BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 22B)
22B
disclaimer : chapter ini akan terbagi menjadi dua bagian, A dan B.
masing-masing bagian menceritakan kejadian di hari yang sama, namun di tempat
dan kesempatan yang berbeda serta mengenai lingkup tokoh yang berbeda.
Sebuah dorongan dalam diri Song Rahee membawa gadis itu
melewati koridor penghubung antara ruang tengah dan dapur rumah Taehyung, lalu
keluar menuju kebun belakang. Angka digital di layar ponselnya menunjukkan
sekarang sudah pukul sebelas malam lebih beberapa menit. Dengan segera Rahee
menghempaskan tubuh di sofa terdekat yang terlihat dalam jarak pandangnya,
lebih tepatnya di deretan kursi dan sofa dekat pohon pir. Di sekitarnya,
lampion-lampion berhias pita warna-warni masih menyala samar dan kursi-kursi
serta meja makan lebar di tengah-tengah masih tertata rapi. Ah, baru beberapa
jam lalu tempat ini begitu ramai sampai penuh sesak.
Akan tetapi ia tidak kabur ke
sini untuk melamun atau mengamati desain interior kebun rumah Kim Taehyung.
Gadis itu tersadar ketika samar-samar mendengar teriakan Hoseok menggelegar
dari dalam rumah, setelah puas menggeleng-geleng prihatin ia menyalakan kembali
ponsel di genggamannya lalu melanjutkan kegiatan yang tadi sempat terinterupsi.
Baru tiga kalimat, begitu
singkat sampai-sampai Rahee sudah lupa apa isi ketiga kalimat tersebut. Tanpa
peringatan apapun mendadak sesuatu lagi-lagi menginterupsi dirinya. Kali ini
sebuah suara, normal tapi tetap asing di telinga. Seseorang baru saja bersin.
Siapa itu? Yang jelas bukan Rahee.
Sangking kagetnya, gadis itu
tak sempat merasa takut pada bunyi aneh tersebut padahal seingatnya ia sedang
duduk sendirian di bawah pohon. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara sama
cepatnya dengan suara tersebut yang tiba-tiba datang lalu pergi. Apa yang tertangkap
oleh netranya detik itu telah otomatis mengeraskan rahangnya, beruntung ia
masih punya tenaga untuk bicara.
“Sejak kapan kau ada di sana?”
“Sejak tadi,” jawab suara
itu―pemilik suara bersin yang sama. “Sejak bocah-bocah di dalam sana mulai
bermain game.”
“Itu berarti satu jam yang
lalu! Apa yang kau lakukan di sini?”
Orang itu mengedikkan bahunya.
“Tidak ada. Aku ketiduran. Lalu kau datang, membuatku terbangun dan aku malah
bersin.”
Rahee menghela napas.
Setidaknya ia merasa cukup lega meski jawaban yang didapatnya tak sebegitu
membantu. Di luar sini memang dingin, wajah jika lama-kelamaan membuatmu
bersin. “Kukira ini pesta ulang tahun, bukan upacara pemakaman?”
“Uhh ... ini memang pesta ulang
tahun? Dan pesta malam tahun baru, lebih tepatnya.”
“Lalu kenapa kau memakai baju
serba hitam, Min Yoongi?”
Tepat. Di sana―tak jauh dari
posisi nyaman Rahee, paling tidak satu setengah meter di sebelah
kirinya―seorang Min Yoongi juga tengah duduk bersandar pada bean bag kuning pucat yang terlihat
kontras dengan pakaian serba hitam miliknya. Literally, celana hitam, kaos hitam, cardigan hitam panjang, dan rambut hitam yang masih belum mendapat
predikat familiar dalam kepala Rahee. Namun mengabaikan kontradiksi itu, ia
berkamuflase cukup baik di malam segelap ini.
Bukannya menjawab, lelaki itu
justru balik bertanya, “Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini?”
Sang gadis mengangkat
ponselnya, layarnya bersinar terang di bawah cahaya remang-remang lampion di
atas mereka. Netra Yoongi tak begitu bisa menangkap baris demi baris tulisan
yang tertera di sana, tapi semua orang tahu bahwa itu adalah sebuah e-book hanya dalam sekali lihat. “Aku
sedang membaca novel,” jawab gadis itu.
Yoongi mengangguk, seolah
hendak menunjukkan bahwa ia sudah cukup paham. “Novel apa?”
“Kafka on the Shore. Aku tidak
yakin kau tahu apa itu.”
“Memang.” Lelaki itu tersenyum
sekilas. “Tapi aku tahu, kau pasti sudah cukup muak berada di dalam sana,
bukan? Terlalu berisik untuk ukuran sekumpulan bocah yang bermain game.”
Kini giliran gadis itu yang tersenyum.
“Tidak perlu kujelaskan, ya? Jadi, Yoongi, maafkan aku tapi novel ini
benar-benar harus kubaca sekarang.”
Tepat setelah lelaki itu
menjawab dengan anggukan sekali lagi, Rahee berpaling kembali menuju layar
ponsel, disapa oleh tumpukan paragraf yang ia telah lupa bagian mana yang
terakhir terbaca tadi. Siku kiri gadis itu menumpu pada lengan sofa sementara
dagunya ia istirahatkan di telapaknya. Entah apa yang Yoongi lakukan sekarang,
samar-samar Rahee mendengar langkah kaki kecil mendekati mereka sebelum
kemudian sang pemuda membuat suara-suara untuk memanggil si pemilik langkah
kaki.
Rahee bernapas berat. Ia baru
sampai di bab 5 dan tiba-tiba barisan kata demi kata itu tak dapat dicerna oleh
otaknya. Seolah-olah ia tengah membaca buku dalam bahasa alien. Matanya
berkedut sembari terus mengobservasi paragraf yang sama berulang kali.
Sungguh―Min Yoongi bernar-benar tidak membantu.
“Yoongi.”
“Hm?”
Pemuda tersebut menghentikan
kegiatannya―mengusap bulu-bulu hitam anak anjing milik Kim Taehyung―yang lumayan
bising hingga berhasil membuyarkan fokus Rahee. Sementara sang gadis bergeming
sesaat. Gumaman lirih Min Yoongi terdengar aneh di telinganya, cukup untuk
membuatnya melupakan apa yang hendak ia katakan, apalagi setelah lelaki itu
mendongak hingga pandangan mereka bertemu kembali.
“Kau ... suka anjing?”
Tidak butuh satu detik untuk
Rahee menyadari bahwa kalimat yang meluncur dari bibirnya sama sekali tidak
koheren dengan apa yang tadinya ia rencanakan. Tidak butuh satu detik pula
untuk Yoongi menjawab dengan semangat―tidak, tidak ada ekspresi bahagia di
wajah lelaki itu tapi dari cara bicaranya Rahee yakin betul ia tengah bersuara
dengan sepenuh hati.
Pembicaraan beralih seputar
anjing poodle milik Yoongi yang ia
beri nama Holly, bahwa ia sempat mengira jenis kelaminnya betina tapi ternyata
jantan, betapa lucunya Holly melebihi adik perempuannya sendiri, serta
bagaimana ia sering berdebat dengan Seokjin soal anjing siapakah yang lebih
pintar.
“Sayangnya Jjangu―anjing
Seokjin, maksudku, meninggal tiga minggu lalu. Kurasa dia baru saja membeli dua
ekor sugar glider kemarin.”
“Ya, aku sudah dengar dari
Hyeso.” Rahee mengangguk, tanpa sadar sudah meletakkan ponselnya yang mati
otomatis setelah tiga puluh detik. Itu artinya Yoongi sudah bicara lebih dari
tiga puluh detik dan angka tersebut sejujurnya kedengaran tidak realistis.
“Kukira kau tipe yang suka
kucing, seperti Jimin. Kau tahu, dia memelihara kucing hitam,” lanjut gadis
itu.
“Kucing? Mereka juga lucu. Tapi
lebih lucu anjing.”
Percakapan keduanya berlanjut
ketika Yeontan, anak anjing pomeranian
Taehyung, berlari masuk ke rumah, seolah sebuah suara yang hanya bisa ia dengar
tiba-tiba memanggil. Percakapan itu―lebih tepatnya lanjutan cerita
Yoongi―membahas aksi Holly yang mana Yoongi sungguh menyesal tak sempat
merekamnya. Kalau sempat, lelaki itu yakin videonya bisa viral di YouTube.
“Aku berani taruhan, Jjangu tua
itu bahkan tidak bisa melompat lebih tinggi dari kotak korek api, apalagi
bermain piano seperti Holly. Oke, ini terdengar jahat.”
Sang gadis tertawa. Serius, ini
adalah dialog paling interaktif yang pernah ia lakukan bersama Yoongi. Kalau
diingat-ingat, lelaki itu hampir selalu berwajah datar, sedingin lantai keramik
perpustakaan yang AC-nya tetap dinyalakan meski saat cuaca di luar bersalju. Apa
sebenarnya Yoongi memang selalu bisa bertutur semenarik ini? Atau mungkin hanya
saat membicarakan hal-hal yang ia suka?
Jika betul, maka ini sepenuhnya
salah Rahee yang tak pernah mengusung pembicaraan mengenai hobi laki-laki itu
(meski Rahee tahu ia memiliki passion
yang begitu kuat dalam dunia musik). Dan sebagai gantinya, Rahee tak keberatan
untuk membicarakan anak anjing sampai pagi.
“Kau benar-benar menyukai anak
anjing, ya?”
Sesaat lelaki itu bergeming,
memikirkan sesuatu dalam kepalanya, kemudian perlahan mengangkat bahu. “Tidak
secara umum. Mungkin aku cuma terlalu sayang sama Holly.”
“Melebihi adik perempuanmu
sendiri?”
Yoongi tersenyum yakin. “Ya.
Melebihi adik perempuanku sendiri.”
“Menurutku adikmu lucu, Yoon.”
“Bocah itu? Lucu?” Pandangan
Yoongi dialihkan, kini menerawang ke arah rerumputan hijau seolah tengah
membayangkan sang adik, Min Yoonji, serta apa yang tengah dilakukan gadis muda
itu sekarang. “Tetap saja, dia tidak bisa bermain piano seperti Holly.”
Rahee terkekeh. “Memang lucu,
kok. Aku pernah bertemu dengannya dulu, beberapa hari sebelum festival sekolah.
Kau ingat?”
“Ya, aku ingat.” Tentu saja
Yoongi ingat. Bagaimana ia bisa lupa? Terlebih karena adiknya yang bebal itu
salah mengira Rahee sebagai pacar Yoongi sampai berani-beraninya menanyakan hal
itu pada Rahee langsung. Ah, mengingatnya saja Yoongi sudah gugup, ia berdehem
lalu berucap kembali, “Sekarang giliranmu. Aku sudah mengoceh panjang lebar,
jadi sekarang kau yang harus bercerita.”
Sepasang pupil gadis itu
melebar sedikit, namun detik berikutnya ia mengulum sebuah senyum. “Kurasa
tidak ada yang bisa kuceritakan padamu, Yoon. Kita sudah berteman lumayan lama.
Kau tahu kalau aku suka membaca, aku selalu pergi ke perpustakaan setiap akhir
pekan, aku anggota Klub Sastra, dan aku sedang memulai novel Kafka on the
Shore. Apa ada pertanyaan lain?”
“Maksudmu ... aku bisa
menanyakan apa saja?”
“Tentu. Kenapa tidak?”
Rahee benar-benar tidak
keberatan. Yoongi sudah menjadi teman yang begitu baik sepanjang tiga per empat
masa SMA-nya. Apa salahnya saling menanyakan fakta-fakta satu sama lain? Dengan
senang hati, dan berusaha jujur, gadis itu menjawab pertanyaan-pertanyaan
Yoongi mengenai banyak hal. Mulai dari buku favorit, penulis favorit, hobi
selain membaca, sampai kakak laki-laki Rahee (dan tentu saja, mana yang Rahee
lebih suka antara anjing dengan kucing yang jawabannya adalah kucing).
“Aku baru tahu kalau kakakmu
seorang dokter.”
Kakak laki-laki yang
dibicarakan, tujuh tahun lebih tua dari Song Rahee, meski sehari-hari selalu
menyebalkan tapi gadis itu selalu tersenyum bangga tiap membicarakannya.
“Belum, lebih tepatnya Koas. Jadi dia masih magang di rumah sakit universitas.”
“Tertarik untuk jadi dokter
juga?”
“Kau bercanda?” Tawa gadis itu
kembali tersulut berkat pertanyaan kawannya yang ia anggap menggelikan. “Kau
sudah lihat nilai matematikaku? Tepat menyentuh angka KKM. Itu pun aku masih
harus berterima kasih padamu karena sudah membantuku belajar―oh, iya! Aku baru
ingat, aku masih punya hutang traktiran, ya?”
Sama halnya dengan Rahee,
Yoongi menunjukkan keterkejutan seakan ia juga melupakan janji itu, meski
nyatanya ia selalu menyimpannya dengan rapi di sudut memorinya. “Kau benar.
Tapi kita bisa bahas itu nanti. Sekarang, aku punya pertanyaan terakhir, kalau
kau tidak keberatan. Tolong jangan berprasangka buruk. Terserah padamu mau
menjawab atau tidak.”
Impresi soal janji mentraktir
itu lenyap sudah, tergantikan oleh kecemasan yang diam-diam sudah tersembunyi
dalam diri Rahee sedari tadi. Ia telah menduga, pertanyaan ini akan tiba di
akhir, menjemputnya seperti jadwal terakhir kereta tengah malam. Namun mau tak
mau, ia harus menjawab.
“Apa rumor itu benar?” tanya
Yoongi, dibalas oleh sebelah alis si narasumber yang terangkat. Sungguh, Yoongi
tak ingin melakukan ini tapi pemis selanjutnya meluncur dari bibir dengan
sendirinya. “Rumor soal cowok bernama Kwon Soonyoung itu?’
Walau keinginan berpaling
begitu besar, Rahee masih berusaha membalas tatapan hati-hati lelaki itu.
Bibirnya sedikit bergetar. Selesai sudah, satu kali saja nama itu terucap dari
bibir Min Yoongi, kepalanya kini berkecamuk bagai dihantam badai di tengah
lautan. Disertai satu hembusan napas, gadis itu berkata, “Kau percaya pada
rumor, Yoongi?”
***
Namjoon memang beruntung dengan mendapat giliran main paling
banyak, tapi bukan berarti lelaki itu jago mainnya. Bagi Jungkook, Silent Hill
itu terlalu mudah, semudah menghancurkan kulit kacang. Apalagi yang tengah
mereka mainkan sekarang adalah versi cukup lama, berhubung di rumah Taehyung
hanya ada versi itu. Maka, Jungkook yang sudah terbiasa bermain Overwatch
hampir tiap malam ini menahan diri untuk tidak membodoh-bodohi Kim Namjoon
acapkali lelaki itu kehilangan kontrol joystick
saat dikejutkan jumpscare. Daripada
berseru kecewa karena Namjoon kalah lagi, Jungkook lebih memilih untuk menopang
dagu sambil ikut memerhatikan layar ponsel Park Choonhee. Gadis itu duduk di
sebelahnya, barangkali sama bosannya, kini sibuk mengusap layar yang
menampilkan linimasa Instagram. Diam-diam, Jungkook tak hanya menilik foto-foto
yang muncul di sana, tapi juga sosok Choonhee sendiri.
“Payah, Joon.” Akhirnya, Jung
Hoseok berani membuka mulut meski dirinya juga berteriak tak kalah kencang tiap
ada jumpscare. “Game ini jadi tidak
seram lagi gara-gara kau mengulang bagian yang sama tiga kali.”
Di seberang ruangan, Hyora
menahan tawa teringat seberapa hebohnya Hoseok sejak tadi. Lelaki itu jelas
bohong soal ‘tidak seram’.
“Kalian mau tahu apa yang lebih
seram?” Jimin berceletuk. Ia menegakkan punggung, menatap satu-persatu temannya
sambil memainkan senyum misterius. “Hantu yang kulihat di kamar mandi kemarin
malam.”
Biasanya, Taehyung lah yang
akan menyuruh Jimin melanjutkan cerita mati-matian. Namun lelaki itu tak ada di
tempat, ia menghilang bersama Hani beberapa saat lalu. Jimin mengira tak akan
ada yang menghiraukan kalimatnya hingga Hyeso tiba-tiba berkata, “Kau ngibul,
ya?”
“Sok tahu sekali. Ini benar
terjadi kemarin.”
Seokjin baru selesai menelan
keripik kentangnya. Pemuda tersebut hendak meraih segelas air mineral saat ia
berkata, “Coba ceritakan biar kita tahu apa kau ngibul atau tidak.”
Jimin mengedikkan bahu.
“Kemarin saat tengah malam, semua orang di rumahku sudah tidur. Aku ke kamar
mandi untuk mencuci rambut, lalu―”
“Tunggu.” Dari seberang
ruangan, terdengar suara Hwarin memotong. “Kenapa kau mencuci rambut tengah
malam?”
Yang lain lantas bersorak,
sudah akan menghujani Jimin dengan caci-maki sementara si pemuda memandang
Hwarin yang duduk bersandar pada dinding lima meter jauhnya. “Memangnya kenapa?
Apa perempuan tidak pernah mencuci rambut tengah malam? Tanya saja Taehyung,
dia sering mandi tengah malam.”
Sayangnya Kim Taehyung yang
disebut-sebut tak ada untuk memberi kesaksian.
“Kenapa kau cuma mencuci rambut
dan bukan mandi?”
“Aku tadinya sudah mandi tapi
malas mencuci rambut. Jadi sebelum tidur dan membuat bantalku bau lebih baik
aku mencuci rambut dulu.”
Mereka masih ribut, Seokjin
bahkan hendak melempar remahan keripik kentang jika saja tidak dihentikan Hyeso
yang cekikikan di sampingnya. Jimin merasa semua berkonspirasi melawannya, akan
tetapi Namjoon tiba-tiba berhenti bermain, meletakkan joystick lalu menepuk bahu Jimin. “Sudah, lanjutkan saja, bagaimana
ceritanya?”
“Jadi,” ujar Jimin, menaikkan
volume suaranya hingga seisi ruangan itu senyap, “aku mencuci rambut di
wastafel. Setelah selesai, aku tidak ingin airnya membasahi baju jadi aku tetap
menunduk. Saat aku mengeringkannya dengan handuk, tiba-tiba ada bayangan hitam
yang lewat, kelihatan di belakang kakiku. Sempat kukira itu kucingku, tapi saat
kupanggil dia tidak mengeong. Lagipula pintu kamar mandi tertutup, bagaimana
dia bisa masuk?”
“Mungkin itu cuma sugestimu
saja.”
“Kenapa aku harus bersugesti?
Aku sering mencuci rambut tengah malam dan tidak pernah terjadi apa-apa.”
“Ngibul,” ujar Seokjin.
“Ya,” Hyeso menyetujui,
“Bayangan itu sejelas apa? Bayangan tidak pernah terlihat jelas, cuma
sekelebat. Aku pernah melihat sepasang kaki berjalan-jalan di bawah tempat
tidur. Hanya kaki saja, tanpa bagian tubuh lain.”
Lantas, Jung Hyora otomatis
berdiri, mulai melangkahkan kakinya menjauh. Ketika ditanya hendak ke mana oleh
Hwarin, gadis itu hanya menjawab ia ingin mengambil segelas air di dapur.
Sejatinya Hyora hanya tak tahan mendengar cerita seram. Ini sudah hampir tengah
malam! Meski pergi ke dapur rumah ini sendirian agaknya cukup mendebarkan,
masih lebih baik daripada harus mendengar cerita-cerita yang menyulitkannya
untuk tidur malam ini. Setidak-tidaknya ia mungkin tak akan berani menengok
melalui pintu-pintu kaca ke arah kebun belakang.
“Aku tidak tahu bagaimana
pendapat kalian, tapi aku sering melihat hal-hal aneh di sekolah,” ujar
Namjoon. “Rapat OSIS biasanya baru selesai jam enam, lalu aku dapat tugas
tambahan dari ketua jadi baru bisa pulang jam tujuh. Selalu terdengar suara
aneh dari kamar mandi, atau suara ketukan di pintu aula, atau bayangan aneh di
dalam laboratorium biologi.”
“Kudengar dari kakak kelas
manekin di laboratorium pernah pindah ke ruang sebelahnya, padahal tidak ada
yang memindahkan.” Hoseok menambahkan.
Di sana, Choonhee dan Jungkook
saling berpandangan. Sang gadis mengangguk sebelum kemudian berujar, “Soal
bayangan itu, aku dan Jungkook pernah melihatnya sekali.”
“Kami ke sana saat sudah hampir
gelap, catatan biologi punya Choonhee ketinggalan. Saat aku masuk, dia menunggu
di ambang pintu. Aku sudah hampir menemukan buku itu tapi Choonhee tiba-tiba
bilang ada sesuatu di belakangku.”
“Aku tidak begitu ingat
bagaimana,” ucap Choonhee. “Yang jelas, sosok itu kelihatan aneh. Tinggi, tapi
bukan seperti manusia, kira-kira melebihi bagian rak kaca paling atas. Hampir
kelihatan seperti bayangan meski menurutku bayangan tidak akan terlihat sejelas
itu. Ruangannya juga gelap, Jungkook menyalakan flashlight ponselnya tapi diarahkan ke depan. Awalnya aku sedang
melihat ke luar karena ada suara langkah kaki, lalu saat aku menoleh
tiba-tiba―”
Terdengar suara gaduh.
Para remaja yang berkumpul di
ruangan itu kompak berteriak bersamaan. Hoseok terlonjak, membenturkan
kepalanya ke dinding tanpa sengaja. Jungkook, secara tidak sadar telah
melingkarkan tangannya di bahu Choonhee, pose melindungi diri. Mereka semua
sontak menoleh ke sumber suara yang masih luar biasa gaduh.
Asalnya dari dapur.
Hoseok mengabaikan nyeri di
ujung kepalanya, ia segera berdiri tegak kala bunyi-bunyian itu terhenti
tiba-tiba. Sunyi. Senyap. Tak ada yang berani bicara atau lebih dari bernapas
cepat-cepat. Satu-satunya hal yang lewat di pikiran Hoseok adalah Hyora, gadis
itu masih berada di dapur.
Langkah kaki Hoseok cepat dan
pendek-pendek, destinasinya hanya satu, dapur. Ia tidak menghiraukan panggilan
Namjoon maupun tatapan terkejut milik teman-temannya yang lain. Lima langkah
lagi, lima langkah menuju koridor gelap yang menghubungkan dapur dengan ruang
keluarga yang luas ini. Seperti disengaja, lampu yang menyala hanya ada satu di
ujung sana, sepanjang empat meter sebelumnya gelap gulita. Hoseok menelan
ludah, lebih memantapkan hatinya.
Baru tiga detik berlalu setelah
lelaki itu berbelok memasuki koridor, tiba-tiba teriakannya menggelegar,
disusul oleh bunyi kembang api yang jauh lebih keras.
***
Di mana saklar lampunya?
Agaknya sejak awal pun
lampu-lampu koridor ini sudah demikian adanya, entah rusak atau bagaimana―hanya
satu buah yang menyala remang-remang di ujung paling dekat dengan dapur. Jung
Hyora tak mau ambil pusing, ini jauh lebih baik daripada mendapati lampu-lampu
itu bergantian mati lalu menyala berkali-kali saat dia lewat. Itu tidak akan
terjadi, kan?
Gadis itu tidak berbohong pada
Hwarin saat bilang hendak mengambil segelas air putih. Meski tentu saja tidak
seharusnya menghabiskan waktu sepanjang ini. Terhitung sudah dua gelas habis ia
tenggak, tidak ada yang spesial dari rasanya (hanya air biasa), ia cuma
mendadak dehidrasi mungkin disebabkan terlalu banyak mengatur debar jantung.
Kenapa, sih, orang-orang sebegitu
menyukai cerita seram? Hyora akui, hal-hal yang memacu adrenalin itu memang
menagih, tidak bisa berhenti walaupun kesadaranmu berkata bahwa rasa takutmu
sudah terlalu besar. Tetapi Hyora berbeda, gadis itu memahami betul sampai mana
kadar rasa takutnya dapat ditolerir. Sekarang saja, ia tidak berani menengok menuju
pintu dan jendela-jendela kaca yang mengarah ke kebun belakang, Siapa yang tahu
pemandangan macam apa yang bisa kau temui di luar sana?
Entah sudah berapa menit
berlalu dengan atensi Hyora tak lepas dari pintu kulkas yang dipenuhi foto,
magnet, dan gambar buatan anak kecil, tiba-tiba sesuatu terasa mendekati
kakinya. Gelas di genggaman gadis itu hampir terlepas kala ia tersentak kaget.
Untungnya, itu hanya seekor anjing.
Namanya Yeontan, tercetak jelas
di ingatan Hyora sebab anjing pomeranian
itu terlihat begitu lucu dengan bulu-bulu hitam dan kuning. Sang gadis lantas
berjongkok, mengulurkan tangan hendak menyentuh bulu Yeontan dan tiba-tiba saja
anjing itu bergerak lebih cepat dari sambaran kilat. Hyora mengira Yeontan akan
berlari menuju koridor, namun ia berbelok ke bawah meja―menabrak jajaran kursi
yang ditata rapi di sekelilingnya.
Saat itulah keributan kecil
dalam dapur rumah Kim Taehyung dimulai. Anjing kepunyaan si pemilik rumah
seolah melakukan maraton memutari ruangan itu, menabrak apa saja yang ada di
hadapannya. Kaki kursi dan meja, pintu lemari yang dibiarkan terbuka karena
isinya kebanyakan, kardus-kardus bekas snack,
sampai pot bunga plastik di dekat pintu. Yeontan bergerak terlalu cepat hingga
Hyora tak bisa menghentikannya―melihatnya saja sudah membuat pusing!
Sang gadis bertanya-tanya
bagaimana gerangan cara Taehyung memperlakukan hewan peliharaannya, ketika akhirnya
Yeontan berhenti dua meter tepat di depan Hyora.
“Yeontan-ah! Sini!” bisik gadis itu, pikirnya dengan memelankan suara hewan
itu bisa menurut.
Benar saja, kaki-kaki kecil
Yeontan mulai melangkah mendekati Hyora. Tepat saat mereka telah
berhadap-hadapan, gadis itu berjongkok dengan tumpuan satu kaki lalu
mengulurkan kedua tangannya bersamaan, meletakkan yang satu di bawah ekor
Yeontan lalu satunya lagi di bawah dada anjing itu. Kini, Yeontan sudah berada
di pelukan Hyora.
Bukan pertama kalinya gadis itu
menggendong seekor anak anjing, namun menilik dari sikap Yeontan serta
kerusuhan kecil yang disebabkannya tadi mau tak mau membuat Hyora keheranan.
Matanya tak lepas dari Yeontan selagi ia beranjak, berjalan kembali menuju
lorong penghubung ruang tengah. Kehangatan yang disalurkan dari bulu-bulu halus
Yeontan mampu menenangkan Hyora, pemikiran tentang hal-hal seram sudah menghilang
dari kepalanya.
Hatinya sudah tenang, tidak
akan ada yang bisa membuat jantungnya berpacu lagi. Kecuali teriakan Jung
Hoseok yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya dan bunyi keras desingan kembang
api yang menyertainya.
***
“Itu tadi pertanyaan terakhir. Sekarang kau bisa menanyakan
apa saja padaku.”
Song Rahee mengerjapkan
matanya, agak tidak percaya bahwa rasa penasaran Yoongi memang cuma sebatas
itu. Sejauh yang ia ketahui, orang-orang biasanya semakin kepo setelah kau menjawab pertanyaan mereka dengan jujur. Tapi
tidak, kawannya itu kini mematung, menunggu respon sang gadis.
Dipandang seperti itu merupakan
salah satu hal yang tidak disukai Rahee. Apalagi membuat orang lain menunggunya
bicara. Rasanya kegugupannya bisa bertambah berkali-kali lipat. Maka dengan
sedikit nada ragu-ragu, gadis itu akhirnya mengatakan, “Apa ada hal lain yang
kau sukai selain anak anjing? Maksudku―selain Holly?”
Sebaliknya, Yoongi menjawab
tanpa setitikpun keraguan dalam kalimatnya. “Musik. Aku suka musik.”
“Ah, tentu saja.” Rahee
menunduk, menyembunyikan senyumnya. Ia merutuki betapa bodohnya dirinya sendiri
karena menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas. Tak lama ia mendongak
kembali hendak menanyakan alasan Yoongi menyukai musik akan tetapi belum sempat
terucap berkat interupsi dari lelaki itu sendiri.
“Aku juga suka,” ujarnya disertai
beberapa kerjapan mata, “Seorang perempuan.”
Hah?
Ini bukan jawaban yang masuk
dalam daftar kemungkinan jawaban, lagipula persentase kalimat semacam itu
diucapkan oleh seorang Min Yoongi barangkali lebih rendah dari persentase
naiknya harga micin. Rahee harus memastikan apakah dirinya tidak salah dengar
barusan. “Maaf?”
“Maksudku, aku menyukai seorang
perempuan, secara khusus.”
“Maksudmu ... ini perempuan
yang kau suka? Suka dalam arti yang romantis?”
“Ya.”
Wah, Rahee takjub akan betapa
tenangnya Yoongi saat ini. Ekspresinya hampir-hampir tak menunjukkan emosi
apapun. Bagaimana bisa kalimat sakral itu terucap dari bibir orang semacam ini?
Gadis itu benar-benar tak bisa berkomentar.
“Ada seorang perempuan yang
sekelas denganku―kelas kita.” Tanpa menghiraukan air muka Rahee yang berubah,
lelaki itu melanjutkan dengan santai. “Dia temanku. Kita lumayan dekat. Tapi
tidak sampai titik di mana aku tahu apakah perasaan ini mutual, atau hanya sepihak.”
Lantas mimik iba terlukis di
wajah Rahee. “Oh ... kau keberatan untuk memberitahuku, um ... siapa dia?”
Berkontradiksi dengan ekspresi
gadis itu, sebuah senyuman justru terpatri di bibir Yoongi. Kali ini senyum
yang berbeda dengan beberapa saat lalu pada pembicaraan mereka soal poodle peliharaan dan anak anjing lain.
Segaris kurva itu sederhana. Sederhana yang manis.
“Perempuan ini,” ujarnya masih
ditemani senyuman, “Aku tidak tahu kenapa aku menyukainya. Hubungan pertemanan
kita sedikit aneh. Jika dianalogikan, mungkin seperti Cinderella dan Ibu Peri.
Tentu saja―dia Cinderella, dan aku Ibu Peri. Dan itu berarti dia punya seorang
Pangeran, siapapun itu, yang jelas bukan aku.”
Kemudian tiba-tiba, di antara
gemerisik daun yang diterpa angin malam dan sinar bulan yang menyertai
remang-remang lampion, sebuah kembang api berdesing lalu meledak di angkasa.
Diikuti kembang api lainnya, dari merah ke jingga, biru ke hijau,
bersahut-sahutan seolah tak akan berakhir. Jelas, Rahee tersentak dan hampir
beralih menatap langit seandainya sepasang maniknya tidak terkunci dengan milik
Yoongi. Saat itulah senyuman sang pemuda luntur, layaknya gemerlap cahaya
kembang api yang berangsur-angsur redup.
Apa yang berusaha Yoongi
sampaikan melalui gelap obsidian hitamnya?
Rahee mengerti, jawaban itu
terkunci di sebuah kotak dalam hatinya. Ia punya kuncinya, tapi ia tak bisa
membukanya, tidak sekarang. Karena detik ini, dengan pandangan yang bersirobok
dengan pemuda itu, Rahee terlalu takut untuk menyimpulkan barang satu argumen
pun. Di antara napasnya yang tertahan, sesuatu terasa mengganjal di dadanya,
seolah hatinya tengah ditarik menuju dua arah yang berbeda.
Hingga akhirnya pertunjukan
ledakan cahaya warna-warni itu terhenti.
“Bisa kau tebak?” Hampir-hampir
Rahee dibuat terjengat, ucapan Yoongi yang tiba-tiba jauh lebih mengejutkan
dibanding desingan kembang api. “Apakah sebenarnya kisah Cinderella menemui ending yang baik, atau buruk?”
Tidak bisa begini. Beban yang
dibawa Rahee seakan bertambah berat.
“Yoongi,” jawab gadis itu
selepas jeda singkat, “Cinderella punya banyak versi. Tidak semuanya berakhir
bahagia. Kurasa, kau bahkan bisa membuat versimu sendiri, dengan begitu kau
juga bisa menentukan akhir ceritanya sesukamu.”
Untuk pertama kalinya, lelaki
itu menggeleng. “Aku tidak bisa melakukannya sesederhana itu. Tidak tanpa
persetujuan dari si pemeran utama.”
“Kau, Yoongi! Kau adalah
pemeran utamanya! Kenapa kau membuat segalanya semakin rumit?”
Kini gadis itu duduk tegak,
kedua tangannya dikepalkan di atas paha, tatapannya berubah tajam hingga Yoongi
tak bisa berucap apapun seakan baru saja ditikam dengan sebilah belati. “Terlepas
dari itu,” lanjutnya, “Kadang-kadang pengakuan cinta itu menyakitkan, ya?”
Rahee baru saja menancapkan
beberapa belati tambahan. Tak hanya pada Yoongi, namun juga pada dirinya
sendiri. Kalimat yang kemudian meluncur bebas dari bibirnya tak pernah melewati
tahap seleksi di otak, melainkan berasal langsung dari organ tak kasat mata
bernama batin. “Kau tahu? Aku sudah melihat pernyataan cinta yang menyakitkan
juga, tidak lebih dari dua minggu lalu. Pernyataan cinta Kwon Soonyoung pada
Song Rahee. Si lelaki begitu tulus, itu yang dipikirkan si perempuan, sayangnya
perempuan ini terlalu memperumit perasaannya sendiri, sama sepertimu sekarang.”
Cengkeraman tangan gadis itu
semakin kuat pada lipatan roknya. Barangkali angin bisa mendengar, jantungnya
berdegup ribuan kali lebih cepat meski pandangannya tak pernah meninggalkan
sosok Yoongi sedetikpun. “Pada akhirnya, pernyataan cinta yang manis itu
menjadi menyakitkan. Tak lain karena si lelaki tidak mendapat jawaban, tapi si
perempuan berjanji untuk mengirim surat. Dia hanya butuh waktu. Maka, Kwon
Soonyoung menunggu Song Rahee untuk membalas perasaannya.”
Untuk kedua kalinya, desingan
kembang api menginterupsi pembicaraan larut malam itu. Namun sekarang dari
kejauhan dapat terdengar suara-suara gaduh para remaja yang keberadaanya sempat
terlupakan. Agaknya mereka berlomba-lomba keluar rumah untuk menengok kembang
api yang tadi sempat terlewatkan karena sebuah huru-hara.
“Kalau begitu, jangan.”
“Apa?”
Petasan-petasan itu berdesing
terlalu keras, lalu meledak lebih keras lagi. Rahee yakin Yoongi akhirnya
mengucapkan sesuatu, akan tetapi rungunya tak bisa menangkap suara lelaki itu.
Detik ketika ia hendak menanyakan ‘apa?’ sekali lagi, sang pemuda beranjak dari
bean bag-nya. Dengan wajah sepuluh
kali lebih serius, Yoongi berhenti tepat di hadapan Rahee yang kini mendongak
untuk menatap matanya. Kedua tangan lelaki itu diletakkan di bahu Rahee.
“Kalau begitu, jangan. Jangan
kirim suratnya. Jangan balas apapun.”
Sebuah gelengan.
Hanya satu gelengan, tetapi
cukup untuk melonggarkan cengkeraman Yoongi pada bahu gadis itu. “Aku harus
membalasnya, Yoongi. Aku sudah berjanji.”
Ah, Min Yoongi sudah
mempersiapkan diri jikalau terjadi skenario terburuk. Sayangnya, ia tak
menyangka rasanya akan sesakit ini.
“WOI KENAPA LIHAT KEMBANG API
TIDAK AJAK-AJAK?”
Teriakan yang tak lain
merupakan milik Jung Hoseok menggelegar sampai-sampai Hyora takut akan didengar
tetangga. Namun bibir lelaki itu dengan mudah terkunci dengan sendirinya ketika
melihat situasi tidak biasa di hadapannya, begitupun dengan Hyora beserta yang
lainnya (kecuali mungkin Kim Seokjin yang buru-buru mengeluarkan kamera
polaroid dan Jeon Jungkook yang melompat-lompat dengan atensi sepenuhnya
tertuju pada langit berhias gemerlap ledakan cahaya.
“Yoongi? Kenapa kau berdiri di
situ? Dan―kenapa wajahmu seperti itu? Kau baru melihat hantu?” Hoseok
menghampiri kawan pucatnya itu dengan ekspresi prihatin, lupa sama sekali
dengan perihal kembang api. Akan tetapi si kawan yang dikhawatirkan justru
mengusirnya, bukan dengan cara galak seperti biasa, melainkan dengan bisikan
lirih sebelum ia berjalan masuk ke dalam rumah.
Hoseok masih kebingungan,
Seokjin dan Jungkook masih bergumam kagum tiap kembang api meledak satu persatu
di langit, sementara sisanya terlihat ragu-ragu antara harus mempertanyakan
soal Min Yoongi atau ikut menikmati pertunjukan kembang api?
Ketika Namjoon berbalik―hendak
menyusul Yoongi yang baru saja melewatinya dengan kasar sampai menubrukkan
bahu―Song Rahee yang sedari tadi mematung di tempat duduknya merasakan dorongan
batin sekuat yang ia rasakan sebelum berjalan menuju kebun ini. Ia tak peduli
apa sebutannya dan bagaimana perasaan itu menggelitik bagian dalam hatinya,
yang jelas ia segera beranjak detik itu juga untuk mengayunkan tungkai secepat
mungkin, menyusuri jejak milik Yoongi.
Namjoon memerhatikan gadis itu
melesat melewatinya (meski tak sampai menabrak bahunya), kemudian mulai
bernapas cepat selagi mendorong kawan-kawan yang lain untuk memfokuskan diri
pada pertunjukan kembang api. Yoongi, sahabatnya, pasti tengah mengalami hal
berat namun ia tak bisa ikut campur. Tidak sekarang.
Tidak saat takdir melaksanakan
tugasnya.
Dan di sanalah lelaki itu,
langkahnya terseok-seok melewati lorong penghubung dua ruangan di rumah
keluarga Kim. Rahee berlari secepat yang ia bisa, tak melepaskan atensi dari
punggung Yoongi yang semakin dekat di tiap langkahnya. Lalu saat sosok lelaki
itu sudah berada cukup dekat, tangannya terulur meraih lengan sang pemuda
disertai napas memburu.
“Yoongi,” panggil gadis itu.
Kendati ekspresi terkejut di wajah Yoongi tak menunjukkan tanda-tanda dirinya
akan merespon. “Sepertinya aku akan membuat seseorang patah hati.”
“Oh, ya?” Naiknya sebelah alis
Yoongi tak begitu menandakan perubahan ekspresi yang signifikan. Dengan wajah
sedatar lantai keramik di bawah kaki mereka, lelaki itu melanjutkan dengan nada
sarkasme sekental secangkir espresso, “Siapa? Semoga bukan aku.”
Cengkeraman tangan Rahee terasa
dingin, bagai menyimpan sisa-sisa udara malam yang kini berkontradiksi dengan
hangatnya ruangan―dengan segumpal panas bercampur debar jantung dalam dada Min
Yoongi.
“Bukan,” jawabnya.
Satu buah kata sederhana. Namun
berhasil mengundang beliak mata sang pemuda, yang kemudian menatap lekat-lekat
gadis di hadapannya, seolah memastikan ia tidak salah dengar atau gadis itu
tidak salah bicara.
Maka kesungguhan yang ia
temukan dalam sepasang obisidan kecoklatan Rahee membuatnya membatin, Demi
Tuhan―ia akan menyesal seumur hidup jika tidak segera merengkuh gadis itu dalam
pelukannya sekarang juga.
-tbc-
Sekali lagi,
aku nggak memaksa kalian buat suka sama chapter kali ini.
Setelah kurevisi berkali-kali, aku bisa liat banyak plot hole yang terbentuk. Ada keinginan buat ngulang semuanya dari awal tapi aku terlanjur suka sama bagian Yoongi-Rahee gimana dong?
Dari sini, hubungan romantis punya semua tokoh sudah mencapai titik temu, sudah bisa dinalar bakal ke mana arahnya. Sudah jadi tanda-tanda dari akhir cerita.
Tolong jangan kaget kalau satu/dua chapter lagi Vector of Fate udah tamat, ya.
Terima kasih sudah membaca!<3
Setelah kurevisi berkali-kali, aku bisa liat banyak plot hole yang terbentuk. Ada keinginan buat ngulang semuanya dari awal tapi aku terlanjur suka sama bagian Yoongi-Rahee gimana dong?
Dari sini, hubungan romantis punya semua tokoh sudah mencapai titik temu, sudah bisa dinalar bakal ke mana arahnya. Sudah jadi tanda-tanda dari akhir cerita.
Tolong jangan kaget kalau satu/dua chapter lagi Vector of Fate udah tamat, ya.
Terima kasih sudah membaca!<3
Comments
Post a Comment