BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 22A)


22-A

disclaimer : chapter ini akan terbagi menjadi dua bagian, A dan B. masing-masing bagian menceritakan kejadian di hari yang sama, namun di tempat dan kesempatan yang berbeda serta mengenai lingkup tokoh yang berbeda. 



Untuk ukuran rumah yang terletak jauh dari pusat kota Seoul, kediaman keluarga Kim terbilang normal kecuali fakta bahwa pasangan suami-istri pemiliknya suka sekali berkebun hingga mereka sengaja membeli beberapa petak tanah kosong di belakang rumah tiga belas tahun lalu ketika pemukiman masih tidak sepadat sekarang. Hasilnya, selain memiliki kebun belakang yang luas dengan berbagai jenis tanaman, anak pertama mereka―Kim Taehyung―tumbuh sebagai bocah laki-laki yang aktif. Sebagian besar masa kecil Taehyung dihabiskan dengan menjelajah seisi kebun orang tuanya, yang bagi anak laki-laki itu tak kalah menariknya dengan Hutan Hujan Amazon.

Taehyung kecil―dengan kedua mata bulatnya itu―mengamati dunia sekitarnya dengan cukup baik. Ia menyadari keindahan semesta yang ia tinggali ini beserta seluruh misterinya sepanjang tahun-tahun dirinya berada di kebun itu, sesekali membantu ayah dan ibunya bercocok tanam, rutin merawat setiap jengkal tanah berumput dengan memberi air dan pupuk organik, atau sebatas berbaring di bawah pohon pir yang berbunga tiap musim semi dan berbuah tiap musim panas.

Jika salah satu di antara kalian pernah membaca artikel soal manfaat berkebun bagi anak-anak, seluruh poinnya bisa ditemukan dalam diri Kim Taehyung. Dia aktif, kreatif, berkeinginan kuat, pemberani, ulet, dan seterusnya. Bahkan minat lelaki itu pada astronomi didapat berkat kebun belakang rumahnya, berkat malam-malam berbintang yang ia habiskan dengan memandangi angkasa dari tenda kecil nan nyaman miliknya.

Kedua orang tua Kim sangat menyayangi Taehyung. Begitu pula adik-adiknya, kakek dan neneknya, anjing peliharaannya―Yeontan, para tetangganya, serta teman-temannya.

Basically, everyone loves Kim Taehyung.

Lagipula―siapa, sih, yang tidak menaruh hati pada lelaki itu? Sekalipun ada, pastinya bukan Kim Hani.

Gadis itu tergila-gila pada Taehyung. Dalam sekali lihat saja sudah ketahuan. Dan hari ini, di bulan ke-sepuluh ia mengenal lelaki itu, Hani dengan senang hati datang dua jam lebih awal ke pesta ulang tahun Kim Taehyung. Sekalian bantu-bantu, pikirnya.

Benar saja. Ketika ia sampai di sana, hawa dingin membeku yang seolah bisa membuat alas sepatu ketsnya bolong tahu-tahu menghilang berkat sosok ibunda Kim Taehyung yang tertangkap oleh retina Hani. Perempuan paruh baya itu tengah menunduk, mengobrak-abrik isi bagasi mobil yang pintunya terbuka lebar. Wajahnya tak terlihat jelas namun Hani yakin betul ia tidak salah orang.

“Selamat sore, Tante Kim?”

Sang wanita mendongak, sebelah tangannya menggenggam palu besar mengingatkan setiap orang yang melihatnya pada palu milik Thor―salah satu dewa mitologi Nordik―sayangnya Hani tidak repot-repot menyadari melainkan terfokus pada senyum sumringah calon-ibu-mertua.

“Apa aku datang terlalu awal?” tanya gadis itu lagi.

“Tidak!” Ibu Kim meletakkan palunya lalu segera menghampiri Hani dan menggiringnya menuju pintu depan. “Aku baru saja mengantarkan adik-adik Taehyung ke rumah nenek mereka, kurasa sedikit terlambat untuk mulai mempersiapkan pesta nanti malam. Untungnya, kau datang di saat yang tepat!”

Keduanya melangkah ke arah dapur. Sejujurnya Hani penasaran di manakah si lelaki yang berulang tahun, akan tetapi ibu Kim tak hentinya berbicara soal kue pesanan yang belum datang serta berporsi-porsi makanan ringan yang dirasa belum cukup, mau tak mau gadis enam belas tahun itu mendengarkan sepenuh hati.

“Bisa kau bantu mengeluarkan mangkuk-mangkuk besar dari dalam lemari itu? Kalau sudah, langsung isi saja dengan snack yang ada di sini. Sepertinya aku harus menelepon toko kuenya lagi.”

Hani hanya mengangguk. Ia tak keberatan, justru malah terlampau semangat. Hal apa lagi yang bisa lebih menyenangkan selain membantu ibu dari pemuda yang kau sukai di dapur rumahnya? Baru saja gadis itu membuka pintu lemari, terdengar kembali suara si wanita pemilik rumah sementara sosoknya sudah menghilang di koridor. “Tadi aku sudah mulai membuat sandwich dan salad, tolong sekalian lanjutkan, ya!”

Setelah balas menyerukan jawaban patuh, Hani tak menyia-nyiakan satu detik pun. Fokusnya kini tertuju sepenuhnya pada urusan dapur, urusan khusus para wanita, dan barangkali salah satu aspek terpenting yang harus dimiliki seorang istri. Terlepas dari apakah Taehyung lebih menyukai perempuan yang jago memasak atau tidak, Hani sadar lelaki itu sama sekali tak punya skill dasar di dapur, sehingga ia berasumsi―setidaknya, kemampuannya ini dapat melengkapi kekurangan lelaki itu.

Orang bilang, pasangan sejati itu yang bisa saling melengkapi, bukan?


***


“Apa kau tahu bagaimana cara Bach tertawa?”[1]

Min Yoongi menyipitkan mata, ia yakin ‘Bach’ yang disebut merujuk pada Johann Sebastian Bach―komponis asal Jerman yang hidup sekitar 4 abad lalu. Ia hanya tak yakin pada pertanyaan itu, berhubung yang menanyakan adalah seorang Kim Seokjin.

“Uhh ... ㅋㅋㅋㅋ?”

“Bukan.” Kedua sudut bibir Seokjin ditarik ke atas, senyumnya semakin melebar kala ia melanjutkan, “Bach-ha-ha-ha!”

Segera, tawa lelaki itu meledak, disusul ekspresi kesal Yoongi yang kontan beringsut tanpa basa-basi. Ia tak punya waktu untuk mendengar lelucon jayus lelaki itu. Sementara di sebelah sang pemuda yang masih tertawa gara-gara candaannya sendiri, Jeon Jungkook mematung selagi sepasang matanya mengamati setiap sudut halaman belakang rumah Taehyung yang penuh sesak. Apakah Choonhee memang belum datang atau gadis itu berada tersembunyi di suatu tempat?

Barangkali Jungkook harus mengunjungi dokter spesialis mata, sebab Yoongi dapat melihat jelas orang yang dicari-cari tengah duduk di sebuah sofa navy blue berjarak tujuh langkah dari posisinya semula. Gadis itu tengah asyik mengobrol dengan Rahee.

“Kemarin aku nonton video soal pertanyaan-pertanyaan yang dijawab langsung oleh dua karyawan Google.[2] Kau tahu, banyak orang menanyakan hal semacam ‘apakah karyawan Google bisa melakukan A atau B’.”

“Oh, ya? Lalu?”

“Saat ada pertanyaan ‘apa karyawan Google bisa melihat isi e-mail kita?’, dua karyawan itu langsung jawab ‘tidak’ berkali-kali.” Rahee berujar dengan ekspresi tak percaya di wajahnya.

Choonhee, di sebelahnya, berusaha menahan tawa. “Itu jelas tipikal jawaban dari orang yang bisa melihat isi e-mail-mu.”

“Benar! Mereka bahkan menghindari pertanyaan soal deep web, payah.”

Percakapan mereka terdengar samar-samar di telinga Yoongi. Lelaki itu bisa saja menghampiri kedua perempuan tersebut sekedar untuk berkata, “Choonhee-ya, Jungkook mencarimu.” Akan tetapi tungkainya berkehendak lain. Langkah demi langkah membawanya menjauh, sampai di hadapan pohon pir besar ketika ia baru ingat bahwa batang hidung Namjoon belum kelihatan.

Ke mana perginya lelaki itu?

Pesan terakhir dari Namjoon sampai di ponsel Yoongi lebih dari setengah jam lalu, “Kau duluan saja,” katanya. Terlampau singkat namun Yoongi menduga kawannya itu pergi menjemput Hwarin lebih dulu. Ini membuatnya terdengar seperti pemuda kesepian. Saat itulah rungunya menangkap sebuah suara, seperti orang mengaduh karena kepalanya kejatuhan buah pir. Tapi mana ada pir berbuah di musim dingin? Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pohon besar itu, terlihat siluet di sisi lain pohon itu yang menghadap ke semak stroberi. Yoongi melongokkan kepala, lebih keheranan lagi melihat apa yang ia temukan di sana.

Namjoon dan Hwarin. Apa yang mereka lakukan di balik pohon pir?

“Kakiku luka,” ujar Hwarin setelah menyadari presensi sekaligus tanda tanya besar di wajah Yoongi. “Tempat duduknya penuh. Apa boleh buat?”

Yoongi hanya bergeming.

“Kau terlalu percaya diri. Sudah kubilang pakai sepatu baru itu kurang nyaman, apalagi kau belum terbiasa dengan sepatu begini.” Namjoon, berjongkok di depan gadis itu, menggenggam sekotak plester dan botol tetes betadine di kedua tangannya sembari menunjuk sepasang flat shoes yang kini teronggok di tanah.

Hwarin tak jadi memasang plester di kakinya, justru malah melotot ke arah Namjoon. “Mau menghinaku, ya?”

“Tidak. Kata siapa?”

“Kataku! Kalau bukan menghina lalu namanya apa? Merendahkan?”

Oh, kini Yoongi makin merasa bahwa dirinya memang seorang pemuda kesepian. Mengamati perdebatan tidak berguna ini lebih buruk daripada mencuri dengar teori konspirasi soal karyawan Google. Persetan dengan Namjoon, Yoongi tak ingin berlama-lama di sana.

Tetapi ... kini ia hendak ke mana? Ternyata bukan cuma kesepian, ia juga tak punya tujuan.

“Siapa yang bilang kau sudah boleh ambil roti itu?”

Hmm, seperti bau-bau keributan. Yoongi kenal pemilik suara itu. Setelah menengok dan mendapati sumbernya memang berasal dari seorang Kim Hani―yang mana ditujukan pada Jung Hyeso―Yoongi tak bakal heran jika melihat Hani mengeplak tangan lawan bicaranya. Menurut pendapat lelaki itu (yang sejatinya subjektif meski didasarkan pada pengalaman pribadi), dua perempuan itu sama barbarnya.

“Kenapa, sih?”

“Jangan dulu.”

“Ada apa ini?”

Mereka lantas bungkam kala Yoongi datang dengan gaya sok mengatur, jika diibaratkan nada bicaranya persis Guru Park yang memergoki dua orang murid sedang berkelahi di kantin hanya gara-gara berebut jatah puding karamel. Semua pasang mata kini diarahkan pada Yoongi, hendak melubangi kepala lelaki itu dengan tatapan yang seolah bisa mengeluarkan sinar laser. Hingga akhirnya Hyora (iya, sedari awal dia juga ada di sana) menyemburkan tawa sembari berkata patah-patah, “Min Yoongi, kau kurang piknik, ya?”

“Goblok.”

“Dia memang goblok. Kau baru sadar?”

Hyeso mengedikkan bahu. “Jadi ini kapan bisa dimakan?” tanya gadis itu sambil menunjuk-nunjuk dua panci di atas kompor mini di hadapannya.

“Kubilang tunggu sebentar lagi,” jawab Hani sambil menyetel tingkat panas kompor. “Ini belum meleleh sepenuhnya. Nanti malah tidak enak.”

Dengan tangan kanan masih menggenggam garpu panjang yang tadinya sudah digunakan untuk menusuk potongan roti, Hyeso menghela napas lalu mendekatkan wajah ke uap yang dihasilkan dari kedua panci itu. Menurutnya keju dan coklat di dalam sana sudah cukup meleleh. Di sebelahnya, Yoongi sepenuhnya terabaikan jika saja alasan Hyora masih terkekeh bukan gara-gara lelaki itu. Jadi, dua orang ini bertengkar―atau tidak?―pasal chocolate & cheese fondue?

“Ini hasil memetik di kebun sendiri?” Hyeso kini menunjuk semangkuk besar stroberi merah yang isinya menggunung, tak beda jauh dengan mangkuk-mangkuk lain di sekitarnya.

“Bukan. Aku yang beli di supermarket.”

Hyeso mendelik. “Kau? Kau yang beli? Kenapa kau yang beli?”

Bukannya menjawab pertanyaan itu secara koheren, Hani malah melanjutkan, “Aku juga yang beli tambahan daging untuk barbecue dan semua bahan fondue ini, kecuali coklat dan kejunya―lagipula tidak ada yang panen stroberi di musim dingin, Hye.”

“Ya, tentu. Kau ‘kan pacarnya Taehyung,” ujar Hyeso sekenanya, menekankan suara pada kata ‘pacar’. “Lalu kenapa sekarang kau di sini bukannya menemani pacarmu itu?”

Hani memutar bola mata jengah. “Pertanyaan itu berlaku juga untuk kalian. Kenapa kalian di sini? Ke mana Seokjin dan Hoseok? Dan kau―Min Yoongi, kenapa kau masih di sini?” Gadis itu lantas menunjuk dengan ujung dagunya, ke arah pintu masuk halaman belakang rumah keluarga Kim. “Well, Tae ada di sana sejak tadi. Menerima tamu.”

Mereka berempat (termasuk Yoongi yang tidak dianggap) mengalihkan atensi pada sosok Kim Taehyung di ujung lain halaman luas itu, kini tengah tertawa lebar berkat lelucon yang ia lontarkan sendiri.

“Kau tidak kelihatan seperti orang yang sedang berulang tahun.”

“Memang. Ulang tahunku kemarin.”

Si lelaki di hadapan Taehyung ikut tertawa, merasa itu adalah kewajibannya sebagai teman yang baik apalagi setelah mengenal Kim Taehyung lebih dari tiga tahun. Meski lelucon Taehyung sebenarnya tidak selucu itu. “Selamat ulang tahun, Bro.”

“Kau sudah mengucapkannya di SNS kemarin.”

Tidak tahan, sang kawan mendengus. Dikasih selamat kok malah bercanda? Ia lantas mengepalkan tinju ringan ke arah bahu Taehyung, cukup untuk membuat lelaki itu meringis sambil nyengir kuda. Taehyung memandang kawannya yang beranjak menjauh, hendak menghampiri gerombolan teman-teman masa SMP-nya yang lain. Halaman belakang rumahnya kini bagai dipenuhi kubu-kubu berbeda, masing-masing adalah orang-orang yang ia kenal sejak SD, SMP, SMA, tetangga, kerabat, bahkan teman dari game online. Apakah ia mengundang terlalu banyak orang?

Tepat ketika sang pemuda berpikir demikian, sebuah suara menginterupsi kerja otaknya.

“JK! Woi, JK! Mau ke mana?”

Taehyung menoleh ke belakang, segera disambut sosok Jeon Jungkook yang sampai di hadapannya kurang dari tiga detik. Lelaki itu tidak kehabisan napas, agaknya tertahan oleh ekspresi serius di wajahnya.

“Choonhee sudah datang belum?”

Meski kebingungan, memori Taehyung bekerja cukup baik dengan mengingat kapan seorang Park Choonhee datang beberapa saat lalu. Ia sudah membuka mulut ketika Seokjin tiba-tiba sudah menyusul di belakang Jungkook, ngos-ngosan.

“Uuhhh ... sudah.”

Nampaknya Jungkook sedikit lega. “Di mana dia sekarang?”

“Aku tidak tahu.”

Seokjin, masih bernapas berat, menepuk bahu Jungkook lantas membuat kedua lelaki di hadapannya memandang dirinya. “JK. Lebih baik kita cari makanan.”

Detik berikutnya Taehyung sudah ditinggalkan sendirian lagi, Seokjin menyeret Jungkook yang mau-mau saja melewati kerumunan orang, melewati pot-pot bunga, melewati lampion-lampion yang menggantung di atas kepala mereka, melewati teras di depan dapur rumah dan meja-meja yang berjajar di dekatnya, serta melewati kue besar berhias lilin yang tak lain pasti milik Kim Taehyung.

Seokjin percaya pada intuisinya, ia mengikuti intuisi itu demi menemui sesuatu yang berhasil melebarkan bukan hanya senyumnya melainkan juga senyum Jungkook.

“Butuh bantuan, Om?”

Terlalu fokus pada aroma daging yang dibakar tentu sepenuhnya menyumpal rungu Seokjin dan Jungkook hingga tak bisa mendengar panggilan salah seorang teman mereka, Park Jimin. Lelaki itu jelas menahan malu karena diabaikan, namun ia cukup konsisten dengan terus menyerukan nama Jungkook dan Seokjin bergantian. Sayangnya, dua pemuda itu kini telah beralih profesi menjadi asisten Bapak Kim (ayah Taehyung) dalam bidang membakar daging barbecue.

“Kau tidak lihat mata beringas Seokjin? Dia tidak akan menoleh meski kau memanggilnya pakai megafon.” Hoseok menimpali sambil melipat tangan di depan dada, segera disusul oleh helaan napas Jimin.

“Apa yang kita bicarakan tadi?” Jimin kembali menghadap Hoseok dan tiga temannya dari kelas sebelah, mereka sama-sama mengikuti Klub Dance.

“Winter Olympics,” jawab Hoseok.

“Ah, kalian lihat ice skater Amerika itu? Yang mendarat dengan triple axel[3]?” Mendadak Jimin berubah semangat lagi, namun pertanyaannya dibalas dengan gelengan tak yakin. “Kalau tidak salah namanya Mirai Nagasu.”

“Mirai Nagasu bukan nama orang Jepang?”

Jimin mengedikkan bahu. “Mungkin dia orang Jepang-Amerika. Tapi itu tidak penting! Yang penting, triple axel-nya keren! Kudengar dia cewek Amerika pertama yang melakukan triple axel di Olimpiade. Plus, dia cantik.”

“Oh, ya?”

“Ya.”

“Masih lebih cantik Alina Zagitova.”

“Tidak, lebih cantik Choi Dabin.”

“Lebih cantik pacarku.”

Berkat kepercayaan diri Jung Hoseok yang dikemas dalam sebuah kalimat singkat, perselisihan pendapat soal atlet figure skating tercantik itu berhenti. Tak lama kemudian, tergantikan oleh pertanyaan, “Pacarmu siapa?”

Jimin mengira Hoseok akan tersinggung, akan tetapi lelaki itu malah memasang senyum percaya diri jauh lebih lebar dari sebelumnya. “Pacarku, Jung Hyora. Dia murid pindahan waktu awal semester dua kemarin, tapi kita sudah saling kenal sejak kecil.”

Terdapat jeda yang digunakan Hoseok untuk mengambil napas, Jimin tak membuang kesempatan menyela sebelum kawannya itu mulai bernarasi panjang kali lebar soal pacarnya. “Dia sekelas dengan kita berdua, kelas 1-C.”

Orang yang pertama kali menanyakan soal pacar Hoseok―Choi Seungcheol, kelas 1-F―menangkap kode yang diberikan Jimin lantas mengangguk-angguk. “Aku cuma kenal satu perempuan di kelas kalian.”

Lelaki di sebelah Seungcheol, sekelas dengannya, menimpali setelah meneguk fruit punch dari gelasnya. “Song Rahee, ya?”

“Ya.” Seungcheol mengangguk. “Kau pernah mengajaknya ke cafe kelasku saat Festival Sekolah ‘kan, Jim? Dulu sempat kukira kalian pacaran.”

Seolah ucapan lelaki itu lebih konyol daripada teori bumi datar, Jimin memasang wajah tak percaya sekaligus jijik bersamaan. “Ha? Siapa yang mau jadi pacar cewek macam Rahee? Lagipula, dia sahabatku.”

“Jim.” Hoseok melirik kawannya itu, sedikit mengejek. “Setahuku kau tidak dianggap teman sama Rahee.”

Jimin sudah akan menjitak kepala Hoseok tetapi ia lebih memilih untuk tertawa dibuat-buat sambil melipat tangan di depan dada. Itu justru mendorong Hoseok untuk tergelak keras-keras.

“Omong-omong, si Soonyoung itu pindah ke mana?” tanya Jimin, sepenuhnya mengabaikan Hoseok yang masih terpingkal-pingkal. Kalau boleh jujur, membicarakan Rahee seolah tak bisa lepas dari Soonyoung, apalagi sekarang Jimin sedang bicara dengan teman-teman sekelas Soonyoung.

“Daejeon.”

“Tidak begitu jauh,” jawab Jimin, disambut oleh gelengan Hoseok yang merasa berpisah delama dua tahun dengan Hyora membuatnya lebih memahami arti jarak. “Tapi LDR itu repot juga.”

Hening. Sebelum kemudian Seungcheol memberanikan diri menjawab, “Soonyoung mungkin tidak akan LDR.”

“Hah?”

“Temanmu itu belum memberi jawaban ke Soonyoung sampai hari ini. Siapa yang tahu Soonyoung bakal ditolak atau tidak?”

Jimin sempat yakin bahwa dua temannya itu saling menyukai, ia sampai tak ragu-ragu merencanakan misi mencomblangkan mereka berdua. Akan tetapi kata-kata Seungcheol membuat keyakinannya goyah. Rahee tak pernah mengatakan apapun soal Soonyoung pada Jimin. Apa jangan-jangan Hoseok benar, bahwa gadis itu tidak menganggapnya seorang teman?

Ia kini hanya bisa bertanya-tanya dengan pandangan menerawang ke arah anyelir putih yang mekar dalam pot bunga di dekat kakinya.


***


Ketika hampir seluruh tamu undangan berakhir tergesa-gesa menghampiri pintu keluar dua jam sebelum tengah malam―termasuk kedua orang tua Kim Taehyung yang pergi menengok adik-adik Taehyung di rumah neneknya―kini tersisa hanya tiga belas orang di dalam rumah itu. Kedengaran seperti angka sial, kalau di film horor pasti kedatangan setan gara-gara iseng bermain papan ouija. Walau tentunya angka tersebut jauh lebih sedikit dari jumlah awalnya, kebisingan yang mereka perbuat masih lebih parah daripada dengungan lebah yang sarangnya terbalik.

Terdiri dari si tuan rumah, kekasihnya yang setia, enam kawan lelaki dan lima kawan perempuan yang agaknya perlu dikasihani karena tidak punya rencana menghabiskan malam tahun baru selain menetap di pesta Kim Taehyung hingga detik-detik terakhir.

Mereka (tidak perlu disebut namanya satu persatu, bukan?), awalnya hanya duduk-duduk tercecer di ruang tengah tanpa memiliki minat untuk melakukan apapun selain menatap layar televisi yang menampilkan MBC Gayo Daejejeon dengan benak sepenuhnya berkelana ke tempat lain. Hingga kemudian, our life saver, Kim Seokjin, berdiri tiba-tiba dari posisi ternyamannya di sofa lalu berjalan ke arah televisi dan berdiri di sana, memblokade pusat atensi milik dua belas pasang mata di hadapannya.

“Teman-teman, kita harus melakukan sesuatu yang ... produktif.” Lelaki jangkung itu berujar tegas.

“Maksudmu produktif seperti pergi keluar dan meniup terompet di sepanjang jalan komplek?” ujar Jung Hoseok dengan lantang, meski direspon oleh tawa Jimin dan Taehyung namun Seokjin justru melipat tangan tak puas.

“Bukan.” Seokjin bertukar pandangan dengan satu persatu kawannya (walaupun kebanyakan tidak peduli lalu segera mengalihkan atensi), kemudian melirik sekilas ke arah televisi di belakangnya. “Kita harus main game.”

Penonton kecewa! Hampir separuh dari mereka berharap lelaki itu akan mengususlkan hal yang lebih menarik seperti menonton film horor (atau bahkan bermain papan ouija?), sayangnya ajakan Seokjin malah membuat mereka memutar bola mata jengah lalu memutuskan untuk mengabaikan kawan yang satu itu. Bisa dilihat Yoongi diam-diam beranjak keluar, Hwarin cepat-cepat memasang earphone di telinga, atau Rahee yang kembali memfokuskan diri pada ponselnya. Akan tetapi ada beberapa yang excited lalu segera mengikuti komando Kim Seokjin untuk menyalakan PlayStation, sebut saja si tuan rumah (Kim Taehyung), Park Jimin, Jeon Jungkook, dan Jung Hoseok. Sisanya? Yah, mengikuti alur sajalah.

Kalau boleh jujur, Hani lebih memilih PlayStation 4 mutakhir milik Taehyung digunakan untuk bermain Harvest Moon, bukannya menampilkan latar khas hitam-putih Limbo di layar televisi.

“X untuk lompat, segitiga untuk tarik atau dorong.”

Dengan seksama, Jungkook memerhatikan penjelasan Seokjin panjang lebar soal game yang kebetulan akan ia mainkan setelah keberuntungan dalam suit batu-kertas-gunting. Perjanjiannya, kalau Jungkook mati maka giliran main pindah ke tangan Taehyung, lalu Seokjin, lalu Hoseok, lalu Jimin, dan seterusnya. Layar TV LED 32 inch di hadapan sekelompok remaja itu dominan menggambarkan siluet hutan hitam disertai sedikit warna putih dan kabut abu-abu sesaat setelah Jungkook menekan pilihan new game.

Limbo, menurut penjelasan Seokjin, kini memperlihatkan sosok bocah lelaki tengah mengerjap-ngerjapkan kedua mata putihnya yang menjadi satu-satunya warna terang di antara siluetnya dan siluet hutan di sekitarnya. Jungkook, sih, tidak begitu mendengarkan saat Seokjin bercerita soal siapa bocah laki-laki itu, apakah namanya Limbo, dan apa yang dia lakukan di hutan misterius sendirian. Jemarinya sudah menekan tombol-tombol joystick secara konstan sehingga fokusnya pun sudah tersedot sepenuhnya ke dalam permainan.

Maka rasa bosan para remaja tersebut lekas menghilang ketika pusat perhatian mereka teralih menuju bocah petualang hutan yang berlari, melompat-lompat, memanjat pohon, menghindari perangkap, dan memecahkan teka-teki agar bisa terus melanjutkan perjalanan.

“Kook, awas perangkapnya!”

“Iya, iya. Aku tahu kok.”

“Seharusnya kau melompat, bukan menunduk.”

“Bukannya sama saja?”

“Wah, jaraknya jauh banget. Apa kau bisa melompatinya dalam sekali―WOI POHONNYA ROBOH!!!”

“Astaga, jangan berisik, Hoseok!”

Yeokshi uri Jungkookie, semudah itu menghindari perangkap menda―ASTAGA DEMI TUHAN APA ITU???!?!?”

“Diam, Hoseok, itu cuma laba-laba.”

“Tapi Seokjin tadi juga teriak! Lagian itu laba-laba raksasa!”

“Bodo amat.”

“Choonhee-ya, tolong ambilkan Banana Kick, dong.”

“Yang rasa coklat atau vanilla, Kook?”

“Bukannya banana itu rasa pisang?”

Terserah woi.


***


Hanya tinggal menunggu sepuluh kelipatan enam puluh detik sebelum jam dinding ruang tengah berdentang dua belas kali, menunjung tepat di angka dua belas, yang artinya hari sekaligus tahun telah berganti. Di antara kawan-kawannya yang kini terfokus bermain Silent Hill, Taehyung pelan-pelan beranjak sembari berujar, “Aku mau ke toilet.”

Ah, apanya yang ke toilet? Detik berikutnya lelaki itu sudah melotot ke arah Kim Hani yang baru tersadar setelah sepuluh detik terlewat, itupun karena Taehyung diam-diam melemparinya remahan popcorn. Sesaat setelah sang gadis balas melotot, Taehyung menggerakan jemarinya pertanda untuk Hani mengikuti langkah lelaki itu keluar ruangan. Segera ketika mereka sampai di tangga, gadis itu mulai mencolek lengan Taehyung. “Kita mau ke mana? Jangan buat aku paranoid, Silent Hill tadi seram banget apalagi Namjoon tidak jago mainnya.”

“Kita akan mengajukan diri untuk diculik alien.”

Hani kini mencubit lengan lelaki itu, yang diikuti oleh suara mengaduh. “Jangan bercanda. Kita mau ke mana, hah?”

Di sela-sela aduhan dan gelak tawa yang bercampur menjadi satu, Taehyung menjawab, “Ke kamarku.”

Lantas Hani bergeming. Kedua tungkainya masih konstan menaiki anak tangga namun ia tak berani mengucapkan satu patah kata pun.

“Delapan menit lagi tengah malam. Kamarku di loteng adalah tempat terbaik untuk melihat pertunjukan kembang api,” lanjut lelaki itu dengan nada polos. Ah, Hani menyesal sudah memikirkan yang macam-macam.

Ini pertama kalinya Taehyung menunjukkan kamarnya pada seorang perempuan selain ibu, nenek, dan bibinya. Ruangan itu cukup luas, tidak terkesan seperti loteng sama sekali jika saja bukan karena langit-langitnya yang membentuk miringnya atap. Desainnya serba kayu, tapi tak terlihat kuno, dengan interior yang tertata rapi memenuhi tiap sudut. Agaknya Taehyung sengaja menata kamarnya demi pencitraan di depan Hani.

Lelaki itu lekas duduk di atas karpet lebar yang digelar di tengah ruangan, menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya agar Hani ikut duduk di sana. Membelakangi tempat tidur mungil Taehyung, pandangan mereka otomatis tertuju pada kaca jendela besar yang menampilkan kelamnya langit malam.. Di hadapan mereka berdiri sebuah tripod yang menyangga teleskop kecil.

Taehyung benar, ini tempat yang sempurna.

“Jendela ini tidak punya gorden?” tanya gadis itu, dijawab oleh gelengan. “Jendela terbuka di malam hari membuatku terintimidasi. Apa kau tak pernah merasa seperti ... sedang diawasi dari luar sana?”

Menoleh, Taehyung tersenyum. “Tidak. Justru aku yang selalu mengawasi dunia luar sana. Pemandangan langit berbintang selalu berhasil membuatku tidur nyenyak.”

Seumur hidup Hani tak pernah memiliki ketertarikan pada astronomi, memikirkannya saja tak pernah. Gadis itu mungkin tipikal yang terlalu sibuk menatap ke depan hingga tak pernah repot-repot mendongak ke atas untuk menyadari keindahan langit yang membentang. Berkat Taehyung, agaknya ia mulai mengerti. Ia tak perlu sepenuhnya memahami ocehan-ocehan ilmiah atau filosofis Taehyung soal bintang-bintang, ia hanya perlu memahami keindahannya.

Sebagaimana ia memahami keindahan dalam diri Kim Taehyung.

“Kau mau lihat Sirius?”

Hani tak perlu mengangguk, sebab Taehyung sudah keburu beranjak, merangkak mendekati teleskop kesayangannya. Sang pemuda mengutak-atik benda itu layaknya seorang profesional, Hani tak pernah menyangka ia bakal benar-benar melihat Taehyung bersama sebuah teleskop. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu menoleh lalu menarik tangan Hani dengan lembut.

“Tidak perlu kujelaskan, kau sudah tahu cara memakainya, ‘kan?”

“Ya, aku bukan orang bodoh yang tinggal di gua.”

Sang gadis memang belum pernah menyentuh teleskop sebelumnya, kecuali mungkin yang ada di puncak Namsan Tower, tetapi ia cukup paham bahwa cara kerjanya tak beda jauh dengan teropong. Mata kanannya mengintip apa yang disajikan angkasa dari bagian kecil di ujung teleskop itu. Di sana, tepat di tengah-tengah jarak pandangnya, Hani bisa menangkap sebuah cahaya terang.

“Itu Sirius A, bintang paling terang yang terdekat dengan bumi, jaraknya 8.6 tahun cahaya.” Dengan nada semangat, Taehyung menjadi pemandu sukarela menjelaskan apa yang tengah diamati oleh manik gadis itu. “Sirius A punya pasangan, namanya Sirius B. Sirius B sendiri adalah bintang yang sudah berevolusi menjadi katai putih, hanya saja dia lebih redup daripada Sirius A. Mereka berdua mengorbit satu sama lain. Sayangnya, para astronom sedikit terlambat dalam menemukan Sirius B, butuh dua dekade lamanya, kemudian hampir setengah abad untuk menyadari kalau Sirius B adalah katai putih.”

Suara bariton Taehyung seolah menembus rungu Hani, serumit apapun kalimat-kalimat lelaki itu Hani tak keberatan mendengarnya terus-menerus. Pada detik ke-sepuluh setelah jeda keheningan yang dibuat Taehyung, terdengar suara desingan yang diikuti ledakan keras. Kim Hani, masih menatap langit dari lensa teleskop, baru saja menyaksikan sudut pandang baru dari pertunjukkan kembang api. Garis-garis percikan bunga api sekilas memenuhi penglihatannya, disusul desingan dan ledakan lain, lalu mengulang pola percikan serupa.

Dengan perasaan membuncah gadis itu mendongak, kembali menatap pemuda di sampingnya, hendak menunjukkan pengalaman luar biasa yang hanya bisa ia tengok melalui teleskop. Akan tetapi dirinya segera disambut oleh sepasang netra Kim Taehyung yang sedari tadi tak berhenti menatapnya, beserta segaris senyum manis.

Baru saja Hani mengira kembang api yang terlihat dari teleskop barangkali adalah hal terindah di dunia, namun ternyata sosok laki-laki di hadapannya ini jauh lebih indah.

Belum sampai lima detik Hani sudah memalingkan wajah, ia tak tahan jika harus beradu pandang dengan Taehyung. Tidak sekarang, ketika jantungnya bagai ingin mencelos keluar kapan saja. Ia mengembalikan fokus atensi pada serentetan kembang api yang meledak di langit, terlihat jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan versi teleskop tadi. Gadis itu menarik napas berat di sela-sela debar jantungnya. “Kembang api selalu mengingatkanku pada malam itu, di Summer Camp.”

Mendadak udara di ruangan itu terasa berat, rasanya sulit untuk bernapas. Sekelebat memori singgah dalam benak gadis itu. Summer Camp. Kembang api. Api unggun. Kim Taehyung. Dan ciuman pertamanya.

“Butuh waktu setara dekade untuk pasangan Sirius saling menemukan satu sama lain.” Suara bariton Taehyung memecah lamunan sekaligus hening di sekitarnya tatkala kembang api berhenti berdesing. “Mereka tak pernah mengeluh, menunggu waktu sendiri yang bicara. Selama dekade itu mereka saling mengorbit tanpa mengetahui jawaban dari penantian mereka ada di sana.”

Sembari mematri senyum, sang pemuda meraih tangan Hani, menggenggamnya lalu mengunci pandangan mereka berdua. “Menurutmu, apa itu yang disebut takdir? Saling mengorbit dalam penantian sampai akhirnya bertemu di satu titik penentuan?”

Deru jantung Hani terdengar jelas di telinganya―ribuan kali lebih cepat. Kalimat indah Taehyung melayang di kepalanya meski berefek cukup buruk, ia tak bisa berkata sepatah kata pun. Terlebih karena senyuman lelaki itu, oh, sang gadis seolah membeku di tempatnya, merasakan tangan Taehyung yang menyalurkan kehangatan.

“Hani, jika aku menjadi Sirius B, kuharap kau adalah Sirius A milikku.”

Ketika Taehyung mendekatkan wajahnya untuk mengecup pelan bibir Hani, gadis itu tak bisa menolak. Desingan kembang api kembali terdengar, memancarkan cahaya warna-warni yang menembus kaca jendela di atas mereka, segalanya terasa seperti sebuah perjalanan waktu. Ciuman yang sama manisnya dengan sepuluh bulan lalu, di bawah langit dan pemandangan yang sama, Hani merasa ia tak akan bisa mencintai Kim Taehyung lebih dari saat ini. Saat di mana ia seolah bertemu Sirius miliknya.


***
option: go to the B side of this chapter

Ini belum berakhir, Kawan.
HEI SOWWY FOR TAKING SO LONG JUST TO WRITE THIS PIECE OF TRASH.
Aku nggak memaksa kalian buat suka dengan chapter kali ini, yang ketunda lama banget karena rencana awalnya harus udah kupublish di hari ulang tahun Taehyung. Maafkan aku.
Tolong tunggu #22B ya!





[1] Diambil dari dad jokes Seokjin di RUN! BTS Episode 45
[2] https://www.youtube.com/watch?v=kOsl3cmK3zg
[3] Teknik lompatan dengan berputar tiga kali di udara dalam olahraga figure skating/seluncur indah

Comments