasa kau memang harus ke Prancis untuk belajar dari awal lagi.”

Terus terang, Arai ada benarnya. Kemampuan bicara seseorang tidak bisa menjadi tolak ukur kesehatan mentalnya, sama halnya dengan gangguan mental yang punya banyak klasifikasi—bukan cuma ‘gila’. Mungkin Summer memang perlu pergi ke Prancis. Mungkin Arai memang sudah sembuh. Yang mana yang benar? Summer melirik gadis itu, kini tengah menyesap tehnya dengan tenang.

Ada kehangatan yang menguar dari sosok Arai, bukan karena cahaya matahari sore yang menyiram tubuhnya, bukan pula aroma manis teh dengan asap tipisnya yang masih mengepul. Sekali lagi, pemandangan itu mengingatkan Summer pada hari terik di musim panas satu tahun lalu.

Mungkin, sejak awal Arai memang tak pernah sakit.


🏮




[1] 洋服 (pakaian Barat), westernisasi pada awal masa modern Jepang juga memengaruhi tren fashion di masyarakat, banyak yang menanggalkan pakaian tradisional dan menggantinya jadi pakaian ala Barat sebagai simbol modernitas.
[2] 喫茶店 (coffee shop), saya mengambil nama Shimano Kissaten dari coffee shop yang benar-benar ada di daerah Kawagoe, Prefektur Saitama.
[3] 川柳家 (rumah Keluarga Kawayagi).
[4] 大正3年 (tahun ketiga Taisho), sama dengan tahun 1914 dalam kalender Romawi.
[5] Gambar yang saya cantumkan di awal entri ini adalah 浮世絵 (ukiyo-e) atau seni lukis teknik cukil kayu berjudul Summer Afternoon in Kanazawa (1921) karya Kawase Hasui.
[6] Nama tokoh perempuan di sini, Kawayagi Arai 川柳 曙徠 memiliki arti 'pohon willow di sisi sungai', 'fajar', dan 'datang/tiba'.
[7] Sebulan belakangan saya habiskan dengan cek ricek era Meiji-Taisho-Showa di Jepang. Tapi karena risetnya pendek, kemungkinan ada beberapa kesalahan atau detail yang tidak akurat. Special thanks to retrotabitokyo.com for the amazing article!

Comments

Post a Comment