BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 10)


10

Terkadang, kita bisa menemui sekolah yang sering mengadakan berbagai macam kegiatan untuk murid-muridnya. Contohnya mulai dari summer camp, festival budaya, festival olahraga, atau yang biasanya paling menonjol, ulang tahun sekolah. Terdapat beberapa murid yang jengkel dan merasa salah memilih sekolah saat mereka dituntut untuk berperan aktif di tiap-tiap kegiatan. Mereka punya alasan cerdas tentang bagaimana sekolah lebih baik memfokuskan diri pada kegiatan belajar-mengajar, bagi mereka hal-hal di luar itu tidak punya kegunaan yang banyak. Namun, pada dasarnya mereka hanya malas.

Ketua kelas 1-C, Jeon Wonwoo, terkenal tidak bertanggung jawab. Segala tugas yang seharusnya merupakan kewajibannya, pada akhirnya selalu berakhir di tangan wakil ketua kelas, Lee Hwarin. Salah satunya kini, Hwarin dengan semena-mena ditunjuk sebagai perwakilan kelas dalam kegiatan ulang tahun sekolah.


“Dasar Wonwoo gak guna!”

Namjoon berhenti menggerakkan bolpoin, diliriknya Hwarin yang sedang duduk di depannya, menempati bangku Yoongi. Mulut perempuan itu tidak bisa berhenti menggerutu sambil sesekali mengucapkan umpatan-umpatan yang sudah tidak asing lagi di telinga Namjoon.

“Kukira kau suka mengurusi hal-hal semacam ini.”

Sepertinya Namjoon salah bicara, karena setelah itu Hwarin malah menatapnya dengan jengkel. “Suka? Kau bercanda? Lebih baik menulis lirik baru sehari penuh daripada jadi perwakilan kelas!”

“Tidak usah membentakku. Habisnya saat jadi pengurus kelas kau selalu melakukan tugas-tugas tanpa mengeluh, siapa yang tidak salah sangka?”

Perempuan itu menghela nafas pelan, “Biasanya memang aku tidak keberatan, tapi ini sudah keterlaluan. Awas saja Jeon Wonwoo.”

“Sudahlah..” Namjoon berusaha menenangkan, siapa tahu apa yang akan terjadi jika Hwarin terus menyimpan dendam pada Wonwoo. “Tidak akan sulit kok.”

“Tidak akan sulit!?” Untuk kedua kalinya Hwarin meninggikan suaranya. “Tidak sulit apanya!? Kenapa tidak kau saja kalau begitu!?”

“Kubilang jangan membentakku! Aku mau-mau saja membantumu―”

“Kau mau membantuku??”

Posisi Namjoon berpindah beberapa sentimeter ke belakang karena Hwarin kini berdiri lalu mendekatkan wajahnya pada lelaki itu, matanya mengerling dan menyiratkan harapan besar.

Namjoon menelan ludah lalu mendorong bahu perempuan itu agar dia kembali duduk. Tadi bahkan dia belum menyelesaikan perkataannya. “Ada tapi-nya. Tapi, sebagai pengurus OSIS aku sudah sibuk dengan tugas panitia kegiatan.”

“Cih. Jangan memberi harapan palsu, Namjoon.”

Tatapan Hwarin padanya kali ini benar-benar mematikan, kelihatannya dia bahkan dua kali lebih kesal daripada sebelumnya. Dasar, perempuan ini..

“Maaf.” Ucap Namjoon, agar terdengar lebih tulus dia menambahkan senyuman. “Berita baiknya kau akan sering bertemu denganku nanti. Kita mungkin bisa bekerja bersama.”

“Justru itu yang membuatku tidak suka.”

Kali ini Namjoon berharap dia bisa mendorong perempuan yang memandangnya dengan jijik itu dari atap sekolah.



“Ayolah Rahee, aku benar-benar butuh bantuanmu..!”

“Umm...”

Tidak ada yang bisa dilakukan Rahee untuk menolak saat temannya―Hwarin―sudah memohon-mohon agar Rahee mau membantunya. Lagipula dia sudah merasa cukup kasihan melihat Hwarin mengurus segala hal sendiri, setidaknya kini dia harus memberikan bantuan.

“Aku hanya perlu membeli keperluan kelas saja bukan?”

“Ya! Dengan begitu kau juga tidak perlu ikut mempersiapkan properti dengan yang lain!”

Rahee mengangguk-angguk, mempertimbangkan berbagai keuntungan seandainya dia mengabulkan keinginan Hwarin. Kelas mereka akan membuat rumah hantu sebagai bentuk partisipasi dalam perayaan ulang tahun sekolah. Bisa dibilang hampir semua kelas sudah mulai mempersiapkan segala hal sejak beberapa hari lalu, dan akhir pekan ini pasti akan diisi dengan membantu teman-temannya membuat properti, kostum atau semacamnya.

“Serius aku tidak perlu membantu persiapan?”

Anggukan Hwarin meyakinkan hati Rahee sepenuhnya, senyuman senang gadis itu merekah dan Hwarin pun ikut tersenyum lebar, lega karena bebannya kini berkurang sedikit.


***


“Yoongi, ajak adikmu juga ya!”

“Apa?”

Min Yoongi memasang ekspresi menjengkelkan yang biasanya membuat dirinya dipelototi oleh sang ibu, beruntung kali ini wanita paruh baya itu hanya menghela nafas.

“Adikmu bilang ingin membeli sesuatu, jadi sekalian saja dia keluar denganmu.”

“Tapi―”

Ketika kepala adik perempuannya menyembul dari balik pintu ruang tamu, Yoongi otomatis menghentikan ucapannya. Perempuan itu mem-poutkan bibirnya, berusaha menunjukkan aegyo­­ pada kakaknya.

Memang, Yoongi tidak tahan kalau ada yang ber-aegyo seperti itu, tapi adiknya adalah pengecualian. Jika aegyo tidak berhasil sudah pasti dia akan terus merajuk pada ibunya, jadi tidak ada pilihan lain untuk Yoongi selain menurut.

“Cepat atau kutinggal.”

“Umm.. Bisa kau ulangi?”

“Namaku Min Yoonji, aku adik dari lelaki cuek itu.”

Telunjuk mungil Yoonji menunjuk sosok kakaknya, yang berdiri membelakanginya sok sibuk memperhatikan benda-benda yang dipajang di jendela sebuah toko, mencoba terlihat tidak peduli. Rahee hanya bisa mengangguk-angguk.

“Kalau eonni?”

Seolah baru sadar, Rahee mulai mengenalkan dirinya dengan sedikit terbata. “Ah.. Namaku Song Rahee, aku sekelas dengan kakakmu.”

Bibir Yoonji membulat, “Kukira eonni pacarnya Yoongi-oppa.”

Rahee terdiam, tidak tahu harus merepon apa, dan dari perkataan Yoonji sendiri sepertinya dia tidak meminta penjelasan. Manik cokelat Rahee melirik Yoongi, tetapi lelaki berambut cokelat itu sudah tidak berada di tempatnya semula berdiri.

“Kalau mencari oppa, dia sudah masuk ke toko.”

Kini Rahee ganti menengok ke dalam toko yang dimaksud, benar saja Yoongi sedang berada di dalam. Dia kembali menatap Yoonji, yang tengah tersenyum manis padanya. Entah kenapa melihat senyuman perempuan itu membuat Rahee berpikir dia seharusnya menjelaskan hal yang benar padanya.

“Yoonji, berapa umurmu?”

“Tiga belas.”

“Dengar, aku dan kakakmu hanya teman sekelas, kebetulan saja aku meminta bantuannya untuk membeli keperluan kelas. Mengerti?”

Yoonji menganggukkan kepalanya, tapi senyumnya masih terpasang dan itu malah membuat Rahee sedikit takut.

“Aku mengerti. Apa eonni menyukai orang lain?”

Kalimat pertama yang diucapkan gadis kecil itu hampir melegakan hati Rahee, namun kalimat sambungannya malah membuat tenggorokannya tercekat.

“B-bukan begitu..”

“Iya iya~ Aku tahu~ Kalau begitu aku duluan ya, tujuanku kesana.” Yoonji menunjuk bangunan toko yang menjual alat-alat tulis sebelum berjalan menjauh sambil melambai pada Rahee. “Tolong jaga kakakku~!”
“Apa tidak terbalik?”

Rahee terlonjak, mendadak Yoongi sudah ada di belakangnya, memandang kesal ke arah punggung adiknya yang semakin menjauh.

“Jangan diambil hati, dia selalu bicara seenaknya.”

“Oh.. Kau dengar apa yang dia katakan?”

“Tentang dia yang mengira kita berpacaran? Ya, aku dengar.”

Sesaat hening sampai Rahee membuka mulut, “Maaf.” Satu kata itu cukup menimbulkan tanda tanya dalam benak Yoongi.

“Bukankah seharusnya aku yang minta maaf?”

“Tidak. Aku yang meminta bantuan padamu dan menyeretmu kesini.”

Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, tidak habis pikir kenapa perempuan yang berdiri di sampingnya ini terlalu sering menyalahkan diri sendiri. “Bukan salah kita berdua, dia yang salah.”

Seulas senyum geli sukses tersungging di bibir Rahee.



Satu-persatu rak sudah ditelusuri baik oleh Yoongi maupun Rahee, mereka berdua yakin waktu sudah berlalu lama sekalipun belum semua hal dalam daftar belanja sudah terpenuhi.
“Yoongi, kenapa namamu dan nama adikmu sangat mirip?”

Tidak biasanya Rahee berbasa-basi seperti ini. Yoongi mengira perempuan itu mungkin sudah kelewat bosan, atau dia memang benar-benar penasaran. “Lebih baik kau tanya ibuku.”

Suara tawa pelan Rahee bisa terdengar jelas, Yoongi tidak tahu kenapa tapi sepertinya kata-katanya selalu bisa membuat seorang Song Rahee tertawa.

“Apa tidak sulit? Kau tahu, bisa saja kau salah dengar saat seseorang memanggil adikmu.”

“Oh, itu lumayan sering terjadi.”

“Lebih baik suruh adikmu ganti nama saja, Yoongi.”

“Ganti nama menjadi apa? Cleopatra?”

“Astaga kenapa harus Cleopatra?” Rahee balik bertanya sambil menahan tawanya.

“Cleopatra itu nama yang bagus. Lagipula kenapa kau tidak berkata aku saja yang harus ganti nama?”

“Ehm..” Telunjuk dan ibu jari Rahee berada di dagunya, dia berusaha membuat pose seolah sedang berpikir keras. “Kurasa karena Yoongi nama yang bagus untukmu.”

Tidak ada jawaban, sedari tadi pun mereka mengobrol tanpa saling bertatap muka melainkan sibuk menyapu pandangan pada rak-rak toko. Rahee mengira lelaki itu mungkin memang tidak punya jawaban untuk kata-katanya, dan dia memaklumi hal itu. Hanya saja sebenarnya Yoongi kini tengah membeku di tempat, baru saja mengerti seperti apa rasanya saat jantungmu hampir mencelos keluar.


***


Psstt!

Setelah memastikan kalau tidak ada yang memperhatikan, Choonhee berbisik beberapa kali pada Jungkook namun lelaki itu sama sekali tidak sadar, barangkali terlalu fokus mengecat kardus yang akan dijadikan properti rumah hantu.
Jungkook!

Tidak ada jawaban, sementara Choonhee mulai kehilangan kesabaran. Beberapa saat kemudian sebuah karet gelang melayang ke arah Jungkook, mengenai lengan lelaki itu dan membuatnya langsung meringis kesakitan. Dia menoleh ke arah datangnya karet gelang tadi lalu mendapati Choonhee menatapnya datar sembari mengisyaratkan agar dia mengikuti perempuan itu keluar dari kelas.

Kebetulan koridor sedang sepi karena para murid tengah sibuk bekerja di dalam kelas, mempersiapkan segala hal untuk acara ulang tahun sekolah yang akan diadakan minggu depan. Kelas 1-C sendiri akan menyulap ruangan kelas mereka menjadi sebuah rumah hantu, mereka mau tidak mau rela datang di hari libur seperti ini agar persiapan selesai tepat waktu.

“Ada apa? Kenapa harus menyerangku dengan karet gelang?” Tanya Jungkook sambil mengusap lengannya yang tadi menjadi sasaran karet gelang Choonhee.

“Aku sudah memanggilmu beberapa kali tapi kau tidak menoleh.” Perempuan itu menjawab sambil memasukkan tangan ke saku seragamnya. Saat dia mengeluarkan secarik kertas, tanpa diberitahu Jungkook sudah mengerti benda apa itu.

“Apa itu surat yang ketiga?”

Choonhee mengangguk, mengulurkan kertas tersebut tanda dia ingin Jungkook membaca isinya. Jungkook berharap tangannya tidak gemetar saat mengambil kertas itu, sementara dirinya baru tersadar kalau sedari tadi dia sudah menahan nafas.


Let us meet someday. Please wait until that time to come.


Begitulah apa yang tertulis disana. Berbeda dengan dua surat lain yang sebelumnya diterima oleh Choonhee sejak hari pertama di semester kedua, kali ini kalimat singkat itu ditulis tangan oleh pengirimnya sendiri.

Jungkook tidak habis pikir kalau masih ada orang primitif yang menulis surat cinta di abad ke-21 begini, tapi dia lebih heran kenapa Choonhee begitu mempercayainya dengan membiarkannya tahu hal ini disaat perempuan itu merahasiakannya dari orang lain, bahkan Jung Hyeso sekalipun yang notabene teman terdekat Choonhee. Yah, walaupun Jungkook sebenarnya merasa sedikit senang sih.

“Menurutmu apa orang itu akan menyatakan perasaannya?”

“Kalau dilihat dari isi surat ini sih.. Ya, positif.”

Choonhee menghela nafas panjang, “Apa yang harus kulakukan, Jungkook?”

“Tidak tahu, Choonhee.”

Bukan salah Jungkook kalau jawabannya terdengar ketus sampai berhasil membuat Choonhee spontan menundukkan kepalanya, lelaki itu bahkan tidak sadar karena kata-kata tersebut meluncur keluar dari mulutnya dengan sendirinya.

Sebelum dia sempat meminta maaf, Choonhee sudah bicara lebih dulu. “Aku percaya padamu, Jungkook... Dan aku berpikir kau mungkin bisa membantuku. Maaf.”

Jungkook tidak tahu apa tepatnya yang dia rasakan sekarang, kurang lebih mungkin seperti ditabrak truk. Dadanya sesak dan sulit sekali untuk bernafas. Mendengar kalimat yang diucapkan Park Choonhee barusan diluar dugaan benar-benar berefek buruk padanya. Gadis itu berkata kalau dia mempercayai Jungkook, dan dia ingin Jungkook membantunya. Jungkook tahu betul gadis itu mungkin sedikit tertekan, tapi dia malah bersikap ketus padanya.

“Bukan salahmu Choonhee, aku yang harus minta maaf.”

Dia meraih tangan gadis itu lalu meletakkan lipatan kertas tadi disana, spontan Choonhee mendongak, disambut oleh senyuman manis Jungkook.

“Lelaki ini, siapapun dia, pasti sangat menyukaimu. Dia sudah berusaha memberitahumu lewat surat, dan entah kapan dia akan memberitahumu secara langsung. Sebenarnya terserah padamu ingin menjawab apa, tapi aku ingin kau tahu kalau sakit hati itu bukan main-main, dan sekali lagi dia sudah berusaha.”

Sekarang kedua tangan Jungkook menggenggam tangan Choonhee, berusaha memberi gadis itu semangat sekalipun sebenarnya Jungkook mati-matian mengabaikan rasa sakit di dadanya. “Kau bisa menolaknya, karena berhubungan dengan orang yang sebenarnya tidak kau suka itu bukan hal yang baik juga. Tapi kau bisa memberinya kesempatan dan belajar untuk mulai menyukainya.”

Ketika mata Choonhee mulai berkaca-kaca, tidak ada hal lain yang bisa dipikirkan Jungkook kecuali menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Untuk sesaat Jungkook merasa tenang, dia berharap bisa terus mengelus rambut Choonhee dalam dekapannya.


***


Bohong kalau Hyeso bilang dia tidak menyimpan rasa iri pada Hani, apalagi setelah dia ikut mengobrol dengan Jimin dan Rahee sembari menyelesaikan kostum di ruang prakarya siang itu. Mereka berdua membicarakan Taehyung yang baru saja jadian dengan Hani kebetulan saat Hyeso ikut nimbrung.

“Kukira Taehyung bakal ditolak.”

Jimin yang sedari tadi mencoba memasukkan benang ke dalam lubang jarum langsung berhenti setelah mendengar perkataan Rahee. “Apa maksudmu?”

“Kukira dia menyukai orang lain.”

“Serius!?”

Pada dasarnya Hyeso terlalu kaget sampai volume suaranya mengeras, tapi gara-gara itu Rahee dan Jimin jadi ikut terkejut.

“Iya..” Rahee mengangguk pelan. “Dia punya teman laki-laki yang baru pindah ke Korea tahun ini, belakangan ini mereka sering bertemu.”

“Pindah ke Korea? Dia orang asing?” Tanya Jimin sambil meletakkan jarum dan benangnya.
“Orang Amerika, sebelumnya mereka cuma berteman di KakaoTalk. Kalau tidak salah namanya...”

“William? Philip? Charles? Edward?”

Rahee mendengus, “Bukan Jim, kenapa kau menyebutkan nama raja-raja Inggris? Namanya Mark Tuan.”

“Sepertinya aku pernah dengar.”

Untuk kedua kalinya Rahee mendengus, Park Jimin benar-benar menyebalkan. “Jangan sok tahu, banyak orang yang bernama Mark di dunia ini.”

Sebelum kembali melanjutkan kegiatan menjahitnya yang bahkan belum dimulai, Jimin menyempatkan diri untuk bertanya satu hal lagi. “Jadi Hani menyukai Mark itu?”

“Entahlah, mungkin saja. Satu-satunya laki-laki yang selalu dibicarakan Hani hanya dia, kau bisa bayangkan bagaimana setiap hari dia girang tentang chatnya bersama orang itu tapi terlalu pelit untuk mengenalkannya padaku. Kau tahu, Mark ini memang tampan.”

“Tunggu, mereka mengobrol dengan bahasa― ADUH!”

“Astaga Park Jimin sebenarnya kau bisa menjahit atau tidak sih? Kenapa memasukkan benang saja tidak bisa?”

Selagi Rahee ribut dengan Jimin yang melukai jarinya sendiri saat memasukkan benang, Hyeso tenggelam dalam pikirannya.

Ini bukan pertama kalinya Hyeso mendengar nama Mark Tuan, kalau tidak salah dulu Hani memang pernah bercerita. Hyeso tidak ambil pusing tentang apakah Hani memang menyukai si Mark itu, itu urusan Hani.

Dirinya, Jung Hyeso, mengenal seseorang yang bersikap begitu manis padanya hingga mau tidak mau lama-kelamaan membuatnya jatuh hati. Sayangnya dia tidak tahu apa orang itu juga merasakan apa yang dirasakan Hyeso, dia juga cukup kesal memikirkan kenapa orang itu bersikap manis padanya tanpa alasan yang jelas.

Karena itulah dia iri pada Hani. Sikap Kim Taehyung pada perempuan itu sama manisnya dengan sikap seseorang pada Hyeso, tapi kisah dua sejoli itu berakhir indah karena mereka menyimpan perasaan yang sama. Kali ini Hyeso mulai berpikir kalau takdir baik mungkin memang tidak berpihak padanya.

Tidak perlu menyebut nama karena semua pasti tahu siapa orang yang disebut-sebut Hyeso. Dan bohong kalau Hyeso bilang dia tidak menyukai orang itu.



“Kukira Taehyung bakal ditolak.”

Kalimat itu sampai di telinga orang yang dibicarakan tanpa sengaja, mungkin ini yang disebut takdir.

Taehyung tidak punya niatan menguping, dia hanya kebetulan sedang akan membuka pintu ruang prakarya untuk menyerahkan gaun putih yang mati-matian dia pinjam dari ibunya sebagai kostum proyek kelas mereka. Tapi sebelum sempat menyentuh knop pintu, ucapan Rahee menghentikan gerakan tangannya.

Sekali lagi, dia mendengar segalanya tanpa sengaja. Mulai dari seseorang bernama Mark Tuan, Rahee yang mengira Hani menyukai orang itu, atau bahkan fakta kalau Jimin tidak bisa memasukkan benang ke dalam lubang jarum.

Jeda panjang saat jari Jimin tertusuk jarum cukup untuk membuat kepala Taehyung berputar, mencerna semua yang telah dia dengar. Taehyung tidak tahu, dia memilih untuk tidak percaya pada teori Rahee, buktinya dia sudah tahu jelas tentang perasaan Hani padanya dan bisa saja Mark cuma teman dekat Hani. Tapi mungkin Rahee ada benarnya..
“Aku akan ambil kotak P3K di ruang kesehatan.”

Perkataan yang sekali lagi dilontarkan oleh Rahee dari dalam menyadarkan Taehyung dari lamunannya, beruntung dia bisa menguasai diri dan mengenyahkan rasa syok tepat saat Rahee membuka pintu lalu spontan terlonjak.

“T-Taehyung? Sejak kapan kau disitu..?”

Taehyung menelan ludah, sepertinya tidak ada pilihan selain berbohong. “Baru saja. Aku mau mengantarkan ini.” Dia mengulurkan sebuah gaun putih yang sudah dilipat rapi.
“Oh, berikan saja pada Hyeso, aku harus ke ruang kesehatan.”

Setelah Rahee berjalan pergi, Taehyung masuk lalu menuruti intruksi Hyeso untuk meletakkan gaun itu di sebuah meja penuh tumpukan kostum. Dia menoleh ketika Jimin mendadak berkata, “Taehyung-ah, kau akan panjang umur~!”


***


Setiap hari kini terasa sibuk bagi Hwarin semenjak dia dibebankan tugas sebagai perwakilan kelas, baik itu di sekolah maupun di rumah jadwal nya selalu padat. Sebenarnya dia masih kesal pada Wonwoo, melihat wajah lelaki itu saja membuatnya merasa ingin melayangkan tinjunya, tapi beruntung Namjoon selalu berhasil menenangkannya.

Ngomong-ngomong, seperti apa yang dikatakan Namjoon sebelumnya, mereka berdua memang sering mengerjakan tugas bersama. Sejujurnya itu bukan hal yang buruk bagi Hwarin.

Siang itu dia sedang melihat skrip berisi data murid yang akan menunjukkan bakat mereka di panggung pentas seni, dia cukup takjub karena list itu bisa dibilang cukup panjang.
“Sepertinya kira harus mengurangi jumlahnya.”

Tanpa sengaja Hwarin mendengar percakapan dua orang seniornya di tengah ruang OSIS yang saat itu tengah ramai.

“Kau benar, lagipula kebanyakan dari mereka menampilkan hal yang sama. Band, akustik solo, dance, atau apapun itu.” Jawab lawan bicaranya.

“Mungkin kita butuh pertunjukan yang berbeda dari tiap orang.”

“Ya, aku ingin mendengar musik hiphop di aula sesekali.”

Bingo.

Hwarin merasa beruntung sekaligus sangat berterima kasih pada dua orang yang tidak dikenalnya itu karena telah memberinya sebuah ide cemerlang. Kepalanya berputar kesana-kemari mencari sesosok Kim Namjoon. Saat dia melihat laki-laki itu berkutat dengan setumpuk kertas di meja tidak jauh dari tempatnya berdiri, tanpa pikir panjang Hwarin melangkah mendekatinya.

“Namjoon!”

Orang yang dipanggil sedikit terkejut dengan kedatangan Hwarin tang tiba-tiba sudah mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Ada apa?”

“Kita harus ikut pentas seni!”

“Hah?”

“Pentas seni kali ini butuh hiburan baru! Hiphop, Namjoon! Kita bisa melakukannya berdua!”

“Kau bercanda?”

“Aku serius! Oh, kau bisa mengajak Yoongi juga!”

Kedua alis Namjoon bertautan, heran kenapa Hwarin bisa se-bersemangat ini, tapi dia juga menyadari sebuah fakta kalau ide Hwarin mungkin tidak akan bisa terlaksana. “Kita tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal semacam itu, Hwarin.”

“Apa? Kenapa? Kau menyerah semudah itu?”

“Aku tidak menyerah. Kau tahu sendiri seberapa sibuknya kita bukan?”

“Tapi kita bisa mempersiapkannya mulai sekarang!”

“Mustahil. Maaf, tidak bisa.”

Entah kenapa Kim Namjoon sangat ahli membuat Hwarin kesal atau melenyapkan rasa senang Hwarin, dia tidak habis pikir kenapa laki-laki itu bahkan tidak mau mencoba terlebih dulu. Teman macam apa dia?

“Kim Namjoon pabo.”

Ucapan itu meluncur dari mulut Hwarin ketika Namjoon hampir jatuh dari kursinya karena perempuan itu menendangnya begitu kuat.


***


Kalau dipikir-pikir lagi, Hoseok selalu melihat pemandangan Kim Seokjin dan Jung Hyeso yang sedang makan siang bersama, dan sekarang momen itu mulai sedikit mengganggunya.

Hari ini berbeda dengan biasanya, karena kantin tutup di hari libur jadi tiap orang otomatis membawa bekal dari rumah, sebenarnya melihat dua orang itu makan di kelas termasuk pemandangan baru sih.

Satu hal lain yang berbeda, hari ini tidak ada Jin yang bercanda kelewatan pada Hyeso yang biasanya sampai membuat perempuan itu marah lalu terlihat seperti habis memakai blush-on. Dan lagi-lagi itu termasuk pemandangan yang baru.

Bukannya Hoseok stalker atau apa, tanpa sadar dia sudah memperhatikan dua orang itu dari kejauhan. Lagipula salah siapa karena memilih posisi yang berdekatan dengan Hoseok /g/ Yah, sepertinya hari inipun dia akan memperhatikan mereka lagi. Namun kedatangan seseorang mengacaukan rencananya.

“Hey Hoseok.” Panggil perempuan itu sambil duduk tepat di samping Hoseok.



“Apa kau membuatnya sendiri?”

“Tidak, ibuku membuatkannya.”

Jin mengangguk-angguk kemudian kembali berkutat dengan kotak bekal nya. Keheningan menyelimuti acara makan siangnya dengan Hyeso dan itu membuatnya kurang nyaman, tidak biasanya atmosfir diantara mereka seperti ini, sebenarnya karena suasana ramai-lah dia selalu suka makan siang bersama perempuan itu.

Ada beberapa saat dimana mood Hyeso sedang buruk sehingga dia jadi sedikit pendiam, tapi Jin selalu berhasil membuatnya ceria kembali. Kali ini ke-diam-an Hyeso sedikit berbeda, bukan karena dia tidak ingin bicara dengan orang lain, tapi apa ya...

Tteokbokki pedas!?”

Jin tersentak mendengar Hyeso tiba-tiba membuka pembicaraan dengan tatapan melekat pada isi kotak bekal milik Jin, tapi sungguh Jin tidak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya.

“Ya, ini tteokbokki pedas.“

Kini Hyeso menatapnya penuh harap dengan mata mengerling, dari situ Jin tahu kalau tteokbokki adalah makanan favorit Hyeso, dan sepertinya perempuan itu tetap ceria seperti biasanya.

“Aku juga suka ini, aku tidak mau memberikannya padamu secara cuma-cuma.”

Cahaya harapan di mata Hyeso meredup seiring dengan ekspresinya yang berubah datar, melihatnya saja sudah membuat Jin tersenyum geli. Perempuan itu tidak berkomentar apa-apa selain kembali bertatap muka dengan kotak bekal miliknya sendiri.

“Hyeso-ya.”

“Apa―”

Jantung Hyeso serasa berhenti berdetak saat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang Kim Seokjin mengulurkan sumpitnya ke arah Hyeso.

“Katakan aaa~”

Beruntung Hyeso tidak lupa cara bernafas, Jin yang tiba-tiba hendak menyuapinya tteokbokki sangat membuatnya syok. Untuk beberapa detik dia hanya bisa melebarkan matanya sembari memandang senyuman yang tersungging di bibir lelaki itu, sebelum pikirannya mulai kembali mengambil alih.

Hyeso berkedip beberapa kali lalu menghela nafas. Menuruti apa yang ada di pikirannya, dia menepis pelan tangan Jin sambil membuang muka.

“Jangan bercanda seperti itu.” Ujarnya pelan.

Sepertinya memang ada yang salah dengan Jung Hyeso.



“Hey Hoseok.”

Skenario terburuk. Hoseok lupa sama sekali kalau dia sudah menghindari Hyora beberapa hari ini, sekarang perempuan itu sudah duduk di sebelahnya sehingga Hoseok tidak bisa kabur dari sana. Mau tidak mau dia harus menghadapinya.

“Oh, hey.” Jawabnya singkat, berharap semoga suaranya terdengar biasa-biasa saja.

“Kita baru bisa mengobrol, ya? Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Kau sendiri?”

“Aku juga baik.. Kau tidak ingin menanyakan hal lain?”

“Hal lain?” Hoseok menaikkan sebelah alisnya. “Seperti kenapa saat kita berumur tujuh tahun kau tidak mengajariku naik sepeda dengan benar hingga membuatku menabrak semak-semak?”

“Astaga kau masih ingat?” Tanya Hyora sambil tertawa lepas, langsung teringat pada teriakan histeris Hoseok saat itu.

“Tentu saja, ingatanku cukup tajam.”

“Kalau begitu tanyakan hal lain. Seperti kenapa aku tiba-tiba kembali ke kota ini dan berada di satu sekolah yang sama denganmu.”

“Kenapa kau tiba-tiba pindah dua tahun lalu? Dan kenapa kau tidak pernah menghubungiku?”

Untuk sesaat Hyora hanya tersenyum simpul, dia tidak begitu terkejut kalau Hoseok menanyakan kedua hal itu. “Aku pindah karena tuntutan pekerjaan orang tuaku. Mereka membelikanku ponsel baru sebagai hadiah pindah dan aku kehilangan nomor ponselmu. Maaf.”

“Tidak apa.”

“Kau marah padaku, bukan?”

Hoseok memberanikan diri untuk menoleh ke arah Hyora, tapi sayangnya itu pilihan buruk. Dia tenggelam ke dalam netra hitam Hyora ketika kedua mata mereka bertemu. Disana lah dia kembali melihat segala hal yang telah terjadi di masa lalu, sejak dia bertemu dengan Hyora kecil yang kala itu masih berumur lima tahun sampai saat dimana dia terakhir melihat gadis itu di musim panas dua tahun lalu.

Mungkin hanya beberapa detik berlalu sebelum Hoseok kembali memalingkan wajahnya, tapi dalam waktu sesingkat itu dia bisa mengulang lagi ingatan selama beberapa tahun lamanya. Dadanya terasa sesak, terlalu banyak kenangan masa lalu yang seharusnya sudah dia kunci rapat-rapat. Apapun itu, dia butuh sesuatu untuk pergi menjauh dari Jung Hyora.

Netranya mulai menyapu sekeliling, kemudian berhenti pada pemandangan di koridor luar kelasnya. Kim Taehyung sedang berdiri menghadap dinding, satu tangannya bersandar pada tembok putih itu, memojokkan seorang perempuan yang tidak lain adalah Kim Hani. Posisi mereka yang lama-kelamaan semakin dekat sempat membuat Hoseok terbelalak kaget sebelum akhirnya tersenyum singkat. Oke, kali ini Hoseok benar-benar berterima kasih pada Taehyung.

YAH! KIM TAEHYUNG JANGAN MENCIUM PACARMU DI DEPAN UMUM!”




***
To Be Continued

Comments