[What a Waste of a Lovely Night: #04] Avalanche
a fanfiction by
hvnlysprng
Avalanche (n.) “a mass of snow, ice, and
rocks falling rapidly down a mountainside; a sudden arrival or occurrence of
something in overwhelming quantities.”
[Disclaimer: Cerita ini hanya fiksi belaka. Tokoh Minke dan Annelies
Mellema adalah kepunyaan Pramoedya Ananta Toer. Ide dan cerita ini murni milik
saya sendiri. Bila ada kesalahan kata, penyebutan, maupun fakta sejarah mohon
dimaklumi.]
Ditulis dalam rangka event Mari Menulis: Prompt #2 Flow de Memoire.
Silakan klik tautan berikut untuk mengunjungi laman original.
Ditulis dalam rangka event Mari Menulis: Prompt #2 Flow de Memoire.
Silakan klik tautan berikut untuk mengunjungi laman original.
∞
[P]emandangan
dan suasana Boerderij Buitenzorg[1] adalah
yang paling khas di Wonokromo. Dari pekarangan luas di hadapan undak-undakan menuju
pintu masuk, pepohonan mangga yang entah kenapa tidak kunjung berbuah, kerik
jangkrik yang menyertai malam-malam dingin bulan Januari, pagar yang
mengelilingi rumah loteng dari kayu jati tersebut―semuanya bisa terlihat dari
balik jendela sambil duduk-duduk di kursi rotan. Barangkali bakal lebih lengkap
ditemani teh pekat dan pisang goreng. Tetapi pikiran itu lantas segera luntur
dari benak Minke, sebab ketika sadar sesosok gadis telah berada di hadapannya
sedari tadi, ia yakin tidak butuh ditemani apa pun lagi.
Sayang, gadis itu diam saja. Tak berkedip menatap Minke
dengan sepasang mata kejoranya.
“Ada masalah apa, Ann?” ujar lelaki itu, mengikuti rasa
bertanya-tanya yang muncul di benaknya.
Sang gadis, Annelies, memberikan gelengan singkat masih
tanpa kedipan mata. Bibirnya terkatup rapat. Kulit putihnya hampir-hampir
sepucat gaun beledu yang ia kenakan. Segala perpaduan itu berpendar di bawah
nyala lampu minyak. Ah, dipandangi demikian lama-lama pun bisa juga memunculkan
kegelisahan buat Minke. Ia coba mengalihkan atensi pada hal lain, apa pun selain
kecantikan di hadapannya ini.
“Lihatlah, Ann,” ucap Minke sekali lagi, kali ini
berusaha membelokkan percakapan meski tak tahu apa yang sebenarnya hendak ia
tunjuk. “Bunga itu, cantik betul. Kau kah yang meletakkannya di situ?”
Tidak ada jawaban. Tidak heran, membicarakan bunga memang
tidak ada faedahnya, murni basa-basi. Minke yang tak ingin risau hatinya makin
menjadi pun memutuskan agar atensinya biarkan terfokus saja pada bunga di atas
meja di depannya itu. Hanya satu tangkai, tapi cukup besar, dengan mahkota
putih bersih lalu putiknya kuning cerah. Ada benarnya, cukup indah kiranya
bunga itu mencuat dari dalam tembikar bikinan Eropa.
Apa pula namanya? Dirasa-rasa Minke tak pernah menjumpai
bunga sejenis itu di manapun di Hindia Belanda, setidak-tidaknya di Jawa, atau
Surabaya. Barangkali dia diangkut dengan kapal-kapal dari Eropa sana?
Ah―memangnya sekuntum bunga bisa sampai dalam keadaan sesegar ini setelah
berbulan-bulan terombang-ambing di tengah laut? Teknologi modern macam apa yang
dapat mewujudkan hal semustahil terbang di udara itu?
“Mas.” Suara jernih Annelies berdendang di rungu Minke,
membuatnya nyaris terperenyak. Hilang sudah persoalan remeh menyangkut
bunga-bungaan itu. Ia fokuskan kembali pandangan ke arah Annelies―yang kini
justru memalingkan wajah, menuju jendela terbuka dengan pemandangan luar gelap
gulita.
Dengan suara selembut mungkin, seperti menidurkan seorang
bayi, Minke berujar, “Ada apa? Hal apakah yang kau risaukan itu, Ann?”
Annelies bernapas lamat-lamat, menciptakan sebuah jeda
singkat sebelum kemudian berkata, “Menurutmu, akan lebih baik kalau salju turun
dari langit, malam ini atau besok pagi?”
“Jangan ngawur.” Jawaban Minke datang secepat laju
kereta, terlihat sepasang alisnya nyaris bertaut. “Tidak ada salju di Hindia,
Ann.”
Barang tentu semua orang paham akan hal itu, mulai dari
Eropa Totok sampai Indo Peranakan, bahwa salju tak bisa turun di daratan
tropis. Hanya kebanyakan pribumi yang bakal kebingungan bila ditanya demikian,
arti kata ‘salju’ itu pun mereka tak tahu-menahu. Tapi toh Minke bukan termasuk
kebanyakan pribumi itu. Mungkin kah atas sebab itu Annelies menanyakan hal
tersebut pada dirinya?
“Kau sendiri pasti tak pernah melihat wujud salju itu
seperti apa,” tambah Minke. Kedengaran jahat, tapi boleh jadi ia lebih memahami
Annelies daripada dirinya sendiri.
Gadis itu menoleh, bertemu pandang dengan manik Minke
kemudian berkedip beberapa kali. “Pernah.”
Dahi Minke berkerut semakin dalam. “Pusing kau, Ann?
Perlu kupanggil Darsam biar diambilkan segelas air?”
Kembali dihadiahi sebuah gelengan, rasa gelisah yang tadi
sempat muncul lantas naik tingkat menjadi kecemasan. Minke sudah bersiap hendak
meninggikan suara menyebut nama Darsam namun senyum yang merekah di bibir
Annelies terpaksa menghentikan niatannya.
“Mengapa jadi kau yang risau, Mas?” Nada suaranya
terdengar kekanakan menyertai kurva yang masih bermain-main di bibir. “Pernah
dengar kau bahwa tak ada yang mustahil di dunia?”
Jalinan rotan yang membentuk permukaan kursi semakin
terasa keras dan tidak nyaman, Minke tak pernah menyangka duduk bisa menyiksa
seperti ini. Bunyi-bunyian hewan dari luar sana terdengar berisik memekakkan
telinga. Tak ada barang satu patah kata pun terlintas dalam benak Minke. Tak
tahu ia harus merespon bagaimana.
Lantas kalimat selanjutnya yang meluncur dari bibir
kemerahan Annelies semakin membungkam pemuda tersebut.
“Lagipula, Mas, aku ‘kan tidak sedang di Hindia.”
Senyumannya masih terpatri sedemikian manis.
“Aku di Nederland, Mas. Di Huizen. Di Hindia ini aku cuma
bayang-bayangmu. Kalau, toh, kau bisa membayangkanku senyata ini, maka salju di
Hindia pun bukan perkara sukar.”
Minke berkedip beberapa kali, membutuhkan untuk mengecek
apakah isi kepalanya kini seperti api padam teriup angin. Tiba-tiba bunga putih
dalam tembikar itu kembali melambai-lambai di sudut matanya. Kini dia merunduk
layu, kehilangan hampir seluruh mahkotanya yang mengering.
Ia berkedip sekali lagi. Pandangannya berserobok dengan
Annelies, gadis itu masih mengulum senyum. Lalu terdengar gemuruh keras yang menenggelamkan
senyap malam. Minke sadar ia melihat salju mulai berguguran, banyak―sangat
banyak, hingga seluruhnya menerobos masuk lewat jendela.
-fin-
Comments
Post a Comment