Siapa di antara Karamazov Bersaudara
kemungkinan besar, pelakunya memang Mitya. Semuka
kami telah lama kuduga, bermula saat kupilih sweter hijau lumut dari bagasi, memadat
sekonyong-konyong belit balon ke sisi lain kota. Kupikirkan ketika
teman-temanku tak bereaksi atas berita Perginya Tamu Undangan Dibawa Ikat
Helium, Kail Tersangkut Benang Rajut dan Iklim November Tiada Ampun. Mereka
pandangi saja aku, wajah-wajah mengerucut hingga pasang mata semakin menyerupai
kawanan dara laut. Mereka kira lambaiku berarti sampai jumpa atau duluan
saja, bukannya tolong aku dibawa pergi angin dan seikat balon yang tersangkut
di bajuku—tolong, aku belum pernah terbang sebelum ini, bagaimana caranya turun
tanpa melukai diri?
Aku tahu pelakunya memang Mitya setelah proses singkat
eliminasi. Ada empat dari mereka—Karamazov Bersaudara. Proses ini jadi penting
karena aku tidak kenal tampang mereka sejatinya, sebagaimana yang digubah
Dostoevsky hampir satu setengah abad lalu. Yang paling kupahami tabiatnya, tak
mungkin jumpaiku tanpa tahu malu begitu. Mustahil, sampai bumi kiamat pun, bahwa
Alyosha bakal mencopet isi tasku.
Mencurigainya saja sudah keterlaluan. Mungkin, ada
satu kondisi khusus di mana ia akan cukup terdesak untuk ambil putusan itu. Tapi
artinya ia perlu baca dulu isi kepala, rogoh-rogoh ceruk hati, alihbahasakan
tipu daya yang kupakai selimuti tiap dosa juga kesalahanku. Barulah, mungkin,
ia tiba di simpulan: perempuan ini patut dicopet isi tasnya. Pada titik itu
juga ia mestinya paham tas itu tidak ada apa-apa lain di dalam, amplop tebal tidak
menyimpan lembar-lembar uang, dan aku tak akan rugi jika isinya digondol pencopet
amatir.
Kemungkinan besar, Alyosha malah akan mengembalikannya
untukku. Bukan padaku, melainkan untukku—dalam artian, ia temui
pemilik asli amplop itu, yang tak pernah berisi uang, namun cukup berharga bagi
seseorang lain yang bukan aku. Alyosha, pasca menganalisis seluk-beluk antara
diriku dan Amplop Tebal Misterius, pasti terdorong mengambil alih beban 110 x
230 cm yang masih saja kubawa-bawa. Anak bungsu itu, kerap serius sekali mengemban
tanggung jawab sebagai pengantar pesan. Dari sini saja, sudah jelas pelakunya
bukan Alyosha.
Amplop itu pun masih ada di tanganku saat bersilang
jalan dengan Ivan. Ia satu-satunya yang mengenakan kacamata. Meski, andai momen
itu kebetulan ia tanggalkan, aku masih bisa meraba gerak-geriknya. Konsistensi
air muka sepanjang lima menit dituntunnya aku dari lorong ke lorong. Derap
kakinya tergesa-gesa dan aku agak kepayahan mengikuti; seolah ia takut padaku
yang tiba-tiba mendarat dari atap, seikat balon kempes kucabut kailnya di
antara serat baju, lutut tertatih habis dihempas cumbu lantai. Tapi aku kenal
Ivan, sedangkan aku orang asing baginya. Identitasku tak cukup penting untuk ia
pusingkan dari mana, kenapa, bagaimana, pula ini dan itu. Cukup kutanya, pintu
keluar di arah mana? Lalu Ivan—yang tidak takut padaku atau apa, memang
sedang terburu-buru saja—menuntun langkahku sampai jarak toleransinya.
Mengapa bukan Smerdyakov? Pertanyaan ini muncul, pasti, di benak setiap orang
yang kuberi tahu. Smerdyakov bagaimana? Ingat, jawaban kuambil lewat
metode eliminasi. Ingat juga, kita bukan sedang membicarakan kasus patrisida di
suatu kota terpencil. Kali ini korbannya aku—atau, lebih tepatnya, Amplop Tebal
Misterius yang tersimpan di dalam tasku. Siapa di antara Karamazov Bersaudara
yang bakal mencurinya?
Kronologi lengkapnya begini:
- Sore, menjelang petang. Ivan mengantarku sampai lorong dasar. “Ikuti dinding bermural,” katanya, sebelum menghilang ke arah lain. Sebatas terima kasih pun belum sempat kuutarakan. Itulah jumpa pertama dan terakhirku dengan Ivan.
- Dinding bermural. Kususuri instruksi Ivan. Pintu keluar terbuka di ujung, menyala terang berkat lampu pijar yang tersemat di plafon luarnya. Silau sekali hingga kupicingkan mataku.
- Hampir mencapai daun pintu, siluet seorang pria tiba-tiba muncul dari arah luar, bahuku tertabrak sehingga tas yang kucangklong jatuh merosot. Isinya satu buah amplop tebal, berwarna putih, agak kusut, ukuran 110 x 230 cm, tidak menyimpan uang. Amplop terlempar keluar dari tas.
- Kejadian cepat sekali. Tahu-tahu amplop berpindah tangan. Pria itu mengira aku tidak memergokinya selipkan amplop ke saku blazer, ia bergegas terus memasuki lorong gedung.
- Aku berteriak, “Ambil saja, ambil! Anda rugi! Tidak ada uang di situ!”
- “Isinya cuma foto-foto tidak berharga.” (yang ini suaraku lebih kecil) (mungkin juga terdengar agak sedih)
- Alih-alih mengabaikanku, pencopet amatir itu malah berhenti untuk merogoh lagi sakunya. Amplop lekas ia buka, lantas tubuhnya membeku sebentar.
- Ia berbalik. Hasil curian dikembalikan padaku.
Menurut hematku, poin nomor tujuh dan delapan inilah
yang terpenting. Semakin sulit menebak-nebak identitas pelaku jika adegan finalnya
berubah sedikit saja. Andai kata detail ketujuh digeser, bahwa pelaku tidak sampai
repot-repot berhenti meski ia tetap sempatkan membuka segel amplopnya, atau benda
itu langsung dilempar ke lantai begitu ia sadar isinya cuma tumpukan foto, sudah
tentu metode eliminasiku nanti berbelit-belit.
Kembali pada pertanyaan tadi: mengapa bukan Smerdyakov?
Ya, kupikir, semua bisa mengukur lompatan-lompatan yang kuambil hingga landasan
final.
Mitya sendiri suguhkan permintaan maaf. Sorotnya tampak
bersalah sekali ketika ia bilang, aku sama sekali tidak tahu. Meski
tidak ia ungkap terang-terangan, rupanya ia berasumsi perempuan di foto-foto
itu adalah aku. Orang lebih waras akan mengoreksi, menunjuk sepasang wajah yang
garis dan lekuknya terlampau jauh dari satu sama lain. Orang lebih waras lagi
akan segera angkat kaki, bukan malah beramah-tamah dengan pencopet amatir yang
batal mencopet isi tasnya.
“Jaga baik-baik kenanganmu,” tambah Mitya. Lancang betul,
ya? Seharusnya komentar itu menyinggungku. “Ya,” kubalas, suaraku tanpa emosi,
“aku tidak ingin melupakannya.”
Mitya mengangguk. “Salamku pada pria di foto itu. Bahagialah,
Madam!”
Yang terjadi, demikian adanya.
Comments
Post a Comment