Pengakuan; Pengaku; Aku
Kututup ceritaku dengan gestur-gestur canggung. Keluku
saling mengais selagi kutanya: pendapatmu, bagaimana? Ada baiknya juga
kusingsingkan luangku, kutumpuk Senin-Rabu supaya yang terbangun di akhir pekan
bukanlah aku yang berambut lepek dan berbau hiruk-pikuk kereta. Aku selalu
ingin begitu di hadapanmu; aku ingin tubuh kita ditopang lembut sofa, disangga
bantal-bantal berbentuk hati juga buah-buahan, ditiup dingin yang tak alamiah bagi
melelehnya bumi—yang, omong-omong, ingin kutanyakan juga, menurut pendapatmu
itu, bagaimana?
“Sebentar. Satu-satu, bisa?”
Ok. Jawab dulu yang pertama.
“Menurutku, mereka ingin punya uang.”
Yah, siapa yang tidak?
“Sekarang apa-apa butuh uang.”
Benar, sahutku. Tapi, tetap saja aku kesal, sedikit. Sering
kali yang tersisa di penghujung hari tak jauh-jauh dari sana. Kesal? Iya. Muak,
juga. Kebetulan pagi harinya Maria terlambat empat puluh menit dan balon-balon
merah diletuskan di atas kepala semua orang. Jarum-jarum tajam menghujam dari langit.
Kamu tahu maksudku. Pendapatmu, wajar kalau begitu. Kamu bakal kesal juga kalau
mengalaminya. Meski kupikir, seperti habis berbuat tidak adil.
“Kamu atau orangnya?”
Aku.
“Jangan lupa, bukan berarti dia sepenuhnya berbuat
adil juga.”
Itu kan, tidak ada pilihan lain? Sempat kubayangkan
perempuan itu—namanya, aku tidak berani tanya, dia bilang usia kami hanya
terpaut beberapa bulan, aku lebih tua darinya, sudah gila dunia ini—dengan
balon-balon merah terikat di kerah poliesternya, tidak hanya satu-dua, mungkin bisa
sampai selusin. Berkali-kali dia mengecek notifikasi, telapaknya berminyak
meninggalkan pola melingkar di layar ponselku; aku mesti menggosoknya tiga kali
sesampai rumah. Seperti ada jam mungil yang berdetak dalam saku, menghitung
mundur arah tengah malam, barulah saat itu dia bisa melepas untai balon-balon
yang menggeret posturnya.
Kamu tahu, maksudku? Dia cuma ditindas oleh sistem. Dan
kamu berdalih, kita semua ditindas oleh sistem. Bahwa yang dia butuhkan saat
itu mungkin bukan keramahanku maupun layar ponsel yang tidak kugosok cairan
penyanitasi tangan sampai tiga kali. Dia mungkin sudah lupa padaku.
Kutarik rumbai-rumbai milik tepian bantal. Kurasa ruangan
ini semakin menggigil, angin imitasi menampar wajahku dari segala sisi. Jangan
dulu, jangan dulu … aku tak ingin teh di cangkirku mendingin, aku tak bernyali
untuk menanyakan apakah mereka bersedia menghangatkannya lagi—benakku penuh
oleh pasal-pasal semacam ini. Yang kecil dan tak bersubstansi, seperti
tikus-tikus kecil berlarian di loteng pengap. Kamu tertawa ketika kuberitahu. Kamu
bilang, semua orang juga begitu kok. Tapi bagaimana kamu yakin mereka berterus-terang
alih-alih cuma angguk-angguk mengiyakan meski dalam hati mereka mengecap kita
orang aneh nomor satu dan dua?
“Ada setidaknya sepuluh juta orang yang menemukan diri
mereka dalam cangkang Gregor Samsa. Bukan kamu saja.”
Hm.
“Kamu kelewat jauh mengira-ngira asumsi terburuk dari orang
lain.”
Itu pun, bentuk ketidakadilanku, ya? Bahkan, setiap
ada yang mengaku bahwa dia temukan dirinya dalam corat-coret tulisanmu, aku
masih harus menekan rasa cemburu. Ini penyakit. Padahal kamu menulis dengan
tujuan itu. Kamu ingin dikenal. Kamu ingin orang-orang mengenali diri mereka
melalui tulisanmu. Dulu, pernah kusebut bahwa aku justru ikut tersesat dalam
labirin itu—lantas kamu angkat moncong topi, menyingkap tiga senti wajahmu dari
payung privasi; kedua mata, kudengar dari lagu dan buku-buku, jendelamu terbuka
di sana, pada momen itu, hanya untukku.
Min, aku masih kesulitan mengenali diriku sendiri.
Bahkan melalui refleksiku pada pupilmu.
“Tiba-tiba?”
Tiba-tiba, aku terpikir saja.
“Sebentar—aku belum jawab pertanyaanmu yang satu lagi,
soal pendingin ruangan.”
Lupakan saja. Aku tahu kamu akan jawab bagaimana.
“Bagaimana?”
Teknologi. Brilian. Tidak semua ciptaan manusia mesti
kita tolak eksistensinya. Dan sebagainya, dan sebagainya….
“Tidak adil.”
Hm. Tidak adil, betul.
“Apa kamu mengenalku lebih dari kamu mengenali dirimu
sendiri?”
Apa? Kamu, yang misterius ini? Berani-beraninya, mana
mungkin aku berkhayal sampai sana? Tidak, Min. Meski kamu izinkan mengintip
sekelebat jendela bernaung topimu. Ya, meski aku terus-terusan menanyai
pendapatmu soal hal ini dan hal itu, yang penting dan yang sepele, yang
keseluruhannya kucatat baik-baik sebab aku ini sejujurnya mudah sekali lupa (tidak
sampai hati aku melupakan kata-katamu). Paling tidak, kucoba mengupas tiap
lapis gordennya. Cukup saja. Cukup untuk melambai ke dalam kala presensimu mulai kudamba.
Tidak percaya? Lihat, buktinya sekarang ini, aku lebih
banyak membicarakan diriku sendiri, kan?
Aku yang tidak adil ini.
Seperti hendak bangkit, betismu malah menyenggol meja
lalu guncangkan pekat bergamot dalam cangkirku yang habis setengah. Bantal semangka
dan stroberi mengembang pelan selagi kamu tarik dua lembar tisu. Tanganmu
terhenti sebentar di tengah-tengah. “Sudah dingin,” katamu. Sepasang mata menatapku
lagi.
Comments
Post a Comment