[What a Waste of a Lovely Night: #01] Kopi Sehitam Langit Malam
[What a Waste of a Lovely Night: #01]
Kopi Sehitam Langit Malam
Bae Jinyoung & Yoon Yuna (OC)
Sad-Romance
Kopi Sehitam Langit Malam
Bae Jinyoung & Yoon Yuna (OC)
Sad-Romance
a fanfiction by hvnlysprng
∞
Kali pertama Jinyoung meracik segelas Iced Americano dengan nama ‘Yuna’
tertulis dengan spidol hitam di samping logo Starbucks pada gelas plastiknya,
dirinya sempat mengira siapapun pemilik nama Yuna ini―yang Jinyoung yakini
dalah seorang perempuan―hanya mencoba berhemat dengan memesan minuman termurah
dalam daftar menu. Sesederhana itu.
Dan benar saja! Bukan―bukan bukan soal pelanggan ini bursaha menekan
pengeluaran finansial, akan tetapi dugaan bahwa ia merupakan seorang perempuan.
Jika saja Jinyoung sempat bertaruh dengan Daehwi, lelaki itu mungkin bisa
mendapat tambahan uang untuk membayar parkir. Tapi, toh, Daehwi mana mau diajak
bertaruh?
“Aku nggak akan tertipu, Hyung.
Lagian nama Yuna di mana-mana pasti nama cewek, lah!” ujar Daehwi kemudian
melengos pergi ke toilet, meninggalkan Jinyoung yang kini menganggur setelah
menyelesaikan pesanan terakhir.
Fakta soal pelanggan perempuan bernama Yuna itu pun disadari Jinyoung sebab
sang gadis yang duduk tak jauh dari meja kasir segera menyahut ketika namanya
disebut, mau tak mau menarik perhatian Jinyoung. Kala itu hampir pukul sebelas
malan di hari Rabu, sehingga gerai Starbucks tak seramai malam-malam di akhir
pekan.
Sembari mencuci blender, Jinyoung
diam-diam mencuri lirikan ke arah gadis itu. Apa yang dilakukannya selarut ini
sendirian di sudut cafe? Beruntung
sang gadis terlalu sibuk memandang gerimis di balik kaca jendela, sehingga
Jinyoung tak perlu takut lirikan demi lirikannya sempat ketahuan.
Ah, Jinyoung pikir, barangkali gadis itu hanya sedang terjebak hujan.
∞
Kali kedua Jinyoung menemui nama yang sama tertulis pada gelas di
genggamannya terjadi seminggu kemudian. Masih dengan Iced Americano berukuran tall, Jinyoung sengaja mendahulukan
pesanan tersebut sebelum kemudian menyambar gelas lain untuk diisi Caramel Macchiato.
Gadis bernama Yuna (mungkin) itu tak akan menyangka, selagi dirinya mengambil
pesanannya, si barista muda diam-diam masih memerhatikan sosoknya berjalan
perlahan menuju meja kosong yang sama persis seperti minggu lalu.
“Jinyoung-hyung!” Sirup karamelnya
habis!”
Si pemuda tersentak, menoleh ke arah Lee Daehwi yang memberinya pandangan
menghakimi. “Jangan kebanyakan kasih sirup karamel!” Koleganya itu kembali
berujar galak, seolah lupa bahwa sesosok Bae Jinyoung yang berdiri di
hadapannya ini berusia satu tahun lebih tua dari dirinya.
“Ha? Takarannya udah sesuai kok,” sanggah Jinyoung dengan penuh keyakinan
sambil menilik segelas minuman bergradasi putih-cokelat-jingga yang baru saja
ia racik.
“Terus kenapa sirup karamelnya mendadak udah habis? Padahal tadi cukup buat
dua porsi ukuran tall, loh.”
Lima detik lamanya Jinyoung bergeming, sementara Daehwi masih berkacak
pinggang tak jauh di sampingnya. “Nggak tahu?” jawab lelaki itu gamblang. “Mungkin
kamu salah cek tadi. Mungkin emang udah di tetes-tetes terakhir.”
Bohong. Jinyoung tahu betul bahwa dirinya berbohong. Ia yang menggunakan
sisa terakhir sirup karamel itu barusan. Akan tetapi, mana bisa ia mengaku
bahwa porsi sirup yang dibicarakan Daehwi itu telah ia masukkan pada segelas
Iced Americano yang ia racik sebelumnya?
Tanpa bicara apa-apa lagi,
Daehwi membuang napas kasar kemudian memutuskan untuk kembali fokus pada
pekerjaannya. Berdiskusi dengan Jinyoung tak membantu sama sekali, justru malah
akan membuang-buang tenaga Daehwi.
Sementara itu, si pemuda Bae
diam-diam mulai bernapas lega sebab tak perlu lagi berpura-pura tidak tahu di
depan koleganya yang terlihat masih kesal. Setelah meletakkan gelas Caramel
Macchiato di atas countertops,
Jinyoung sengaja menoleh ke arah gadis yang menjadi fokus atensinya sebelum
diinterupsi oleh Daehwi tadi. Dalam hati, lelaki itu berharap untuk melihat si
gadis meminum Iced Americano-nya dengan ekspresi bingung, bertanya-tanya
mengapa rasanya jauh lebih manis daripada yang ia minum minggu lalu (berkat
Jinyoung, tentunya).
Namun, yang Jinyoung dapati
justru lamunan ke sekian milik gadis itu. Di samping gelas yang agaknya belum
tersentuh sama sekali, tergeletak dua bungkus gula yang juga belum terbuka.
Entah sibuk mengobservasi apa, pandangan Yuna seolah tersedot dunia luar di
balik jendela. Hanya saja, berbeda dengan minggu lalu, kali ini rembulan
bersinar cerah di tengah langit malam tanpa awan.
Maka giliran Jinyoung yang
bertanya-tanya. Meski dengan pesanan, tempat duduk, dan lamunan yang sama, tak
mungkin gadis itu berada di sini untuk alasan yang sama pula, bukan? Satu
minggu yang lalu, Jinyoung berasumsi Yuna berdiam sendirian begitu lama di
pojok cafe sebab ia tengah terjebak
hujan. Kini gadis itu melakukan hal yang sama, namun tanpa hujan sama sekali.
Apakah memang alasan Yuna
berbeda, atau asumsi Jinyoung salah besar?
Pertanyaan itu melintas di
benak Jinyoung tepat ketika sang gadis akhirnya mengalihkan pandangan seratus
delapan puluh derajat, kini menuju seberang ruangan dan dibubuhi kerlingan yang
Jinyoung berani bertaruh tidak terlihat di mata gadis itu sebelumnya.
Oh, Jinyoung pikir, barangkali sesosok
lelaki yang menjadi fokus atensi Yuna saat ini juga merupakan alasan dari
presensi gadis itu di sini.
∞
Ya, Jinyoung yakin akan ada
kali ketiga, sebab itulah ia tak terkejut ketika dugaannya benar terjadi tepat
satu minggu kemudian. Namun, yang tidak ia duga yakni gadis bernama Yuna itu
kali ini memesan Iced Amerino berukuran venti,
dua kali lebih besar dari biasanya.
Dengan dahi berkerut, Jinyoung
mencuri lirikan ke arah Daehwi yang mendahuluinya meracik pesanan gadis itu.
Tangannya terus bekerja mencuci peralatan, akan tetapi benaknya berkelana
memikirkan segala kemungkinan mengenai si gadis dan Americano kesukaannya.
Jelas, Yuna tak mungkin membeli kopi dingin itu karena harganya murah. Jika
mengincar harga murah, Yuna pasti tidak akan repot-repot membeli ukuran venti yang paling mahal.
Astaga, apakah gadis itu
menyukai Americano racikan Jinyoung minggu lalu?
Sepanjang malam itu, benak Bae
Jinyoung berkecamuk bagai dihantam badai laut lepas. Membayangkan Yuna yang
ketagihan campuran sirup karamel dengan seduhan Espresso buatan tangan Jinyoung
membuat lelaki itu merasa karirnya
sebagai barista seumur jagung ini akhirnya mengalami peningkatan. Di sisi lain,
ia merasa bersalah karena gadis itu bakal kecewa dengan pesanannya minggu ini
yang tak sesuai harapan. Jika Daehwi yang meracik, Yuna tak akan mendapat
tambahan sirup karamel rahasia. Dan―demi Tuhan―venti terlalu besar untuk dihabiskan dalam pahit penuh kekecewaan!
Jinyoung kira, ini adalah
kesalahannya. Mau tak mau, ia pun harus menebus kesalahan itu.
Barangkali takdir pun mengira
demikian. Malam menjadi semakin malam ketika Jinyoung berjalan perlahan
menghampiri Yuna, yang masih duduk manis di kursinya seolah sedari tadi memang
menunggu sang pemuda memenuhi tekadnya untuk menebuh kesalahan. Jumlah pengunjung
berkurang drastis, tinggal beberapa orang yang duduk berpencar dalam ruangan
itu, berbanding terbalik dengan Iced Americano Yuna yang masih tersisa setengah
gelas.
“Kak Yuna, betul kan?”
Sang gadis mendongak, mendapati
sosok berseragam yang baru kali ini ia lihat, yang jelas bukan kasir yang biasa
melayaninya. “Iya. Yuna saja,” jawabnya disertai anggukan kecil.
Lelaki dengan setelan kemeja
putih dan dasi kupu-kupu hitam di balik celemek hijau itu tersenyum. Ia
meletakkan segelas Strawberry Cream Frappuccino di atas meja. “Ini untukmu.”
Dengan tatapan penuh tanda
tanya, Yuna menghentikan si lelaki yang sudah hendak berbalik pergi. “Uh, maaf―kamu
siapa, ya?”
Masih dengan senyuman simpul
terpatri, lelaki itu menjawab, “Jinyoung. Bae Jinyoung. Aku barista yang minggu
lalu bagian membuat pesananmu dan kayaknya ... lebih manis dari yang sekarang,
kan?”
Butuh beberapa detik bagi Yuna
untuk mencerna kalimat Jinyoung. Bergemingnya gadis itu menghapus senyum
Jinyoung lantas menggantinya dengan raut wajah sedikit cemas. “Oh ... iya. Ya,
minggu lalu lebih manis dari ini.”
Jinyoung menghela napas lega. “Caffee
Americano memang nggak seharusnya manis―persis kayak yang sekarang diminum
Yuna, itu buatan barista kami yang satu lagi. Minggu lalu ... err, aku sengaja
kasih tambahan sirup karamel.”
“Ya, aku tau.”
“Jadi sekarang...,” ucapan
Jinyoung tertahan setelah ia mendengar jawaban gamblang Yuna yang disertai segaris
kurva di bibir, “...aku kasih satu gelas minuman yang manis buat permintaan
maaf.”
Sesaat keheningan menyelimuti udara
cafe, berbaur dengan alunan musik jazz. Jinyoung hanya berharap Daehwi masih
disibukkan dengan apapun pekerjaan yang tengah ia lakukan sehingga ia tak perlu
ketahuan sedang mengobrol dengan pelanggan.
“Oke. Nggak apa-apa, justru pahit
itu yang lagi kubutuhkan,” ucap Yuna. Sejatinya Jinyoung tak begitu paham,
namun ia tak sempat bertanya sebab sang gadis terlalu sibuk mengedarkan
pandangan pada seisi ruangan. Tanpa perlu diberi tahu, Jinyoung cukup paham kalau
Yuna memerhatikan lelaki yang baru saja berjalan keluar dari gerai, tak lain merupakan
lelaki yang sama seperti asumsi Jinyoung minggu lalu. “Tapi, terima kasih
Jinyoung. Kamu baik banget.”
Bagaimana mereka bertukar
senyuman menjadi fokus utama ingatan Jinyoung yang tak mungkin ia lupakan
hingga satu minggu ke depan―setidaknya sampai saat di mana ia bertemu Yuna
sekali lagi, setelah gadis itu pergi membawa serta Frappuccino dan meninggalkan
Americano-nya. Bahkan, Jinyoung rasa ia tak pernah sebegini menantikan malam di
hari Rabu, akankah Yuna tetap memesan minuman yang sama atau justru hal lain
yang dapat mengejutkan Jinyoung.
Dirinya pun sudah menyiapkan
pertanyaan untuk gadis itu yang berbunyi, “apa dengan Strawberry Cream
Frappuccino, sekarang kamu juga butuh manis?”
Sayangnya, pertanyaan itu tak
pernah mendapat jawaban. Sebab Yuna tak pernah datang, meski Jinyoung tak
pernah berhenti menanti.
Entah gadis itu sudah mendapat
cukup pahit yang ia butuhkan, atau manis yang diberikan Jinyoung terlalu
melebihi kebutuhan tersebut. Yang jelas, ketika Jinyoung menyadari lelaki yang ia
asumsikan menjadi jawaban atas presensi Yuna di cafe ini tak lagi datang sendirian, melainkan bersama seorang
perempuan asing yang sama sekali tak dikenali Jinyoung, rasa-rasanya malam-malam
indah di hari Rabu kini menjadi terbuang sia-sia.
-fin-
(a/n) Anggap aja aku memulai
sebuah series fict baru, masih berisi
kumpulan oneshot tapi kali ini castnya bukan cuma anak Wanna One! What a Waste of a Lovely Night dapat inspirasi dari lagu A Lovely Night (OST La La Land, tau
ga?), jadi yahhh kira-kira tema cerita nggak jauh-jauh dari situ lah. Kopi Sehitam Langit Malam sendiri lewat tiba-tiba di kepalaku pas nggak bisa tidur efek kafein dari Cold Brew Venti yang kuminum siang harinya HAHAHA. Btw OC cerita ini (Yoon Yuna) credit punya temenku, choxojung, follow wattpad dia juga ya!
Silakan tinggalkan apresiasi dan tunggu aku update karya-karya lain! Auf Wiedersehen!
Comments
Post a Comment