BTS Fanfiction - Vector of Fate (Part 4)
4
Sekali lagi bola
basket yang dimainkan Hani berhasil masuk ke ring, dia tidak tahu ini sudah
poin yang keberapa dan dia sendiri tidak begitu peduli, yang terpenting adalah
dia bisa membuktikan sendiri kalau dia tidak kehilangan kemampuan bermain basketnya.
Entah sudah berapa lama dia bermain basket sendirian di lapangan basket outdoor.
Hani berhenti sejenak untuk memperhatikan langit yang tahu-tahu sudah berubah
warna menjadi jingga. Alasannya melakukan semua ini adalah untuk mengetes
sekaligus melatih kembali kemampuannya.
Kim Hani sangat menyukai basket, dia juga mengikuti Klub Basket saat masih
di SMP dulu. Namun karena beberapa alasan dia keluar dari klub serta berhenti
bermain basket. Terhitung sudah setahun dia tidak menyentuh bola yang dulunya
selalu ia mainkan setiap hari.
Oleh karena itu, dia merasa kurang percaya diri saat memutuskan untuk
kembali ikut Klub Basket di SMA. Beruntung kegiatan klub-nya baru benar-benar
resmi dimulai esok hari. Jadi, kalau dia bisa latihan sekarang kenapa tidak?
Hani berencana menyudahi kegiatannya kalau dia berhasil mencetak three
point. Di percobaan pertama bolanya meleset sedikit jauh, membuatnya
mendecak kesal. Percobaan kedua.. Dia mulai mendribble bola lalu melemparnya,
dengan mulus bola itu berhasil masuk ke ring.
Senyuman Hani mengembang, rasa puas memenuhi dadanya, dia bisa pulang
dengan tenang sekarang. Hanya saja, sesaat setelah dia berpikir begitu,
terbersit keinginan untuk mencobanya sekali lagi. Sedetik kemudian aksinya
dimulai, bola basket itu melayang ke arah ring.
Menurut mitos Romawi, gambar laki-laki rasi Ophiuchus
merepresentasikan Asclepius Sang Penyembuh. Dia mempelajari rahasia menyimpan
kematian di sebuah teluk setelah mengamati seekor ular membawa herbal penyembuh
lainnya. Untuk mencegah semua ras manusia hidup kekal di bawah perawatan
Asclepius, Zeus membunuhnya dengan kilat, tetapi kemudian meletakkan gambarnya
di langit untuk menghargai jasa baiknya.
Terdengar teriakan seorang perempuan.
Saat Taehyung mendongak, sebuah bola basket melayang ke arahnya, mendarat
tepat di atas buku yang sedari tadi dia baca sambil berjalan.
Sekarang terdengar teriakan seorang Kim Taehyung. Buku berharga tentang Ophiuchus
Sang Pembawa Ular terjatuh karena tangan Taehyung tidak kuat menahan berat
bola basket yang mendadak datang entah darimana. Dia menendang bola sialan itu
lalu mengambil bukunya seolah benda itu sama berharganya dengan berlian.
“M-maafkan aku!”
Taehyung mendongak lagi, mendapati seorang perempuan dengan rambut dikuncir
kuda membungkuk dalam-dalam, membuat rambutnya bergoyang. Imut, pikir
Taehyung, dia selalu suka melihat rambut para perempuan bergoyang seperti itu.
Tapi tidak kali ini, dia cukup marah pada orang itu karena pasti dia yang
melempar bola basket sembarangan sampai membuat bukunya terjatuh ke tanah.
Memang hanya kotor sedikit, tapi butuh perjuangan untuk meminjam buku itu dari
salah satu seniornya di Klub Astronomi. Lagipula bola tadi hampir-hampir
mengenai Taehyung, bukan?
Saat perempuan itu kembali berdiri tegak, dia menyeka keringatnya dan
Taehyung merasa mengenali wajahnya. Kemudian dia memandang Taehyung, untuk
sesaat mata mereka berdua bertemu. “AH!” Perempuan itu berteriak kaget,
telunjuknya diacungkan ke arah Taehyung. “Kau.. Kim Taehyung?”
Barulah Taehyung ingat, gadis itu adalah teman sekelasnya, Kim Hani. Pada
dasarnya Taehyung tidak suka ditunjuk-tunjuk seperti itu, dia menatap telunjuk
Hani dengan pandangan kesal, seolah menyadari arti tatapan Taehyung Hani
langsung menurunkan jarinya.
“Maafkan aku, tadi aku yang melempar bola.”
Tentu saja aku tahu, pikir Taehyung. Hanya ada mereka berdua di lapangan
saat itu jadi siapa lagi yang melemparnya kalau bukan Hani? Karena tidak ada
jawaban, Hani hendak membuka mulut lagi tapi buru-buru dihentikan oleh
Taehyung. “Baik berhenti. Kau sudah minta maaf jadi biarkan aku pergi
sekarang.”
Gadis itu hanya mengangguk kecil, sementara Taehyung sudah melangkahkan
kakinya pergi. Entah baru berapa meter jarak yang dibuat oleh langkah kaki
Taehyung saat mendadak Hani bertanya dengan suara yang sedikit dikeraskan.
“Taehyung apa kau tahu dimana bolaku??”
Benar juga, bola itu tadi asal ditendang oleh Taehyung, spontan dia
berhenti saat rasa bersalah menjalari tubuhnya. Dia mencoba mengingat-ingat
lagi kemana arah bola basket tadi menggelinding, kalau tidak salah dia
menendangnya ke kiri. Saat ditengoknya tempat dia menendang bola itu, di
sebelah kiri ada gedung olahraga indoor yang sisinya ditumbuhi
pohon-pohon dan banyak sekali semak-semak.
Hani masih berdiri di tempatnya, jadi atas kesadaran diri Taehyung
melangkah kembali untuk menghampiri gadis itu. Hanya saja mata cokelatnya masih
menelusuri petak-petak tanaman siapa tahu dia bisa langsung menemukan bola itu.
Namun tidak semudah itu, tidak ada tanda-tanda keberadaan bola bahkan sampai
Taehyung sudah berdiri berhadapan dengan Hani.
“Tadi aku menendangnya” Taehyung berujar dengan putus asa. Hani terlihat
sedikit terkejut, tapi kemudian dia mengangguk dan bertanya. “Kau menendangnya
kemana?”
Kini giliran jari telunjuk Taehyung yang menjawab, menunjuk ke arah
semak-semak tepat di sebelah kiri mereka berdiri. Baik Hani sendiri tahu kalau
mencari bolanya diantara lebatnya tanaman disitu akan menjadi tugas yang sulit,
Taehyung bisa melihat Hani menggigit bibirnya, sejujurnya itu membuat Taehyung
semakin merasa bersalah. Sambil menghembuskan nafas panjang lelaki itu berkata,
“Aku akan membantumu mencarinya.”
“Apa kau yakin para
guru masih belum pulang?”
Choonhee mengendikan bahunya sebagai respon untuk pertanyaan Jungkook.
“Kita lihat saja dulu..”
Beberapa saat kemudian mereka sampai di depan pintu ruang guru. Setelah
memberi isyarat pada Jungkook untuk menunggu di luar, Choonhee mengetuk pintu
kaca bergaya modern itu lalu membukanya perlahan. “Permisi..”
“Terima kasih, seonsangnim.”
Ujar Choonhee sambil membungkuk sopan pada gurunya, setelah itu dia keluar
ruangan dengan langkah ringan, bersyukur karena akhirnya urusannya telah
selesai.
Dia sudah berbicara pada Guru Lee― wali kelas 1-C, selama kurang lebih
sepuluh sampai sebelas menit. Hal-hal yang dibicarakan hanya tentang
surat-surat yang dia berikan saat itu dan beberapa pertanyaan lain yang biasa
ditanyakan oleh seorang guru. Memang
sebelas menit itu belum bisa dibilang lama, tapi Choonhee khawatir kalau
dia sudah membuat temannya―Jungkook, garing menunggu sendirian di luar.
Setelah menutup pintu ruang guru dengan gerakan perlahan, gadis itu
berbalik, matanya langsung menangkap sosok Jungkook yang duduk di sebuah bangku
panjang.
“Will.. you.. marry~ me~”
Choonhee tersentak. Saat itu juga isi kepalanya berputar moncoba memahami
apa yang ada di depan matanya. Jeon Jungkook, pandangan lelaki itu terfokus
pada layar ponsel yang dia pegang, serta merta sepasang earphone tertempel di
telinganya. Ah.. Benar.. Dia sedang menyenandungkan lagu yang dia dengar.
Serius Choonhee sama sekali tidak tahu menahu lagu apakah yang sedang
dinyanyikan Jungkook, tapi mendengar suara lelaki itu sukses membuatnya membeku
di tempat. Bagaimana bisa seseorang memiliki suara seindah ini?
Senyuman puas
tersungging di bibir Jungkook. Bagus, pikirnya, dia sudah berhasil
menghafal seluruh lirik lagu yang telah dia dengarkan tiga kali berturut-turut.
Dia hanya berusaha mengisi waktu kosong selagi menunggu Choonhee keluar dari
ruang guru.
Oh iya, kenapa dia menunggu Choonhee? Sebenarnya, tepat di menit
kedelapannya duduk diam di bangku panjang dekat ruang guru, Jungkook sudah
berpikir untuk beranjak pulang tapi saat dipikir-pikir lagi sepertinya pergi
begitu saja akan terasa sedikit tidak sopan. Jadi dia memilih untuk melanjutkan
menunggu.
Kali ini dia mendongak untuk pertama kalinya sejak dia duduk disana,
berharap dia bisa melihat teman sekelasnya itu keluar dari ruang guru tapi
betapa anehnya saat dia malah melihat Park Choonhee berdiri diam tidak jauh
dari tempatnya duduk. Gadis itu memandangnya dengan tatapan.. Bagaimana ya
Jungkook menjelaskannya.. Entahlah, dia tdak tahu.
“Choonhee?”
Dengan sekali panggilan, Choonhee seolah tersadar dari lamunanya. Dia
berdehem kecil, “Maaf membuatmu lama menunggu” Ujarnya gugup.
Jungkook tersenyum. “Tidak apa-apa”
Mereka berjalan ke pintu masuk beriringan, atmosfernya sedikit canggung
karena Choonhee yang masih merasa gugup sementara Jungkook sendiri berusaha
memaklumi temannya yang mendadak berubah menjadi pendiam padahal saat dia
mengantarnya ke ruang guru tadi obrolan mereka cukup panjang.
Ketika mereka sampai di depan deretan rak sepatu, seolah rasa gugupnya
telah hilang Choonhee melontarkan sebuah pertanyaan. “Oh iya Jungkook, rumahmu
dimana?”
“Kompleks 7G di timur sekolah"
“Benarkah? Wah arah rumah kita berlawanan..”
Jungkook tidak tahu harus merespon bagaimana, sejak awal dia tidak berpikir
akan pulang bersama Choonhee , tapi entah bagaimana dia merasakan sebersit rasa
kecewa. Sebelum Jungkook sempat mengatakan sesuatu, Choonhee yang tengah
memasukakan sepatu indoornya ke loker membuka mulut. “Kalau begitu aku
duluan ya, terima kasih bantuannya.”
Bibir Choonhee membentuk sebuah senyuman, senyuman yang menurut Jungkook
sangatlah manis.
Setelah hampir
setengah jam dihabiskan untuk menyibak dedaunan atau rumput, sebuah bola basket
ditemukan masuk ke dalam lubang yang tidak begitu dalam tepat di samping pohon kesemek.
“Kenapa bisa ada lubang disini?” Tanya Hani sambil memungut bolanya.
Dengan nada monoton, Taehyung menjawab. “Kelihatannya ada seseorang yang
ingin mengubur kertas ujiannya tapi ketahuan guru jadi dia langsung lari
meninggalkan lubang setengah-jadi.”
Hani tertawa, tapi Taehyung tidak, di wajahnya hampir-hampir bisa terbaca ekspresi
‘ayo-cepat-selesaikan-ini-lalu-pulang’. Saat mereka kembali melangkahkan kaki
di lapangan bagian luar sepatu mereka sudah dipenuhi tanah dan kaus kaki putih
Hani bahkan dipenuhi noda disana-sini.
Langit sudah tidak berwarna jingga lagi, memang masih ada cahaya matahari
tapi warna langitnya lebih bisa dibilang gelap. “Sebaiknya kita bergegas
sebelum gerbang depan dikunci.” Untungnya letak lapangan itu tidak begitu jauh
dari gerbang, jadi mereka tidak perlu berlari kesetanan untuk sampai disana.
Dari sini Hani dan Taehyung mengetahui fakta kalau gerbang sekolah mereka
tidak pernah benar-benar dikunci sebelum pukul sembilan malam selama masih ada
satpam yang bertugas disana. Setelah membungkuk berterima kasih karena kerja
keras sang satpam, mereka berdua mulai berjalan keluar sekolah.
“Umm.. Taehyung kau tidak perlu mengantarku pulang.”
Kim Taehyung mengerutkan dahinya, siapa yang menawarkan diri untuk
mengantar Hani pulang? Tidak, tentu saja Taehyung tidak akan mengatakan isi
pikirannya itu terang-terangan. “Rumahku memang ke arah sini.”
Pengakuan itu membuat Hani mengerjap, dia mendadak takut dicap sebagai
perempuan yang terlalu percaya diri. “O-ohh.. Kita searah?”
Melihat Hani malu atas perkataannya sendiri membuat Taehyung sedikit
bersimpati, dalam hati dia masih merasa bersalah karena menendang bola
perempuan itu sembarangan lalu membuatnya harus mencarinya begitu lama, aneh
rasanya kalau sekarang dia merasa malu hanya karena sesuatu yang sekali lagi
menyangkut Taehyung juga.
Saat sebuah ide melintas di kepalanya, Taehyung segera mengutarakannya
tanpa ba-bi-bu. “Tidak apa-apa, anggap saja aku mengantarmu setengah jalan,
hitung-hitung sebagai ganti kesalahanku.”
“Begitu? Baiklah.. Terima kasih.”
Taehyung sama sekali tidak menyesali pilihannya, setidaknya dia cukup
senang hari itu karena Hani menjadi teman perempuan pertamanya yang mau
mendengar celotehannya tentang hal-hal berbau Astronomi. Tunggu, ‘teman
perempuan’?
***
Hyeso menggenggam
sketchbook dan pensilnya, dengan seksama dia memperhatikan seisi ruangan Klub
Memasak. Hari ini dia melakukan kegiatan pertamanya sebagai seorang anggota
Klub Seni, yaitu menggambar objek apapun yang diambil dari klub lain. Tentu
saja sesudah meminta izin pada tiap-tiap klubnya.
Memang bukannya Hyeso memilih Klub Memasak atau bagaimana, tau-tau saja dia
disuruh pergi kesana oleh sang ketua. Mungkin dia satu-satunya orang yang
tersisa untuk ditempatkan di Klub Memasak (berhubung hari itu dia datang
sedikit terlambat).
Di ruangan ini sekarang cukup banyak orang yang juga melakukan cukup banyak
kegiatan sampai-sampai Hyeso bingung memilih objek yang akan dia gambar.
Sebagian sibuk di countertops masing-masing entah sedang menyiapkan
masakan apa, kelihatannya mereka adalah para junior yang baru saja masuk,
kurang lebih sama seperti Hyeso. Kemudian sebagian yang lain berjalan
kesana-kemari memperhatikan para anggota yang sedang memasak, mereka
mengingatkan Hyeso pada acara kejuaraan memasak di televisi, kali ini Hyeso
bertaruh orang-orang itu adalah para senior.
Awalnya dia memperhatikan seorang gadis yang sedang mengupas lobak dengan
gerakan yang handal, Hyeso bertanya-tanya hidangan apakah yang sedang dibuat
gadis itu. Setelah diperhatikan lebih lama tampaknya gadis itu akan membuat
hidangan tradisional Korea, Hyeso mulai berpikir kalau menggambar makanan
semacam itu akan sedikit sulit, jadi dia mencari objek lain.
Siklus itu terulang beberapa kali, Hyeso yang melihat hal menarik tapi
kemudian beralih ke hal lain karena bosan atau merasa tidak tertarik lagi.
Sampai akhirnya dia sampai di sesuatu yang bisa disebut final, matanya
menangkap sebuah wadah cantik yang digunakan untuk menaruh sejumlah macaroon
dalam posisi berdiri.
Kakinya spontan bergerak dengan sendirinya, menghampiri countertops
siapapun itu Jung Hyeso tidak peduli yang penting dia benar-benar ingin
menggambar mahakarya yang dia lihat.
Segalanya terlewati dalam keheningan di kepala Hyeso, hanya ada background
suara yang biasa terdengar di dapur-dapur manapun. Untuk kali ini Hyeso
benar-benar bersyukur bisa menggambar sebuah objek dari Klub Memasak.
Namun, tanpa dia sadari, ada beberapa suara yang sepertinya tidak biasa
terdengar di dapur-dapur manapun. “Kau yakin ingin membaliknya dengan cara
seperti itu?” Tanya sebuah suara.
“Aku ingin mencobanya..” Jawab suara lain. “Baik bersiap-siaplah!”
Sedetik kemudian sebuah adonan yang baru setengah jadi terlempar dari wajan,
semua orang pasti tahu trik ini, membalik adonan dengan cara melemparnya. Hanya
saja dalam kasus ini si koki gagal melakukan trik nya, sepertinya bukan karena
dia tidak berbakat menjadi koki, tapi tenaga yang dikeluarkan si koki ini
terlalu besar sampai-sampai adonan itu terlempar begitu jauh..
Kemana perginya? Adonan itu terbang seperti bola volly yang di-passing ke
arah belakang. Entah karena kebetulan atau sudah takdir, disanalah tempat Jung
Hyeso berdiri dengan sketchbook di tangan kiri dan pensil di tangan kanannya.
Semua orang salah kalau mengira adonan tadi akan jatuh tepat di atas
sketchbook Hyeso dan membuat karya gadis itu porak-poranda.
Yang benar adalah, saat orang-orang berteriak heboh melihat sebuah adonan
melayang Hyeso langsung mendongakkan kepalanya, kemudian adonan itu jatuh di
depannya, dimana terletak semangkuk besar saus steak di atas countertops.
Mendaratnya adonan itu membuat saus berwarna merah pekat itu muncrat (?)
kesegala arah, termasuk ke arah Hyeso. Sekarang sebagian wajahnya penuh dengan
cipratan saus ditambah bagian depan sweater yang dia pakai.
Keadaan menjadi semakin heboh. Hal pertama yang dilakukan Hyeso adalah membuka
kelopak matanya perlahan lalu menoleh ke belakangnya, mencari siapakah orang
bodoh yang membuatnya tertimpa kesialan saat dia baru saja merasa terilhami.
Tidak sampai satu meter di belakangnya, berdiri seorang lelaki tinggi
dengan apron berwarna biru muda, lelaki itu masih memegang wajannya sambil
menatap kosong ke arah Hyeso. Hyeso memicingkan matanya, wajah lelaki itu
terlihat tidak asing.
Ah.. Dia ingat. Sepertinya Hyeso terkena karma karena terlalu sering
menertawakan Kim Seokjin yang wajahnya terkena semprotan air dari selang yang
bocor, karena sekarang giliran wajah Hyeso yang terkena cipratan saus gara-gara
adonan yang dilempar oleh Kim Seokjin.
***
To Be Continued
To Be Continued
(A/N)
Hae. Kali ini aku update agak cepetan :"v
Comments
Post a Comment