BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 12)


12


Apa perasaanku berhasil sampai padamu?


***


Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Rahee ketika dirinya sampai di pintu masuk gedung sekolahnya dan mendapati seorang Kwon Soonyong sedang berdiri bersandar pada loker sepatu yang notabene adalah milik Rahee. 

Sambil mematung di tempat, Rahee terpaksa mengulang kembali kejadian yang tadinya berusaha untuk tidak terlalu dia pikirkan. Kemarin, dia sedikit senang karena bisa kabur dari Jimin tapi nampaknya keberuntungan tidak berpihak padanya karena pada akhirnya dia malah harus mengurus korban kecelakaan kecil yang ditimbulkan oleh properti rumah hantu kelasnya.

Kalau boleh jujur, Jimin adalah orang kedua yang ingin dia hindari, sementara yang pertama adalah korban kecelakaan itu sendiri, Kwon Soonyoung. Mengingat pertemuan pertama mereka yang bahkan bisa terbilang absurd, rasanya selalu aneh saat mereka tidak sengaja bertemu kembali. Apalagi pertemuan di hari kemarin yang juga bisa dibilang absurd. Namun, entah sejak kapan Rahee menyadari sesuatu. Baik itu saat berpapasan di koridor, menduduki meja yang berdekatan di kantin, atau bahkan tanpa sengaja bertemu pandang dari jarak jauh, selalu timbul perasaan aneh di hati Rahee.

Rahee tidak ingin mengelak, dia tahu cepat atau lambat harus menerima kenyataan. Perasaan itu bukan hal yang asing untuknya, dia cukup normal untuk ukuran seorang gadis remaja. Bukannya mengelak, dia lebih memilih perasaan itu untuk tumbuh lalu akhirnya layu dengan sendirinya, toh dia sendiri jarang bertemu dengan lelaki itu kan? Tapi hidup mungkin memang tidak ada yang simpel. Teorinya dipatahkan oleh realita, yang dia yakini akan dimulai dari sekarang.

Menyadari keberadaan Rahee, Soonyoung mendongak dan tersenyum, memaksa Rahee menguasai kembali kesadarannya dan menapakkan langkah kaki.

Ketika Soonyoung berkata “Terima kasih untuk yang kemarin,” Rahee tidak perlu repot-repot memberanikan diri menanyakan alasan keberadaan Soonyoung karena dia cukup paham kalau lelaki itu hanya ingin berterima kasih dengan baik.

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Entah karena Soonyoung mendadak dilanda rasa gugup padahal dirinya tadi begitu bersemangat menunggu Rahee datang, atau Rahee sendiri yang bingung bagaimana dia bisa membuka pembicaraan. Sejak awal dia memang bukan tipe orang yang bisa menangani situasi seperti ini dengan baik, dalam hati dia ingin mencairkan suasana tapi sama sekali tidak tahu cara melakukannya.

Pada akhirnya situasi tidak berubah bahkan sampai Rahee selesai dengan urusan sepatu dan mereka berjalan beriringan menuju kelas masing-masing yang sama-sama berada di lantai dua.

Melewati koridor utama yang tidak bisa terbilang sepi bersama Soonyoung membuat Rahee merasa sedikit aneh. Pertama, karena dia memang jarang sekali terlihat berjalan bersama teman laki-laki di sekolah (kecuali Jimin atau Yoongi). Kedua, hampir setiap orang yang berpapasan dengannya kala itu membuatnya bingung setengah mati karena mereka mendadak melontarkan sapaan ramah.

Dari penampilan saja, sudah bisa ditebak kalau Rahee bukanlah siswi populer yang dikenal hampir seisi sekolah, bagaimana dia tidak terkejut kalau suatu pagi tiba-tiba semua orang yang dia temui menyapanya? Saat dia melirik Soonyoung yang masih setia menyamakan langkah dengannya, barulah dia sedikit paham. Melihat lelaki itu melambaikan tangan dengan senyuman terpasang di wajahnya sudah bisa menjelaskan kalau orang-orang itu menyapa Soonyoung, bukan menyapa Rahee. Oke sekarang Rahee malah merasa lebih aneh lagi.

“Kau cukup populer, ya?” Ucap Rahee yang sendirinya tidak percaya baru saja berhasil mengungkapkan isi pikirannya.

Mendengarnya, Soonyoung hanya tersenyum kecil. “Aneh rasanya orang sepertimu berteman dengan introvert begini.” Ujar Rahee lagi.

Aniya, aku berteman dengan siapa saja. Lagipula tidak akan ada ekstrovert kalau tidak ada introvert, begitupun sebaliknya. Kita saling melengkapi.”

Rahee terdiam, berusaha tetap menatap lurus ke depan. Kata-kata Soonyoung barusan berhasil menusuk hatinya, apa maksud lelaki itu?

Mereka berbelok di persimpangan koridor itu lalu mulai menaiki satu demi satu anak tangga. “Sekali lagi aku berterima kasih untuk bantuanmu kemarin, kau benar-benar ahli menerapkan pertolongan pertama.” Soonyoung tertawa. “Darimana kau mempelajarinya?”

“Umm, kakakku seorang dokter.”

“Wah, hebat! Sungguh, aku tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kau kemarin. Katanya petugas ruang kesehatan memang sedang libur.”

Oh, ini pertama kalinya Rahee merasa eksistensi kakaknya membuahkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam hati dia berterima kasih sekaligus bersyukur karena oppa yang biasanya tidak bertanggung jawab itu memaksanya belajar bagaimana melakukan pertolongan pertama dengan baik.

Karena letak kelas yang diurutkan berdasarkan abjad, setelah menaiki tangga seharusnya Soonyoung berbelok ke bagian kiri koridor sementara Rahee bagian kanan. Sebelum saling melangkahkan kaki ke dua arah yang berlawanan, Soonyoung merogoh saku seragamnya sambil berkata, “Ulurkan tanganmu.”

Rahee tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat sebungkus cokelat karamel diletakkan di telapak tangan kanannya, dia baru saja hendak mengucapkan terima kasih namun sosok Kwon Soonyoung sudah berlari menjauh sambil menoleh ke belakang, melambaikan tangannya.

“Bodoh, seharusnya dia melihat ke depan kalau tidak ingin menabrak sesuatu.” Gumam perempuan itu sambil tersenyum geli. Dia memutuskan untuk kembali berjalan ke kelas saat netranya menangkap keberadaan seseorang dan membuat senyumannya bertambah lebar.

“Yoongi!”


***


“....Lalu apa seharusnya kita menghilangkan genangan darah palsu itu, Hwarin? Hwarin?”

Lamunan Hwarin terbuyar setelah Wonwoo melambai-lambaikan tangan di depan wajah perempuan itu, dengan gugup dia meminta Wonwoo mengulangi ucapannya. “M-maaf, kau bilang apa tadi?”

“Apa kau sakit, Hwarin? Sepertinya kau terlalu banyak bekerja..”

“Eh? Aku tidak apa-apa!”

Wonwoo menggeleng. “Kau butuh istirahat, aku akan menggantikan posisimu.”

Dengan itu Wonwoo langsung menyambar notebook yang tadinya selalu dipegang Hwarin seharian lalu menepuk bahu perempuan itu, menggumamkan sesuatu seperti “Istirahatlah” dan berbalik pergi.

Hwarin memandang punggung Wonwoo yang semakin menjauh dengan gamang, setengah tidak memahami apa yang baru saja terjadi. Tidak, yang lebih penting, apa gerangan yang telah merasuki seorang Jeon Wonwoo? Bukankah dia sendiri yang memaksa Hwarin agar menjadi perwakilan kelas? Kenapa tiba-tiba dia ingin menggantikan posisinya?

Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, jangan-jangan Wonwoo memang kerasukan sesuatu.. Hwarin baru saja hendak berlari mengejar ketua kelasnya itu sebelum dia pergi terlalu jauh tapi sesuatu menghentikannya. Apa tadi dirinya telah melamun? Sudah keberapa kalinya dalam kurun waktu hari ini? Sepertinya dia memang butuh istirahat, mungkin juga dia terlihat terlalu sakit sampai-sampai rasa iba Wonwoo akhirnya berhasil bangun dari hibernasi panjangnya, semoga memang begitu sih.

Nampaknya yang harus dilakukannya kini hanyalah beristirahat seperti suruhan Wonwoo, tidak mungkin dia memaksa lelaki itu agar dia bisa kembali melakukan tugas-tugas sebagai perwakilan kelas. Sejak dulu pun dia tidak bisa membantah apa yang dikatakan Jeon Wonwoo, begitupun dengan sekarang.

Menghela nafas panjang, Hwarin memasukkan tangannya ke dalam saku seragam, mulai berjalan tanpa tujuan mengikuti kemana langkah kaki membawanya pergi. Sekali lagi benaknya berputar, suara Namjoon di telepon semalam kembali terngiang di telinganya.

Ya, semalam Namjoon meneleponnya. Sudah terhitung entah berapa hari semenjak Hwarin mulai mengabaikan temannya itu, salahkan Namjoon sendiri yang terlalu menyebalkan sampai membuat Hwarin malas melihat wajahnya, rasa-rasanya selalu membuatnya ingin melempar sepatu tepat ke wajah Namjoon.

“Maaf. Kau benar-benar marah padaku?”

Mendengar Namjoon yang mengucapkan permintaan maaf setelah susah-susah meminjam ponsel Yoongi agar teleponnya diangkat membuat Hwarin hanya bisa menggigit bibir, kenapa sekarang malah dirinya yang merasa bersalah?

“Aku sungguh minta maaf, kuharap kau melihat penampilan kelas kita di pentas seni besok.”

Karena Hwarin tidak berkata sepatah katapun, Namjoon hanya mengatakan hal itu sebelum akhirnya menutup teleponnya, menimbulkan tanda tanya besar di benak Hwarin.

Apa maksudnya? Dia bahkan tidak tahu kalau kelasnya akan mengikuti pentas seni. Bukankah saat itu Namjoon menolak keras ajakannya untuk mengikuti ajang unjuk bakat itu? Berbagai macam pertanyaan terus menari-nari dalam otaknya bahkan hingga saat ini, beruntung dia tidak menabrak seseorang saat berjalan. Tersadar, dia berhenti dan mendongak, mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Sama sekali tidak percaya kalau kedua tungkainya telah membawanya ke depan ruang OSIS.

Kenapa? Sepertinya memikirkan Namjoon membuatnya tanpa sadar berjalan ke tempat yang dirinya yakini adalah dimana Namjoon berada.

Mungkin dia harus minta maaf juga pada Namjoon.


***

Seseorang menepuk bahu Hyeso, membuat perempuan itu hampir melompat dari duduknya dan dengan cepat menoleh ke belakang. Menyadari kalau orang itu adalah Kim Hani, terbersit rasa kecewa dalam hatinya. Bohong kalau Hyeso bilang tadinya dia tidak berharap itu adalah Seokjin.

Hani meletakkan piring makan siangnya di meja lalu mengambil tempat duduk tepat di sebelah Hyeso, sedikit merasa penasaran kenapa belakangan ini temannya itu selalu makan siang di kantin yang kelewat ramai saat biasanya dia akan lebih memilih membawa bekal sendiri dari rumah. “Tumben sekali kau mau makan di kantin yang ramai begini.”

“Demi makanan, Hani.” Jawabnya enteng sambil memakan sesuap nasi. Di sebelahnya, Hani hanya bisa menghela nafas.

“Sepertinya kalau soal makanan pasti nomor satu ya buatmu?”

Anggukan kecil Hyeso yang masih fokus pada makan siangnya cukup untuk membuat Hani membisu dan memilih untuk ikut fokus pada kegiatan makan. Setelah beberapa menit diselimuti keheningan, Hani kembali membuka mulut. “Hey Hyeso, kau akan melihat pentas seni nanti kan?”

Tidak ada jawaban. Saat ditengok, orang yang ditanyai kini sedang mematung menatap ruang kosong di udara sambil bertopang dagu. Melamun kah?

“Hyeso?”

“Eh?” Perempuan itu berkedip beberapa kali sebelum kembali menatap lawan bicaranya. “Ah, ya, tentu.”

Jawaban yang cukup jelas tapi malah menimbulkan rasa bingung di benak Hani, hanya saja dia tidak tahu kenapa dia merasa Hyeso sangat aneh kala itu. Oh, tiba-tiba Hani teringat sesuatu.

“Hyeso-ya!”

“Hm?”

“Kau tahu ada apa dengan Taehyung?”

Kening Hyeso berkerut, sedikit bingung dengan pertanyaan Hani. Bukankah dia pacar Taehyung? Kenapa malah bertanya pada Hyeso? “Mana tahu, kau kan pacarnya?”

“Iya sih...” Kini Hani ikut bertopang dagu dan giliran dirinya yang menatap makan siang dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. “Aku tidak bertemu dengannya sejak kemarin siang, dia juga tidak membalas pesanku.”

“Sudah coba telepon?”

Seolah baru tersadar (atau memang baru tersadar), Hani segera merogoh sakunya dan mengeluarkan benda persegi dari sana. Tangannya bergerak lincah kesana-kemari sebelum akhirnya menempelkan benda itu ke telinganya. Entah kenapa melihat wajah tegang Hani membuat Hyeso ikut tegang.

“Bagaimana?”

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.”

Cara Hani menirukan suara operator benar-benar terlampau mirip membuat Hyeso tidak bisa menyembunyikan tawanya. Sementara orang yang ditertawakan malah merasa semakin putus asa.

“Kau habis cari masalah dengan Taehyung, ya?” Tanya Hyeso setelah tawanya reda. Hani memasang wajah bingung lalu menggeleng pelan.

“Apa sesuatu terjadi menyangkut Mark?”

Kenapa Hyeso tiba-tiba bertanya tentang Mark? Hani sama sekali tidak paham. Tapi dia memilih untuk menjawab jujur. “Kurasa tidak. Tapi Mark datang kesini kemarin.”

Ada banyak kemungkinan hal buruk terjadi jika laki-laki yang disebut Mark itu memang datang, mengingat Taehyung pasti tidak sengaja menguping pembicaraan Hyeso dengan Jimin dan Rahee di ruang prakarya sekitar seminggu yang lalu. Tapi menyebutkan semua kemungkinan itu satu-persatu hanya akan membuat Hani semakin depresi, jadi Hyeso memilih salah satu kemungkinan yang persentase nya paling tinggi.

“Dengar,” Hyeso berdehem, berharap Hani tidak akan melempar piring makan siangnya pada Hyeso setelah mendengar apa yang dikatakannya. “Sepertinya Taehyung melihatmu saat sedang bersama Mark kemarin.”


***


Semalam Jungkook hanya tidur beberapa jam, terlalu gugup memikirkan hari esok. Terdengar kekanak-kanakan memang, tapi dia tidak bisa menyembunyikan fakta kalau membayangkan dirinya menyatakan perasaan di atas panggung melalui sebuah lagu membuatnya luar biasa gugup. Lagipula esoknya dia harus berangkat pagi-pagi sekali, untuk apa berusaha terlalu keras untuk tidur?

“Apa ini akan benar-benar berhasil?”

Pertanyaan yang sejak kemarin terus menari-nari dalam pikirannya akhirnya bisa dia lontarkan. Hoseok sebagai salah seorang yang mendengarnya menyahut, “Kuharap juga begitu.” Sebenarnya tidak begitu jelas kepada siapa Jungkook bertanya.

Di sudut lain ruangan, Yoongi mendecak. Tidak mudah meyakinkan teman-temannya untuk melakukan hal ini yang sebenarnya adalah demi kebaikan diri mereka sendiri, bahkan sampai sekarang pun sepertinya mereka masih ragu-ragu.

Beberapa jam sebelumnya, mereka baru akan melakukan rehearsal yang dihambat oleh terlambatnya Taehyung. Datang-datang lelaki itu hanya menunjukkan cengirannya sambil berkata, “Kurasa kalian harus melakukannya berenam saja.” Siapa yang tidak geram? Yoongi mungkin sudah menendang pantat Taehyung keras-keras seandainya dia tidak bisa menenangkan diri sendiri.

Nampaknya hubungan temannya itu bertambah buruk kemarin dari apa yang diam-diam didengar Yoongi, maklum saja Taehyung menolak bercerita padanya dan hanya mengatakannya pada Jimin dan Hoseok. Yoongi hanya bisa memahami informasi bahwa seorang laki-laki bernama Mark datang untuk menemui Hani kemarin, lengkapnya tidak begitu jelas. Untungnya itu cukup untuk kembali membujuk Taehyung, dengan mengikuti rencana ini dia bisa dengan lebih mudah meluruskan masalahnya, begitu sih kata Yoongi.

“Kalau kalian masih ragu-ragu bagaimana ini akan berhasil?”

Semua perhatian kini tertuju pada Taehyung, baik Yoongi maupun yang lain tidak percaya kalau orang yang tadinya terancam tidak mengikuti rencana ini sekarang malah berkata seperti itu. “Butuh kaca, Tae? Siapa yang tadi datang terlambat dan―”

Sindiran Jimin terhenti seketika saat Taehyung melotot marah padanya. “Setelah kupikirkan lagi, tidak ada salahnya melakukan ini. Malah kurasa ini rencana yang bagus.”

Oh, Yoongi berusaha untuk tidak tersenyum terlalu lebar setelah mendengar pujian Taehyung yang terdengar sangat tulus itu.

“Kuakui lagu yang dibuat Namjoon dan Yoongi benar-benar bagus, mereka dan Hoseok bisa melakukan rapp nya dengan baik. Tapi lagunya tidak akan sempurna tanpa vokal dari kita. Jungkook, Jimin, Seokjin dan aku.”

Keheningan menyelimuti ruangan itu sampai Jungkook kembali melontarkan pertanyaan yang kurang lebih sama seperti sebelumnya. “Bagaimana kalau tidak berhasil?”

Taehyung melipat kedua tangannya di depan dada, memandang Jungkook dengan kesal. “Sudah kubilang, bagaimana bisa berhasil kalau sekarang saja kau masih ragu-ragu?” Pernyataan itu serasa menusuk Jungkook tepat di dadanya.

“Semua tujuan butuh usaha, begitu juga dengan apa yang akan kita lakukan. Yang terpenting kalian harus benar-benar berusaha dan serius, aku yakin pasti berhasil! Kau pasti bisa mengungkapkan perasaanmu pada Choonhee, Jungkook!”

“Astaga apa yang merasukimu, Tae?” Ujar Jimin tiba-tiba.

“Tunggu, darimana kau tahu aku menyukai Choonhee?”


***

Langit senja kala itu terlihat begitu indah, warna jingga terang dipadukan dengan ungu muda terlihat seperti dilukiskan di atas sana. Untuk sesaat Choonhee terpesona dengan keindahannya yang bisa membuatnya melupakan sebagian dari masalah yang tidak bisa lepas dari pikirannya, seandainya saja dia bisa terus lupa. Choonhee menghela nafas, kembali melangkah menyusul Hyora yang sudah membuat jarak beberapa meter di depannya.

Dari pintu yang terbuka lebar, Choonhee bisa melihat bagian dalam aula luas yang sudah terisi hampir setengahnya. Terlalu pusing untuk memilih dimana harus duduk, dia hanya mengikuti kemana Hyora pergi dan menduduki kursi tepat di sebelah temannya itu.

“Tidak apa-apa, Choonhee-ya. Semuanya akan baik-baik saja.”

Memang, Choonhee menanggapi perkataan Hyora dengan senyuman terbaik yang bisa dia buat saat itu sambil menggumamkan terima kasih. Namun dalam hati dia tetap tidak percaya semua memang akan baik-baik saja.

Tak menunggu waktu lama sampai aula itu benar-benar penuh, semua bangku telah ditempati dan mengharuskan beberapa orang berdiri di belakang. Choonhee bertanya-tanya kira-kira dimana teman-temannya berada sekarang.

Kemudian lampu-lampu dimatikan dan tirai panggung mulai dibuka.



Entah sudah penampilan yang keberapa. Choonhee tidak ingin repot-repot melihat di lembar daftar acara apalagi menghitungnya satu persatu. Tidak ada satupun penampilan yang bisa menarik perhatian disaat kau sedang dalam keadaan tertekan. Satu-satunya hal yang dia tahu adalah sebentar lagi penampilan kelasnya, dan orang itu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Kalau boleh Choonhee berharap semoga dia memang tidak akan pernah datang.

“Kenapa lama sekali, ya?” Gumam Hyora di sampingnya.

Setelah penampilan sulap dari kelas 2-A beberapa menit lalu selesai, tirai tertutup dan sampai sekarang masih belum dibuka. Nampaknya persiapan kali ini cukup rumit untuk membuat waktunya terulur.

Ponsel Choonhee bergetar tepat saat tirai kembali dibuka, menimbulkan riuh tepuk tangan penonton yang diabaikan oleh Choonhee.

From : Kookie
Kau masih disana, kan?

“Choonhee-ya, kau tahu siapa itu?”

Choonhee mendongak, menatap Hyora yang kini menunjuk ke arah panggung. Dia kemudian mengikuti arah yang ditunjuk temannya dan untuk sepersekian detik bertemu pandang dengan seorang lelaki yang terlihat tidak asing di matanya.

“Oh..” Mulut Choonhee membulat. “Itu Park Chanyeol-sunbae, murid kelas 2.”

Hyora hanya mengangguk-angguk tanpa berkomentar lebih lanjut mengingat orang yang dibicarakan kini mulai berbicara menggunakan mikrofonnya, dia duduk tepat di tengah-tengah panggung membawa sebuah gitar akustik simpel.

“Lagu yang akan kunyanyikan kali ini kutujukan untuk seseorang. Aku tahu dia sedang berada di sini sekarang, kuharap dia bisa memahami apa yang kurasakan padanya.”

Oh, benar-benar sebuah kebetulan. Apa seniornya itu akan menyatakan perasaannya? Beruntung sekali perempuan yang dia maksud. Tunggu― Apa?

Your hand fits in mine like it’s made just for me...

Suara berat Chanyeol terdengar begitu indah saat disandingkan dengan permainan gitarnya, namun suara indah itu serasa menyayat hati Choonhee. Apa yang dia pikirkan benar? Apa orang itu adalah Chanyeol?

Choonhee tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan lelaki itu, dirinya cukup mengerti Bahasa Inggris sedikit-sedikit dan hal itu membantunya memahami apa yang hendak dikatakan Chanyeol melalui sebuah lagu. Sulit dijelaskan dengan kata-kata, apapun itu Choonhee berbohong kalau dia tidak bilang liriknya sama indahnya dengan suara Chanyeol dan gitarnya.

... It’s you, they add up to. I’m in love with you, and all your little things.”

Sekali lagi suara tepuk tangan menggema di seluruh aula. Sang penyanyi berdiri lalu membungkukkan badan, sebelum turun dari panggung dia menyempatkan diri untuk bicara. “Kuharap setelah ini aku bisa menemuimu di backstage, Park Choonhee.”


***


Semakin sering dia menengok jam, semakin debar jantungnya bertambah cepat. Jarum sudah tertuju pada angka enam, dan langit senja mulai didominasi oleh warna ungu pucat.

“Ada apa?”

Spontan Rahee menoleh, manatap Soonyoung yang mendadak memecah keheningan. Ekspresi polos lelaki itu sejenak mengalihkan dunianya, terbersit pikiran untuk tidak mengatakan hal yang mengganggu benaknya pada lelaki itu namun detik berikutnya Rahee membuang jauh-jauh pemikiran itu.

Dia harus ke aula sekarang juga.

“Keberatan kalau aku meninggalkanmu sebentar?”

Kedua alis Soonyoung terangkat, “Mau pergi kemana?”

“Aula. Aku harus melihat penampilan teman-teman kelasku.”

Beberapa detik berikutnya dihabiskan Rahee dengan menatap Soonyoung yang tengah memandang ruang kosong di depannya sambil memasang wajah serius, seolah sedang berpikir keras. “Kukira kau disini karena memang tidak berniat menonton pentas seni.”

“Ugh, bisa jadi sih. Tapi aku sudah berjanji pada teman-temanku.”

Saat lelaki itu menoleh dan berkata, “Kalau begitu aku ikut.” Rahee tidak bisa menyembunyikan rasa lega yang dirasakannya.



Tarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya, adalah hal yang sejak tadi dilakukan Jimin tanpa henti dengan harapan bisa meredakan rasa gugupnya. Tak hanya itu, dia juga memberikan intruksi agar teman-temannya melakukan hal yang sama sekalipun di mata Jimin sebagian dari mereka tidak terlihat nervous sama sekali.

Saat seorang senior bertubuh tinggi turun dari panggung membawa gitarnya, Jimin mengingatkan diri sendiri kalau giliran mereka akan tiba setelah penampilan satu peserta lagi.

“Tinggal satu penampilan lagi teman-teman!”

Ujarannya hanya dibalas dengan gumaman tidak jelas, sepertinya Jimin salah mengira teman-temannya tidak merasakan kegugupan yang sama dengannya.



Apakah masih sempat?

Sejak tadi Rahee duduk di tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua sambil melamun, hitung-hitung menunggu waktu bergulir sampai dia harus berpindah ke aula pada pukul lima. Dia tahu duduk di tangga bukan sesuatu yang baik untuk dilakukan, tapi tidak ada pilihan lain kalau tidak ingin terus berdiri di koridor depan kelasnya. Terhitung beberapa menit sebelum dia memutuskan untuk beranjak, seseorang yang ternyata adalah Soonyoung menepuk bahunya dan duduk di sampingnya. Entah siapa yang patut disalahkan karena mereka berakhir terlalu asyik mengobrol sampai lupa waktu.

Jarak gedung dimana dia berada cukup jauh dengan aula, mungkin butuh waktu sekitar lima menit jika dia berjalan dengan kecepatan normal plus bagian merepotkan saat harus mengganti sepatu indoor-nya.

Yang jadi masalah adalah dia bukan orang yang hobi berlari, lebih tepatnya mungkin dia tidak suka berlari. Dan memaksa Soonyoung untuk ikut berlari bersamanya bukanlah resolusi yang bagus. Sepertinya dia harus menahan diri sedikit lebih lama lagi, berharap giliran kelasnya belum tiba dalam waktu dekat.

“Kenapa jalanmu cepat sekali?” Tanya Soonyoung saat mereka sudah keluar dari gedung.

Rahee berhenti. “A-aku takut kita akan terlambat..”

Bibir Soonyoung tertarik keatas membentuk sebuah senyuman. “Kalau begitu kita harus berlari!” Dia meraih tangan Rahee lalu menarik perempuan itu agar mempercepat langkah kakinya.



Waktu benar-benar berlalu dengan cepat. Tahu-tahu saja seseorang yang sudah pasti merupakan pengurus OSIS yang ditugaskan dalam mengatur kegiatan pentas seni ini berteriak dari kejauhan memberi intruksi pada peserta dari kelas 1-C segera mengambil posisi di belakang panggung.

Sesuai dengan yang diperintahkan, mereka segera melangkah ke tempat yang disebut dan melihat tirai besar panggung itu ditutup tepat setelah penampilan tari kontemporer kelas 3-D selesai.

Para senior itu turun dari panggung dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir ke pelipis mereka, petugas yang berbeda mempersilahkan kelas 1-C masuk ke panggung. Sebagai ketua-tidak-tertulis, Namjoon yang pertama menginjakkan kakinya ke tangga yang menghubungkan backstage dengan panggung, diikuti Yoongi dan Hoseok sementara empat temannya menunggu sampai giliran mereka masuk di sesi kedua.

Merasakan lampu sorot yang seolah menyiram dirinya, Namjoon sekali lagi menarik nafas dan membuangnya. Dia menoleh ke kanan, bertemu pandang dengan Yoongi dan Hoseok yang sama-sama memberinya senyum percaya diri.

“Fighting!”

Namjoon tersenyum, membalas pose fighting lalu segera kembali menatap tirai merah di depannya saat seseorang mulai menghitung mundur.

Tirai itu terbuka, membuatnya matanya semakin merasa silau saat lebih banyak lampu sorot menyambutnya. Terdengar tepuk tangan penonton yang dari panggung terlihat sama sekali tidak jelas, hanya berupa kegelapan dengan cahaya remang-remang.

Ketika matanya mulai membiasakan diri, Namjoon mengedarkan pandangan, berharap bisa melihat sosok Lee Hwarin diantara banyaknya orang disana. Namun dia hanya bisa melihat Hyora yang notabene memilih tempat duduk di barisan depan.

Musik mulai diputar, sesaat Namjoon melirik Hoseok, pandangan laki-laki itu jelas tertuju pada Jung Hyora. Dalam hati Namjoon berharap rasa gugup temannya tidak akan bertambah.


***


Bagaimana Choonhee bisa berada di belakang gedung aula bahkan tidak bisa dipahami oleh dirinya sendiri. Dengan gugup dia memainkan ujung roknya, menunggu lelaki yang berdiri di depannya ini membuka mulut.

Nampaknya dia memutuskan untuk menuruti apa yang dikatakan Jungkook beberapa waktu yang lalu. Seorang Park Chanyeol sebagai orang yang bisa dibilang secret admirer-nya bukan hal yang telah diduha Choonhee selama ini, sungguh dia semakin bingung dengan apa yang harus dilakukannya.

Ketika kelas 3-D memasuki panggung dan menampilkan tari kontemporer, Hyora mati-matian membujuk Choonhee agar segera pergi ke backstage. Usaha keras Hyora tidak sia-sia karena akhirnya Choonhee bersedia beranjak dari tempat duduknya, melangkah keluar tanpa mengetahui kalau Hani dan Hyeso sedang mencari keberadaannya di dalam aula yang luas itu.

Tiba-tiba ponsel Choonhee bergetar lagi, kali ini ada dua pesan masuk.

From : Hyora
Hoseok, Namjoon dan Yoongi baru saja masuk ke panggung!

From : Kookie
Kenapa tidak membalas pesanku? Kuharap kau sedang berada di aula sekarang, lagu pertama baru saja dimulai.

Benar-benar timing yang tidak pas.. Choonhee mendongak, bertatap muka dengan Chanyeol yang tersenyum begitu manis padanya. Mau tidak mau Choonhee harus segera menyelesaikan urusan ini.

“Chanyeol-sunbae.. Selama ini kau yang mengirim surat untukku?”

Orang yang ditanyai mengangguk. “Kau suka kejutanku? Maaf aku bilang jam enam tepat tapi ternyata malah kurang beberapa menit.”

Perduli setan, Choonhee bahkan tidak tahu sekarang pukul berapa, sejak tadi dia tidak menengok jam sama sekali.

“Jadi, Choonhee.. Apa jawabanmu?”

“Eh?”

Chanyeol melangkahkan kakinya, menghapus jarak antara dia dan Choonhee lalu menggenggam tangan perempuan itu. “Will you be mine?



“HYORA!”

Panggilan itu tidak cukup keras untuk didengar Hyora di tengah alunan musik hiphop yang tidak hentinya berdentum. Dirinya yang sedari tadi tidak bisa melepaskan pandangan dari sosok Jung Hoseok berakhir terlonjak kaget ketika seseorang memanggilnya untuk kedua kalinya sambil menepuk bahunya.

“Astaga Hani, kau mengagetkanku..”

“Dimana Choonhee!?” Hyeso mendadak mendahului Hani yang tadinya hendak menanyakan hal yang sama.

“Dia baru saja keluar tadi.”

Setelah mendengar jawaban singkat Hyora, Hyeso segera berbalik tanpa dikomando diikuti Hani, kemana lagi mereka akan pergi kalau bukan menyusul Choonhee?

“Tunggu!”

Teriakan Hyora menghentikan langkah keduanya. “Choonhee sudah cukup dewasa untuk menangani masalahnya sendiri! Lagipula apa kalian tidak ingin mendukung teman kalian yang sedang ada di panggung!?”

Baik Hyeso maupun Hani sama-sama terdiam, mencoba memikirkan perkataan Hyora dengan baik, sepertinya bahkan Jung Hyora yang baru mengenal Choonhee bisa bersikap lebih bijak dari mereka yang sudah lama mengenal perempuan itu. Keduanya bertatapan, saling menghela nafas dan kembali menghampiri tempat Hyora berada, memilih untuk kembali duduk manis seperti apa yang dikatakan Hyora.



Sinting.

Apa itu tadi pernyataan cinta? Hwarin mengerutkan keningnya memikirkan kejadian aneh yang baru saja dia lihat, matanya menatap ke arah panggung dimana beberapa seniornya dari kelas 3 dengan lincah menari kesana-kemari, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Seandainya kejadian tadi tidak menyangkut Choonhee, mungkin dia tidak akan ambil pusing, tapi jika begini lain lagi ceritanya.

Hwarin ingat jelas kalau Choonhee memiliki ketertarikan pada senior bernama Park Chanyeol itu, dia jelas-jelas berkata di depan Hwarin tentang betapa tampannya seorang Chanyeol-sunbae tapi sungguh Hwarin tidak mengira hal seperti ini bakal terjadi.

Tirai tertutup, dan Hwarin masih tenggelam dalam pikirannya. Beberapa saat kemudian tirai kembali terbuka diikuti suara tepuk tangan penonton dan musik mulai terlantun, membuyarkan lamunan Hwarin.

“Hiphop?” Ujarnya tanpa sengaja. Dia berkedip beberapa kali sebelum menyadari bahwa ketiga lelaki yang tengah berdiri di panggung itu adalah Hoseok, Yoongi dan Namjoon.

Dalam hati, Hwarin bersumpah akan melempar sepatu tepat ke wajah Kim Namjoon.



Langkah kedua orang itu semakin pelan saat pintu gedung aula yang tertutup sudah di depan mata. Tangan Soonyoung terulur ke arah gagang pintu, dengan pelan membukanya selagi Rahee masih sibuk mengatur nafas setelah secepat yang dia bisa mengimbangi langkahnya dengan kecepatan berlari Soonyoung.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Soonyoung dengan nada khawatir.

Rahee menyatukan ibu jari dengan telunjuknya membentuk lingkaran, menandakan dirinya baik-baik saja. Mereka memasuki aula, disambut oleh keramaian paling parah yang Rahee tahu dalam kurun waktu tahun ini. Ketika dia tersadar bahwa yang dia dengar adalah alunan musik hiphop dan suara Min Yoongi yang membaur menjadi satu, pandangan Rahee terkunci pada panggung di kejauhan.


 ***



“Kami masih punya satu lagu lagi!”

Suara tepuk tangan terdengar semakin keras. Empat orang siswa masuk kembali ke panggung, membawa dua buah kursi yang selanjutnya diletakkan di tengah-tengah panggung.

“Lagu ini mewakili perasaan kami, dan kami tujukan untuk orang-orang yang spesial di hidup kami. Kami berharap perasaan itu bisa sampai pada mereka. Judulnya adalah, Miss Right.”

Seisi aula kembali bertepuk tangan sebelum musik diputar untuk kedua kalinya.


(btw kusarankan baca bagian ini sambil dengerin Miss Right)


Yo, yo girl. I wanna, I wanna tell you this. That’s you’re my, Miss Right~

Kalau boleh jujur, bagi Hwarin situasi ini bahkan lebih membingungkan daripada penampilan akustik Chanyeol tadi. Dia sudah akan bersiap mengejar Namjoon di backstage agar bisa melempar sepatunya ke wajah lelaki itu saat lagu pertama mereka berhenti, tapi tanpa disangka masih ada lagu kedua yang tujuan berbunyi “menyampaikan perasaan” atau apalah itu kurang bisa Hwarin pahami.

Mendengar rapp Namjoon tentang definisi tipe idealnya benar-benar membuat otak Hwarin serasa lumpuh. Seorang perempuan dengan jeans, kaos putih dan Converse High Tops? Tipe yang terdengar muluk-muluk tapi entah kenapa bisa menyeruak masuk ke kepalanya dan terus melayang-layang disana..



Yes you’re my only girl
You’re the best for me
I want to know about your day, I want to become your sighs
Yes you’re my only girl
You’re the best for me
You’re someone who only exist in the movies

Mungkin berpindah tempat duduk di depan adalah pilihan yang bagus. Dalam hati Hani bersyukur dirinya menuruti apa yang dikatakan Hyora untuk tetap menonton penampilan teman-teman kelasnya karena demi Tuhan melihat Taehyung bernyanyi untuk pertama kalinya membuatnya serasa meleleh di tempat.

Jarak yang tidak terlalu jauh memungkinkan mereka untuk saling menatap mata satu sama lain. Taehyung benar-benar pandai dalam menyampaikan perasaannya, dari sorot mata lelaki itu Hani baru bisa percaya pada kata-kata Hyeso kalau di hari sebelumnya Taehyung tanpa sengaja melihatnya sedang bersama Mark.

Ketika rasa bersalah mulai menjalari Hani, senyuman Taehyung cukup untuk menjelaskan bahwa apapun yang terjadi perasaannya pada perempuan itu tetap sama.

Even the weather is good
I think I’m perfect with you
Wanna walk together? Wanna walk together?
Even the weather is good
I think I’m perfect with you
You’re someone who only exist in novels
It’s you

Jungkook bisa melihat ketiga teman perempuannya yang duduk di deretan depan, tapi tidak untuk Choonhee. Perempuan itu tidak membalas pesannya dan entah berada di mana saat ini. Tapi, Jungkook ingin percaya, dia pasti bisa melihat dan mendengar suaranya walaupun Jungkook tidak bisa melihatnya sekarang.



A sweet wind called you is blowing in my heart

Jantung Rahee berdetak tidak karuan. Bukan karena efek berlari ke aula, tapi karena... Entahlah, Rahee tidak begitu paham.

Setelah lagu yang ditampilkan Namjoon, Yoongi dan Hoseok selesai, Rahee serasa baru bisa menarik dirinya ke dunia nyata. Jika saja Namjoon tidak memberitahu seisi aula bahwa mereka masih punya satu lagu lagi, mungkin Rahee sudah akan menuruti permintaan Soonyoung untuk keluar dari gedung itu. Saat itu juga Rahee sadar bahwa Soonyoung masih menggenggam erat tangan kanannya.

Kenapa bisa begitu? Entahlah, sulit untuk berpikir di saat seperti ini. Seluruh perhatian Rahee seolah tertuju pada panggung. Min Yoongi yang hanya bisa dia temui tiga menit tadi pagi berdiri disana, menyanyikan bagian rapp nya. Serangkaian kata-kata manis telah diubah menjadi sederet lirik oleh lelaki itu, seandainya Rahee punya riwayat penyakit diabetes mungkin dia sudah harus dilarikan ke rumah sakit hanya karena mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut lelaki itu.
Dibalik semua itu, pikirannya tengah berperang, mencoba memahami perasaannya sendiri yang sama rumitnya dengan rumus matematika.



I think she has come, I’m in front of the person who shakes up my heart

Apa yang sebenarnya harus dilakukan Hoseok? Melihat bagaimana teman-temannya yang lain benar-benar serius mencurahkan segalanya dalam lagu ini membuat hatinya menciut. Taehyung berkata bahwa dia tidak boleh ragu-ragu lagi, tapi apakah perempuan itu akan menyadari perasaannya?

Saat bagiannya dimulai, Hoseok memberanikan diri untuk menatap mata gadis itu, mengunci pandangannya seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini. Persetan dengan bagaimana endingnya nanti, yang terpenting sekarang Hoseok akan melakukan semua yang dia bisa.

Jung Hyora, apa perasaan Hoseok bisa mencapaimu?



Yes you’re my only girl
You’re the best for me
I want to know about your day, I want to become your sighs
Yes you’re my only girl
You’re the best for me
You’re someone who only exist in the movies

Membeku di tempat, Hyeso tidak berani memikirkan apapun. Yang bisa dia lakukan hanyalah memandang kenyataan di depan matanya, orang yang dia sukai berada disana, menyanyikan lagu dengan lirik paling manis yang pernah Hyeso dengar, menatap matanya sekaligus memberinya senyuman yang tak kalah manisnya.

Awalnya dia terkejut dengan fakta bahwa mereka yang tengah berdiri di panggung itu begitu berbakat. Harmonisasi vokal teman-temannya cukup untuk membuatnya luar biasa takjub, dia tidak menyangka kalau suara mereka terlampau indah. Tapi diatas semua itu, Kim Seokjin terlihat semakin sempurna di matanya.

Keindahan di depan matamu tidak boleh disia-siakan bukan? Hanya itu yang bisa dipikirkannya.



Even the weather is good
I think I’m perfect with you
Wanna walk together? Wanna walk together?
Even the weather is good
I think I’m perfect with you
You’re someone who only exist in novels
It’s you
~




***
To Be Continued









(A/N)

Hei kalian maaf ya udah bikin nunggu lama aku dilanda WB dan baru bener2 lancar nulis ini saat tadi kebangun jam set satu pagi alhasil sampe sekarang belum tidur.

BTW BIAS BARU KU ULTAH LOH MANSAE~ #iKONSunshineYunhyeongDay

Awalnya mau ngasih scene habis pensi di chapter ini juga tapi kusadari terlalu panjang dan aku ga sanggup nulis lagi secara jam sembilan aku ada schedule /eaaa/ Terus berasa udah srek gitu diakhiri dengan lirik Miss Right uhuk kuharap kalian cukup penasaran untuk nungguin chapter selanjutnya.

Laffyu gaes sampai bertemu di chapter selanjutnya~ (kecuali aku selesein oneshoot Jr dan berani ku post disini). 

Comments